06 September 2008

DUNIA ADALAH PENJARA BAGI MUKMIN

DUNIA ADALAH PENJARA BAGI MUKMIN

Bagaimana mungkin seorang terpidana akan bisa bergembira di dalam penjaranya. Ia tidak bersuka cita, melainkan hanya bergembira di wajah sambil menyimpan kesedihan di hatinya. Kegembiraannya hanya terbias di lahirnya, sementara petaka mengiris iris kedalaman batinnya, kesunyian, dan esensi maknanya. Ia terlukakan oleh maksiat di balik bajunya, namun ia bungkus lukanya dengan baju senyumnya. Karna itu Allah Azza wa Jalla dan malaikat bangga dengannya sambil mengacungkan jari jempol masing2 pada pemberani2 ini di dalam daulat agama Allah dan nuraninya. Mreka senantiasa bersabar bersama Nya dan menelan pil pahit takdir2 Nya, hingga Dia pun langsung jatuh cinta pada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman: "....Allah menyukai orang orang yang sabar" (Q.S. 3:146).
Dia hanya memberi bala cobaan demi kecintaan Nya padamu. Smakin kau jalankan perintah2 Nya dan kau tinggalkan larangan2 Nya, maka smakin besar pula cinta Nya, dan smakin engkau bersabar atas bala cobaan Nya, maka smakin besar pula kedekatan Nya. Seorang (saleh) bertutur: "Allah enggan menyiksa kekasih Nya, akan tetapi Dia hanya menguji dan menyabarkannya." Nabi Saw juga bersabda: "Seolah dunia itu tidak ada, dan seolah Akhirat itu tidak berakhir."
Hai para pencari dunia, juga pecinta dunia, datanglah kepadaku! Akan kuberitahukan pd kalian cela2 keburukan dunia. Akan kutunjukan pd kalian jalan menuju al Haqq' Azza wa Jalla. Akan kumasukkan kalian kdalam jajaran orang2 yg hanya menginginkan Wajah Allah Azza wa Jalla.
Wahai manusia! Tinggalkanlah igauan2 dan angan2 batil, serta sibukkanlah diri dng zikir mengingat Allah. Berbicaralah hal2 yg bermanfaat bg kalian dan diamlah dari hal yg bisa memberi mudarat bg kalian. Berniatlah dng niat yg saleh, br setelah itu bicaralah. "Mulut orang yg bodoh ada di depan hatinya, dan mulut orang yg berakal dan alim ada di belakang hatinya. " Membisulah kau! Jika Allah menginginkanmu berbicara, maka Dia sendirilah yg akan membuatmu mengucap dan mengurai kata. Jika memang Dia menginginkan sesuatu, maka Dia akan menyiapkanmu untuk itu. Nabi Saw bersabda " Barang siapa yang mengenal Allah, maka akan kelu lidahnya".
Dia mengelukan lidah lahir dan batinnya untuk mengajukan penolakan kpd Nya atas sgala sesuatu, dan hanya menurut tanpa interupsi menentang. Dia telah membutakan kedua mata hatinya dari melihat selain Nya, mengoyak koyak nuraninya, melunturkan amr nya, dan mencerai beraikan hartanya, serta mengeluarkannya dari wujud (eksistensi kemanusiaan) nya, serta mengeluarkan dunia dan Akhiratnya, hingga hilanglah nama dan rupanya.
Dia mewujudkan kembali setelah hilang dan menciptanya lg menjadi manusia lain. Dia meleburkannya dng kuasa fana, agar ia mencari perjumpaan (dengan Nya) dan membangkitkannya kembali dng kuasa "baqa" agar menyeru mahluk dari kefakiran menuju kekayaan (bersama Allah). Kekayaan (yg sejati) adalah kekayaan bersama Allah dan berhubungan dengan Nya, dan kefakiran (sejati) adalah kejauhan dari Nya dan merasa kaya bersama selain Nya.
Orang kaya adalah orang yg hatinya bergembira dengan kedekatan Tuhannya, dan orang fakir adalah yg tidak bisa merasa demikian. Barangsiapa ingin kaya, maka ia hrs mengesampingkan dunia dan Akhirat beserta sgala isinya dan segala hal selain Nya. Ia hars mengeluarkn satu demi satu sgala sesuatu dr hatinya. Jangan mrasa sempit dng barang sdikit yg ada padamu, sebab dia akan menjadikan yg sdikit dng bekal dlm menyusuri jalan menuju Nya. Dia jadikan sgala kenikmatan bagimu, agar kalian menyandarkannya pada Nya serta kalian jadikan petunjuk menuju Nya. Sementara itu, Dia jadikan ilmu agar kalian mempelajarinya dan mencari petunjuk lewat cahayanya.
Wasalam
(sumber" Rahasia Mencintai Allah", Syekh Abdul Qadir al Jailani).

