06 September 2008
DUNIA ADALAH PENJARA BAGI MUKMIN
mencintai Allah
makrifat dalam tasawwuf
MAKRIFAT DALAM TASAWWUF
Oleh : Muqoffa Mahyuddin, SAg.*)
MAKRIFAT Adalah mengenali dzat dan sifat Alloh secara benar. Mengenal Allah SWT. merupakan pengetahuan yang paling sulit sebab tidak ada yang serupa denganNya. Namun demikian, Allah mewajibkan semua makhluk-manusia, jin malaikat, dan setan–untuk mengenali zat, nama, dan sifat-sifatNya. Pengenalan terhadap Allah telah tertanam dalam diri hewan ataupun yang lainnya. Setiap
entitas mengetahui eksistensi Penciptanya.
Allah berfirman :
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.’(QS. Al Isra’(17):44).
Ini meliputi manusia, malaikat, hewan, benda mati, tumbuhan, udara, tanah, dan air. Allah memuji mereka yang mengenaliNya. Sebaliknya, Dia mencela mereka yang tidak mengenaliNya dan mereka yang megingkarinya.
Makrifat Allah terbagi dua; bersifat umum dan khusus. Makrifat Allah yang bersifat umum yang wajib dimiliki setiap mukallaf adalah mengakui eksisitensi-Nya, menyucikanNya dari segala dari segala sesuatu yang tidak sesuai denganNya, serta mengakui segala sifat yang Allah telah tetapkan untuk diriNya, serta mengakui segala sifat yang Allah tetapkan untuk diriNya. Sementara makrifat yang bersifat khusus adalah kondisi menyaksikan Allah. Ahli makrifat adalah orang yang Allah beri kemampuan untuk menyaksikan zat, sifat, nama, dan perbuatanNya. Adapun orang alim Allah diberikan pengetahuan tentang hal itu, tetapi tidak lewat penyaksian secara langsung, namun lewat keyakinan.
Pendapat yang lain menyebutkan, makrifat adalah sejenis keyakinan yang muncul lewat sebuah perjuangan ibadah. Menurut Imam Ghazali, Allah terlampau besar untuk bisa ditangkap oleh panca indera, esensi keagunganNya tak bisa dijangkau oleh akal dan analogi, bahkan keagunganNya tak bisa dijangkau oleh selainNya, serta Mahabesar untuk bisa dijangkau oleh selainNya, serta Mahabesar untukdikenali oleh yang lain. Tiada yang mengetahui Allah kecuali Allah itu sendiri. Puncak pengetahuan hamba sampai pada satu titik di mana mereka menyadari bahwa mustahil mereka bisa mencapai ma’rifat yang hakiki. Secara sempurna hal itu disadari oleh seorang nabi atau seorang siddiq. Nabi SAW. Misalnya mengungkapkan hal itu dengan berkata,”Aku tak bisa memberikan pujian yang cukup kepadaMu, Engkau seperti pujian yang Kau berikan untuk diriMu”. Adapun al-shiddiq, ia pernah berkata,”Ketidakmampuan untuk mengetahui adalah pengetahuan itu sendiri”.
Ada yang berpendapat bahwa jiwa manusia setelah berpisah dengan jasad bisa diidentifikasi lewat pengetahuan dan ilmu yang terukir padanya. Tidak ada yang bisa diketahui dan dikenali darinya kecuali pengetahuan tersebut. Karakter manusia akan dikumpulkan berdasarkan bentuk ilmunya, serta jasadnya akan dibangkitkan berdasarkan amal yang dilakukan, apakah baik atau buruk. Ketika jiwa manusia telah berpisah dengan dunia sebagai alam taklif atau tempat beramal, ia akan memetik hasil yang telah ia tanam. Pengenalan terhadap Allah yang ia peroleh di akhirat takkan lebih dari pengenalan yang ia peroleh dari dunia, kecuali lebih menyingkap dan lebih memperjelas. Seseorang akan menyaksikan dan melihatNya sesuai dengan kualitas makrifatnya kepada Allah serta pengetahuannya terhadap nama dan sifatNya. Sebab, makrifat di dunia akan berubah di akhirat menjadi sebuah penyaksian, sebagaimana benih berubah menjadi padi. Seperti halnya orang yang tidak mempunyai benih takkan mempunyai tanaman, demikian pula orang yang tidak memiliki ma’rifat di dunia ia takkan bisa melihat atau menyaksikan Allah di akhirat.
Sebagaimana tingkat ma’rifat berbeda-beda, tingkat penyaksian seseorang yang juga berbeda bergantung pada kualitas tahalli (menghiasi diri dengan perbuatan mulia). Orang yang ingin menyalakan pelita dan lentera, ia membutuhkan tujuh hal; batang, kayu, batu pembakaran, korek, tiang, sumbu, dan minyak. Kalau seorang hamba ingin mendapat lentera makrifat;
pertama, ia harus memiliki kayu perjuangan. Sebab, Allah berfirman;
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.(Qs. Al Ankabut[29]:69).
kedua, ia harus mempunyai batu kerendahan diri. Allah berfirman;
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (QS. Al A’raf(7):55)
ketiga Nyala api yang dibutuhkan adalah terbakarnya hawa nafsu. Allah berfirman;
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,”(QS. An Nazi’at[79]: 40).
keempat, koreknya adalah kembali kepada Allah. Allah berfirman;
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).,’(QS Az Zumar[39]:54)
kelima, membutuhkan tiang kesabaran. Allah berfirman;
Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. Al Anfal[8]:46).
keenam, ia membutuhkan sumbu syukur. Allah berfirman;
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu Hanya kepada-Nya saja menyembah. (QS. An Nahl[16]:114).
ketujuh, ia membutuhkan minyak keridhaan terhadap semua ketentuan Allah. Allah berfirman;
Dan Bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, Maka Sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri (QS. At Thur [52]:48).
Diceritakan bahwa seorang saleh mempunyai saudara yang telah mati. Lalu di saat tidur ia memimpikannya. Ia bertanya kepada saudaranya itu ,”Apa yang telah Allah perbuat kepadamu?” Ia menjawab,”Aku telah dimasukkanNya ke dalam surga. Aku makan, minum, dan menikah”. Bukan itu yang kutanyakan. Apakah engkau menyaksikan Tuhan?. Kata orang sholeh tadi. Saudaranya itu menjawab,”Tidak ada yang bisa melihatnya kecuali orang yang sudah mencapai ma’rifat kepadaNya.”[qoffa]
Ibnu Athoillah Al Askandari, (Miftahul Falah Wa Misbahul Arwah, Maktabah Al Turats al Islami, Mesir, 2000, hal 124)
*)Penyuluh Agama Islam fungsional Kandepag Kulon Progo, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi: Studi Agama dan Resolusi Konflik.
18 July 2008
POLITIK, AGAMA
Oleh :
Pendahuluan
Membicarakan asal usul gagasan kemerdekaan Eropa tentunya membicarakan tentang akar liberalisme modern pada abad ke-17, ketika pemerintahan feodal sedang berjuang untuk memerdekakan diri mereka sendiri dari hegemoni Paus dan gereja (
Mengikuti pembebasan negara-negara dari hegemoni Gereja Katholik dan Paus, pemikiran yang bebas dan ilmiah bererti membebaskan dirinya dari hegemoni inkusisi yang menakutkan. Hasilnya adalah kekangan tradisi keagamaan dan otoritas atas pemikiran dan kehidupan rakyat menjadi longgar; tetapi ia meminta korban ilmuan besar seperti
Langkah selanjutnya dalam Renaisans Eropa adalah reformasi keagamaan dan Protestanisme yang dilakukan di bawah pimpinan
Melihat sejarah Eropa di atas akan memunculkan pertanyaan: Apakah benar bahwa politik liberal dan gerakan intelektual yang telah memicu Eropa menuju lompatan besar pada hakikatnya adalah gerakan anti agama, anti gereja dan anti pendeta? Apakah gerakan liberal tersebut berhubungan dengan kebebasan berbicara ?
Pertama, kita perlu menjelaskan asal usul pertentangan gereja terhadap kebebasan. Pertanyaannya adalah: Apakah antagonisme ini disebabkan oleh kondisi doktrin dan sejarah tertentu, atau sebuah akibat dari nilai universal yang dimiliki semua agama dari waktu ke waktu? Jawabannya cukup sederhana. Dengan mengesampingkan persoalan kebenaran dan otentitas agama, tampaknya cukup beralasan untuk berharap bahwa Tuhan yang, secara divinisi, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, berkuasa serta mengetahui kebaikan dan kejahatan, adalah mempunyai kualifikasi yang lebih baik untuk menilai apa yang pantas bagi manusia ketimbang manusia itu sendiri. Apakah kepercayaan ini masih menyisakan pilihan bagi pemeluknya ketimbang menyerahkan sepenuhnya tanpa syarat kepada kehendak Tuhan? Lebih lagi para pendeta dan gereja, yang menganggap diri mereka sebagai penerus Yesus dan wakil Tuhan - dan ulama lain yang menganggap diri mereka sendiri sebagai penjaga umat Tuhan-pasti berharap agar masyarakat mengikuti mereka, dan untuk mensubordinasikan akal dan ilmu pengetahuan kepada perintah-perintah Tuhan yang diwahyukan.
Doktrin tersebut di atas tidak menyisakan ruang bagi kebebasan dan berkehendak manusia untuk mengatur urusan mereka sendiri dan untuk mempertanyakan-setidaknya menolak – wakil Tuhan yang mengklaim bebas dari kesalahan karena status mereka sebagai pengganti Nabi. Jadi tampaknya akal manusia dan peraturan agama sama-sama eskslusif. Berbeda dengan sabda
Pemerintah yang beragama, tidak seperti negara-negara beraliran Marxist, tidak bisa mentolerir kebebasan berpendapat dan kritisisme. Kebebasan berpendapat dan berkumpul, juga pemogokan dan demonstrasi adalah sesuatu yang tak terpikirkan; penilaian partai yang berkuasa dan eksekusinya akan cepat dan bersifat ketegoris. Baik pemerintah beragama maupun Marxist mengakui kebebasan dan rasionalis hanya bagi pengikut-pengikutnya yang patuh. Bagi yang lainnya, kebebasan hanya berarti pengrusakan, kekacauan, percampuran, pencelaan terhadap ideologi dan rezim yang berkuasa.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah seluruh utusan Tuhan, khususnya pendiri agama Islam, menyetujui praktik agama Kristen pada abad pertengahan Apakah nabi-nabi Allah mengajarkan kita untuk menghasut mengadakan revolusi berdarah di muka bumi, meningkatkan keragu-raguan, menghancurkan gerakan-gerakan anti revolusi, menyebar bibit-bibit kebencian dan pertentangan.
Agama dan Politik
Konfrontasi antara gereja-gereja abad pertengahan dan gerakan liberal menyebabkan pemisahan antara agama dan politik barat. Konflik yang bertanggungjawab atas tersebarnya kekecewaan para intelektual dan ilmuan terhadap agama, terus berlangsung sampai abad ke-20. Dalam dunia Islam situasinya sangat berbeda.[4]
Dalam menekankan kebebasan berpendapat dan beragama, cukuplah bagi kita untuk mendengarkan pendapat-pendapat orang lain dan memilih yang terbaik antaranya….[6]Islam membolehkan perbedaan pendapat, bahkan dalam wilayah ajaran-ajaran agama, apalagi dalam persoalan-persoalan administrasi dan pemerintahan.[7]
Ayat-ayat Setan-Salman Rushdi
Dari waktu ke waktu suatu masyarakat multicultural harus memancarkan situasi di dalamnya yang terdapat budaya dan perselisihan paham moral antara masyarakat yang berbeda menuju kedepan dan menciptakan suatu cisis.
Fatwa merupakan istilah Islam lain yang kini dikenal Barat karena penggunaannya melawan
Realisme Megic mengambil format berbeda tergantung jujur abstrak yang diadopsi oleh pengarang [itu]. sajak/ayat Yang satanic beroperasi pada suatu untuk [yang] tingkat rendah abstrak. Rushdi menenun arround [yang] naratif nya mengkhayal tetapi para laki-laki dan perempuan dapat dikenal dan tidak suatu kenyataan [yang] disusun kembali. campuran seperti itu Af sihir realisme dan sejarah antasized adalah sesuai untuk menyelidiki kelahiran dan menyebar pergerakan historis sangat penting di (dalam) wich individu agung dan tiheir pengikut mengaktipkan pergerakan di (dalam) wich individu agung dan pengikut mereka mengaktipkan mereka sendiri dan khayalan dan dongeng satu sama lain, menghasilkan emosi kuat dan bentuk kembali [yang] kehadiran [yang] dibayangkan mereka [yang] ia terang suatu mengkhayal masa lampau dan masa depan.
Sinopsis akhir cerita ayat-ayat setan adalah Dalam kilas balik kehidupan Mahound yang berseting di Jahiliyah yang berupa mimpi atau penglihatan dari Gibreel, dikisahkan bahwa sang "Messenger" (perantara) dihadapkan pada pilihan sulit untuk berkompromi dengan adat politeisme. Pada saat ia ingin memperkenalkan sistem monoteisme yang diwahyukan kepadanya, hal tersebut ditentang oleh masyarakat setempat. Pada puncaknya ia harus memilih antara mengakui ketiga dewi utama Jahiliyah (Allat - bentuk wanita dari Allah, Uzza, dan Manah) sebagai setara dengan Allah dan seluruh penduduk Jahiliyah akan menyembah Allahnya Mahound, atau ia dapat bersikeras untuk menolak dewi-dewi tersebut dan akan dimusuhi/diasingkan. Setelah ia mengundurkan diri untuk mencari wahyu, pertama-tama ia kembali dengan menyatakan bahwa ia mendapatkan wahyu dari Gabriel bahwa ketiga dewi tersebut akan diakui setara dengan Allah; namun kemudian setelah ia naik gunung lagi, ia kembali dengan menyatakan bahwa wahyu sebelumnya adalah dari setan dan harus dimusnahkan dari semua catatan tertulis yang telah dibuat, sebagai akibatnya ia dan pengikutnya melarikan diri dari Jahiliyah. Dua sequence pendek lainnya yang menceritakan tentang Mahound mengisahkan tentang tokoh bernama
Protes Orang Islam
Segera setelah penerbitan ayat-ayat setan pada 26 September 1988, Orang Islam Britania mulai berkampanye memprotes novel tersebut. Keberatan mereka disebabkan pertama, buku tersebut memberi suatu pemahaman Islam yang tidak akurat dan menyebarkan atau mengucapkan kepalsuan. Buku tersebut sangat nampak tidak dekat dengan sejarah aslinya. Dalam keadaan seperti ini orang Islam melakukan mengatakan mereka berhak untuk memberi penghormatan kepada iman mereka yang integritasnya diakui dan merupakan warisan/pusaka budaya mereka. Kedua, Orang Islam berargumentasi bahwa ayat-ayat setan satanic adalah “vilifactory kasar” menghina, mengandung kutukan dalam membahas wanita-wanita dan manusia-nya yang mereka anggap suci dan yang dianggap suci adalah penjaga/wali.
Walaupun debat melingkupi ayat-ayat setan mempunyai beberapa corak tidak biasa, sebagian besar timbul dari fakta bahwa hal tersebut melibatkan agama, suatu yang mengagetkan dan baru-baru ini tiba-tiba minoritas imigran dan suatu acara penguburan kematian, adalah tidaklah untuk representative publik berdebat di depan umum dan debat tersebut menyertakan budaya, religius dan minoritas susila khususnya. Karena itu menawarkan pengertian yang mendalam berharga ke dalam alam, batas-batas dan struktur publik berdebat di dalam suatu masyarakat multicultural, akan berguna bagi kelanjutan sebagian dari pelajaran penting nya[13]
Salah satu pertimbangan untuk ini harus lebih dulu mengatur fakta bahwa dua kelompok mengenal hanya sedikit jalan hidup satu sama lain . Orang Islam yang merasa disusahkan oleh ayat-ayat setan untuk macam alasan menyebutkan lebih awal. Lagipula, pertimbangan yang mereka kedepankan di dalam publik bukanlah pertimbangan riil mereka, dan karenanya mereka merasa diasingkan dan dikacaukan pengikut mereka. Tidak sedang dalam ceramah yang liberal pada atas kemerdekaan berbicara, mereka juga menemukan diri mereka sering ada dalam pilihan yang salah dan tanpa alternatif lain dikalahkan oleh lawan liberal mereka secara alami paling senang merasa serumah dengan tradisi itu.[14]
Multikulturalisme Dalam Masyarakat Majemuk
Pertanyaan itu tentunya kurang relevan untuk kita. Akan tetapi problematika yang muncul akibat fakta adanya kehidupan bersama antara orang-orang yang berasal dari kultur maupun agama yang berbeda jelas sangat relevan untuk
Multikulturalisme untuk Masyarakat Majemuk
Suatu masyarakat disebut sebagai masyarakat majemuk, jika masyarakat tersebut memenuhi satu dari dua definisi berikut ini. Pertama, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari komunitas etnik yang berbeda-beda. Komunitas etnik tersebut hidup terpisah-pisah, dan masing-masing memiliki moralitasnya sendiri. Yang kedua, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang hidup di dalam satu komunitas yang sama, namun dipisahkan satu sama lain oleh pasar. Pada titik ini ada baiknya kita bertanya, apakah masyarakat majemuk semacam itu akan mendorong terciptanya semacam moralitas bersama untuk memampukan mereka hidup bersama secara harmonis, atau mereka justru akan menciptakan relasi dominatif antara kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, di mana justru relasi dominatif itu yang akan menjadi pengikat kehidupan bersama?
Salah satu sosiolog yang mencoba menganalisis hal ini adalah
Tentu saja model ini bukanlah suatu model yang ideal bagi masyarakat multikultur. Untuk mencoba merumuskan model ideal bagi suatu masyarakat multikultur, kita pertama-tama perlu untuk membedakan wilayah privat dan wilayah publik dari kehidupan sosial.
Saya tertarik untuk membahas lebih jauh pandangan
Institusi-institusi sosial yang ada sekarang sangatlah didasarkan pada paradigma fungsionalis semacam ini. Sistem ekonomi dan sistem hukum telah dilepaskan dari tata nilai tradisional, dan mengadopsi tata nilai yang sama sekali baru. Tentu saja nilai-nilai kultural dan nilai-nilai agama tradisional tidak otomatis sama sekali lenyap. Akan tetapi praktek-praktek yang didasarkan atas tata nilai tradisional tidak pernah boleh mencampuri kinerja sistem-sistem sosial yang ada, baik sistem politik, ekonomi, maupun hukum.
Teori-teori sosiologi klasik cenderung untuk memfokuskan analisisnya pada sistem nilai yang berlaku di dalam sebuah masyarakat. Sistem nilai itulah yang menjadi aturan moral yang menata kehidupan masyarakat tersebut.
Dalam arti ini proses perubahan sosial, pembentukan sistem negara modern, dan pembentukan sistem ekonomi kapitalis didorong oleh rasionalitas moral dan hukum di dalam masyarakat. Dengan inilah, menurut Parsons, problematika mengenai bagaimana terbentuknya tatanan masyarakat untuk mencegah ‘perang semua melawan semua’ dapat diselesaikan. Akan tetapi proses rasionalisasi bidang-bidang kehidupan ini tampaknya tidak berjalan secara universal. Seperti yang pernah dirumuskan oleh
Kultur publik ini terlihat dengan jelas di dalam moralitas publik, hukum, dan agama yang didasarkan pada rasionalitas. Munculnya kultur publik ini juga menandakan berakhirnya kultur rakyat (folk culture) yang terwujud di dalam moralitas, hukum, dan agama rakyat. Hukum, politik, dan moralitas yang didasarkan pada rasionalitas ini kemudian memiliki fungsi sosial yang baru.
Tentu saja, pengandaian-pengandaian yang ada di dalam masyarakat multikultur itu hanya mungkin, jika masyarakat telah mengalami perubahan menjadi masyarakat bermentalitas modern.
Hukum menentukan bagaimana orang, baik secara individual dan komunal, dapat hidup bersama dan terintegrasi secara positif ke dalam masyarakat. Inilah yang kiranya menandai ciri dari masyarakat modern, bahwa orang-orang yang berasal latar belakang berbeda dapat terintegrasi secara positif ke dalam masyarakat. “
Dalam konteks politik misalnya, kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat multikultur seringkali juga memiliki kekuatan politis yang berbeda-beda pula. Ini tentu saja bukanlah suatu kondisi yang ideal.
Salah satu bidang yang memiliki dampak besar bagi kehidupan bersama adalah bidang ekonomi. Artinya, bidang ekonomi haruslah memiliki seperangkat aturan moral yang memungkinkan bidang tersebut bisa ditata demi kepentingan publik. Bidang ekonomi haruslah mengalami proses institusionalisasi. Proses ini melibatkan proses tukar menukar dan kompetisi antara penjual dengan penjual, ataupun pembeli dengan pembeli. Proses tukar menukar dan kompetisi ini haruslah dibebaskan dari penggunaan kekerasan ataupun pemaksaan. Moralitas yang berlaku di dalam bidang ekonomi adalah moralitas pertukaran yang damai (peaceful bargaining). Upaya untuk mempertahankan proses pertukaran yang adil dan harmonis sangatlah menentukan tingkat keberadaban suatu masyarakat multikultur.[26]
Akan tetapi, walaupun masyarakat multikultur telah memiliki seperangkat tata nilai yang dianggap sebagai moralitas bersama, hal ini sama sekali tidak menjamin bahwa masyarakat tersebut akan selalu hidup dalam keadaan damai. Seringkali, upaya-upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan politis menghasilkan konflik politik yang lebih besar intensitasnya. Upaya-upaya politis tersebut tidak pernah boleh menyangkal hak-hak individual seorang pun, terutama atas dasar alasan-alasan perbedaan etnis.
Dengan demikian, proses pembentukan hukum, politik, dan ekonomi merupakan suatu proses institusionalisasi ruang publik. Proses institusionalisasi tersebut haruslah didasarkan pada nilai-nilai moral yang telah disepakati bersama. Nilai-nilai moral yang sama jugalah yang dapat digunakan untuk menata kehidupan privat yang berkaitan dengan moralitas dan agama. Akan tetapi, terutama pada praktek politik welfare state, ruangp publik, dengan menggunakan kekuasaan birokratis politiknya, bisa memaksakan otoritasnya juga pada persoalan-persoalan agama maupun moralitas.
Dalam batas tertentu, ekspansi kekuasaan birokrasi negara ini memiliki dampak negatif. Negara, misalnya, memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi ke dalam ekonomi melalui mekanisme kontrol kepemilikan, dan campur tangan melalui subsidi maupun peraturan hukum. Lebih dari itu, negara juga memiliki otoritas untuk ikut campur tangan dalam soal-soal moralitas privat maupun keluarga. Mekanisme intervensi ini tentu saja juga mempunyai dampak positif, yakni memungkinkan terjadinya pembagian kekayaan yang merata. Negara juga memiliki otoritas untuk menjamin berfungsinya serikat buruh, sekaligus memastikan bahwa setiap orang, apapun sukunya, memiliki pekerjaan yang layak.[27] Dengan otoritas politiknya, negara juga bisa menjamin bahwa setiap orang yang tidak memiliki pekerjaan memperoleh pendapatan secukupnya. Negara juga bisa membentuk suatu instansi pemerintahan yang memperhatikan problem-problem di dalam keluarga maupun problem individual. Semua ini tentunya membutuhkan pelampauan batas antara ruang publik maupun ruang privat. Dalam arti ini, negara wajib untuk melampaui batas ruang publik dan ruang privat, dan menjamin bahwa kepentingan yang lebih besar dan lebih universal dapat tercapai.
Memang, yang terjadi disini adalah seolah peran keluarga kini telah digantikan oleh negara. Akan tetapi, tidak ada yang salah dengan hal ini, terutama ketika justru negara dapat menjalankan fungsi sosialisasi dan penanaman nilai-nilai secara lebih efektif daripada keluarga. Pada titik inilah ruang publik dan ruang privat menyatu. Namun, ketika negara dengan otoritas politiknya mulai mencampuri urusan pendidikan, ada beberapa masalah baru muncul.
Pendidikan, Ruang Publik, dan Ruang Privat
Memang adalah wajar, jika pemerintah ikut campur dalam soal pendidikan. Yang terpenting adalah, proses pendidikan ini tidak bersifat eksklusif. Sejauh pengajaran nilai-nilai moral tersebut terkait dengan moralitas kehidupan bernegara, maka sebenarnya campur tangan pemerintah di dalam pendidikan dapatlah dibenarkan. Akan tetapi, setiap kultur di dalam masyarakat memiliki nilai-nilai partikularnya sendiri yang dijunjung tinggi. Masalah muncul, ketika nilai-nilai partikular tersebut bertentangan dengan moralitas kehidupan bernegara yang diajarkan secara umum oleh pemerintah.
Konflik semacam ini banyak terjadi
Tentu saja, pandangan itu tidaklah disetujui oleh keluarga yang masih meyakini nilai-nilai ketimuran tertentu. Perjodohan, menurut mereka, adalah tanda kepedulian orang tua pada anak perempuannya, yakni bahwa anak perempuannya sudah ada yang menjaga dan mengusahakan kebahagiaannya. Kemungkinan untuk memperoleh calon suami yang baik juga jauh lebih besar di dalam proses perjodohan, daripada jika hanya mengandalkan pencarian yang acak dan romantis, seperti yang kiranya menjadi cita-cita banyak gadis Eropa. Benturan budaya juga terjadi, ketika kultur Eropa yang sangat terbuka pada seksualitas berhadapan dengan kultur ketimuran tertentu yang masih menempatkan seks sebagai persoalan privat semata.
Data tentang terjadinya benturan-benturan nilai semacam itu bisa diperpanjang lagi. Yang penting untuk diketahui adalah bahwa benturan itu terjadi, dan frekuensinya semakin sering sekarang ini. Sebuah masyarakat yang ingin memberi tempat bagi keberagaman kultural sekaligus tetap hendak menjamin kesetaraan kesempatan bagi semua pihak, haruslah berhadapan dengan benturan-benturan nilai semacam ini. Juga diperlukan kesadaran, bahwa pemerintah tetap dapat menjamin kesetaraan partisipasi sosial semua pihak sekaligus tetap memberikan ruang bagi pluralitas kultural anggota masyarakatnya.
Seperti sudah dilihat sebelumnya, pendidikan merupakan bidang yang kental dengan benturan nilai semacam ini. Banyak kultur yang merasa, bahwa sistem pendidikan yang dilangsungkan oleh pemerintah tidaklah menampung nilai-nilai kultural mereka. Oleh sebab itu, mereka kemudian menuntut untuk diberikannya kesempatan mendirikan sekolah yang mengajarkan secara langsung nilai-nilai kultural mereka. Hal ini banyak terjadi, baik
Persoalan tentang bahasa juga menimbulkan banyak dilema. Bagi kelompok minoritas kultural, pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan bahasa kultur mereka sudah sejak dahulu dianggap sebagai sesuatu yang penting. Hal ini tentunya haruslah mendapatkan akomodasi lebih jauh.
Apa yang ingin ditekankan disini adalah, bahwa tegangan internal di dalam sistem pendidikan haruslah diakui keberadaanya terlebih dahulu, termasuk tegangan antara kepentingan privat dan kepentingan publik di dalam sistem pendidikan. Sekolah, sebagai agen pendidikan, haruslah mengajarkan ketrampilan dan moralitas publik kepada warga negara.
Memang, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur selalu berkisar di dalam perdebatan ini, apakah pendidikan harus mengacu pada kepentingan untuk mempertahankan kultur minoritas tertentu, atau untuk mengabdi pada kepentingan publik luas secara keseluruhan? Jika pendidikan terlalu mengabdi pada kepentingan publik yang lebih luas, maka identitas kultural akan terancam musnah.
Persoalan diperumit dengan problematika kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial seluruh warga negara. Banyak ahli berpendapat, bahwa kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial warga negara haruslah sensitif terhadap perbedaan kultur dan kepercayaan. Jadi diperlukan adanya kesadaran multikulturalisme di dalam kebijakan-kebijakan politik yang terkait dengan kesejahteraan sosial. Penerapan kesadaran semacam ini memang sangatlah sulit. Yang seringkali terjadi bukanlah para pemegang kebijakan publik memiliki kesadaran akan pentingnya penghargaan terhadap kultur minoritas, melainkan orang-orang yang berasal dari kultur minoritas dipaksa menyesuaikan diri dengan keinginan dan kultur para pemegang kebijakan publik. Dilihat secara khusus ataupun secara umum, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur masihlah merupakan problematika yang terbuka, dan menuntut refleksi lebih jauh.
Juga di dalam masyarakat multikultur, orang-orang yang berasal dari kultur dominan hidup harmonis sebagai bagian dari sistem sosial secara keseluruhan. Proses pendidikan di dalam keluarga pun relatif tidak bermasalah, karena nilai-nilai pendidikan di dalam keluarga searah dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Akan tetapi, hal yang sama kiranya tidak berlaku bagi orang-orang yang berasal dari kultur minoritas. Mereka harus menyeimbangkan antara pendidikan nilai-nilai kultural mereka yang khas di satu sisi, dan pendidikan berkaitan dengan nilai-nilai publik yang lebih luas di sisi lain.
Pernikahan adalah salah satu
Nilai dan aturan moral, yang merupakan hasil dari proses interseksi berbagai kultur yang beragam tersebut, nantinya akan menjadi sistem nilai yang bersifat otonom yang mampu menjelaskan pola ideal hubungan antar manusia, maupun hubungan dasar antara manusia dengan alam. Tentu saja, nilai hasil proses interseksi berbagai kultur tersebut tidaklah dapat menggantikan seluruhnya peran yang tadinya dimiliki oleh identitas kultural. Sebut saja bahwa, nilai-nilai masyarakat modern tidak akan pernah sepenuhnya dapat menggantikan nilai-nilai tradisional yang telah diyakini sebelumnya. Akan tetapi, nilai-nilai modern hasil interseksi beragam kultur tersebut tetap mampu berperan di dalam menciptakan solidaritas bagi masyarakat sebagai keseluruhan, maupun kenyamanan eksistensial bagi individu yang terkait. Dua hal yang kiranya menjadi kebutuhan utama dari sebuah masyarakat multikultur.
Nilai-nilai modern itulah yang, menurut Parsons, akan menjadi alat untuk mempertahankan pola-pola berlaku di masyarakat, dan mengatur tegangan-tegangan sosial yang muncul akibat benturan antar kultur.[30] Nilai-nilai tersebut memberikan identitas bagi individu-individu di dalam masyarakat multikultur, sekaligus membantu mereka untuk mengatasi berbagai problematika yang muncul, baik dalam konteks moral maupun material. Jika semua anggota masyarakat sudah menjalankan nilai-nilai tersebut ke dalam praktek sosial, maka nilai-nilai modern akan menjadi bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan.
Jadi tetaplah harus disadari, keberadaan kultur minoritas tidak pernah dapat dipandang sebagai ancaman bagi kesatuan sebuah masyarakat. Keberadaan kultur minoritas, menurut
Haruslah diakui, bahwa kultur minoritas memiliki
Semua bentuk kultur bisa hidup bersama di dalam masyarakat multikultur. Hanya kultur yang menolak kesetaraan kesempatan dari individu ataupun kelompoklah yang tidak bisa menjadi bagian dari masyarakat multikultur. Masyarakat multikultur sekaligus juga adalah, dalam bahasa
Penutup
Pertama, di dalam masyarakat multikultur, kita harus membedakan secara jelas antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah ruang, di mana setiap individu diikat oleh satu set
Ketiga, pendidikan moral, terutama yang terkait dengan sosialisasi dan penanaman ajaran-ajaran religius, haruslah tetap berada di dalam ruang privat. Keempat, keberadaan nilai-nilai kultur minoritas tetaplah harus dipertahankan, karena nilai-nilai tersebutlah yang memberikan makna dan identitas bagi setiap orang yang hidup di dalam kelompok tersebut. Nilai-nilai tersebut mencakup mulai dari tata organisasi sosial yang ada di masyarakat, sampai keyakinan religius yang menjadi ciri unik dari kelompok kultur minoritas yang ada.
Apakah
Al Qur’an al Karim
Ahmed, Akbar S, Living Islam, Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornoway, Bandung, Mizan, 1977,
Charles Kurzman (Ed.), Agama dan kebebasan dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, Jakarta; Paramadinal, 2001, hal 88.
E
John Rex, “Multicultural and Plural Societies”, dalam The Ethnicity Reader, Montserrat Guibernau dan John Rex (eds), Great Britain, Polity Press, 1997.
Smith, The Plural Society in the British West Indies,
Talcott Parsons, The Social Systems,
[1] Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi Studi Agama dan
[2] Renessaince pada abad ke-15 dan ke-16 dimulai dengan perhatian baru terhadap seni
[3]Inkuisisi bertentangan dengan
[4] Charles Kurzman (Ed.), Agama dan kebebasan dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, Jakarta; Paramadinal, 2001, hal 88.
[5] Ibid., 89.
[6] QS.39:17-18:”Berikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, Yaitu orang-orang yang mendengarkan Kalam dan mengikuti yang terbaik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah, dan mereka itulah orang-orang yang bijaksana.”
[7]
[8]
[9] The Satanic Verses adalah novel ke-empat karya Salman Rushdie, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1988, dan sebagian terinspirasikan dari kisah hidup Muhammad. Judulnya merujuk pada apa yang diketahui sebagai ayat-ayat setan. Dalam novel ini, sang tokoh utama yang bernama Mahound (yang kemungkinan besar merujuk pada Muhammad) diceritakan secara kilas balik paralel dengan dua tokoh utama lainnya Gibreel Farishta dan
[10]
[11] Ahmed, Akbar S, Living Islam, Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornoway, Bandung, Mizan, 1977, hal 28.
[12] Ibid., hal 172
[13]
[14] Ibid., hal.305
[15] Lihat,
[16] Lihat,
[17] Lihat, John Rex, “Multicultural and Plural Societies”, dalam The Ethnicity Reader, Montserrat Guibernau dan John Rex (eds), Great Britain, Polity Press, 1997, hal. 208
[18] Lihat, Smith, The Plural Society in the British West Indies, Berkeley and Los Angeles, University of California Press, 1965.
[19]
[20]
[21]
[22]
[23]
[24] Lihat,
[25]
[26] Lihat, ibid, hal. 211.
[27] Lihat, hal. 212
[28]
[29]Lihat, ibid, hal. 217
[30] Lihat, Parsons, 1952.
[31]Lihat,
[32] Lihat, ibid.