mencintai Allah

mencintai Allah

KETAHUILAH, segala sesuatu bergerak oleh gerakan Nya dan diam oleh diam Nya. Jika persepsi ini sudah kokoh menancap pd diri seseorang, maka ia akan merasa lega dari beban berat syirik (menyekutukan Allah) dng manusia, dan manusia pun merasa nyaman dengannya, sebab ia tidak mencela mereka, juga tidak menuntut mereka dng sesuatu semaunya, melainkan hanya menuntut yg d tuntut oleh syara smata. Melihat perbuatan Allah atas manusia adalah aqidah (keyakinan) yg tidak terbatalkan oleh hukum, sebab Dia sendirilah yg menentukan dan menuntut.
Seorang pecinta tidak memiliki apa2. Smua yg dimilikinya, sudah ia serahkan pd kekasih yg dicintainya. Cinta dan kepemilikan slamanya tdk akan menyatu. Seorang yg mencintai al Haqq' Azza wa Jalla dan benar2 tulus mencintai Nya (harus) menyerahkan diri, harta dan kesehatannya pada Nya serta meninggalkan ikhtiar bg dirinya dan orang lain. Ia tdk akan menuduh Nya macam2 perihal perbuatan Nya. Ia jg tdk memburu buru Nya dan tidak pula pelit pada Nya. Baginya smua yg dikeluarkan oleh Nya untk dirinya adalah sesuatu yg indah. Smua arah sudah tertutup baginya dan hanya menyisakan satu arah saja, Dia.
Hai orang yg mengaku mencintai Allah, cintamu pada Nya tdk akan sempurna sblum kau buntukan smua jalan, hingga hanya menyisakan satu jalan saja bagimu. Kekasihmu tlah mengeluarkan mahluk dr dlm hatimu, dr Arsy hingga kedalaman bumi, karna itu jng kau cintai dunia juga Akhirat. Anggaplah smua gersang bagimu dan rasakan kenyamanan bersama Nya. Bersabarlah sebagaimana sabar Majnun Layla saat ia termakan cinta. Ia keluar d tengah2 mahluk yg asik menyendiri dan bergaul dng binatang2 buas. Ia rela keluar gedung megah menerima gubuk reot. Ia keluar dr pujian manusia dan cacian mreka. Baginya, bicara dan diam sama saja, ridha dan benci jg sama. Suatu ktika ia ditanya, Siapa engkau? Ia menjawab, "Layla. "Ditanya lagi, darimana engkau berasal? Ia menjawab "Layla. Lagi2 d tanya. "kemana engkau mau berjalan? Ia jawab "Layla. Ia telah buta dr selain Layla dan tuli dari slain mendengar ucapan Layla. Ia tdk bergeming meninggalkan gadis itu hanya karna cercaan para pencerca. Bagus skali apa yg dituturkan seorang penyair :
"Ketika nafsu mendorong pada cinta (hawa)
Maka ia menjadikan manusia seperti besi yang dingin.
Ktika hati mengenal al Haqq' Azza wa Jalla, mencintai dan dekat dengan Nya, maka ia akan merasa enggan dengan mahluk dan bergaul dengan mereka. Juga merasa muak dng makanan dan minuman, pakaian, dan pernikahannya. Ia tidak senang dng gedung mewah, dan lebi suka tinggal di gubuk reot. Tidak ada sesuatu pun yg mampu mengikatnya slain syara yg mengikatnya dlm perintah, larangan dan perbuatan, membelenggunya hingga datang takdir.
"Rasulullah Saw bersabda:
"Barangsiapa yang sakit semalam saja, sambil ridha pada Allah ' Azza wa Jalla dan sabar menghadapi apa yang menimpanya, maka ia telah keluar dari dosa dosanya sebagaimana saat ia dilahirkan oleh ibunya."
Wasalam
(sumber "RAHASIA MENCINTAI ALLAH", Syekh Abdul Qadir al Jailani).

makrifat dalam tasawwuf



MAKRIFAT DALAM TASAWWUF

Oleh : Muqoffa Mahyuddin, SAg.*)

MAKRIFAT Adalah mengenali dzat dan sifat Alloh secara benar. Mengenal Allah SWT. merupakan pengetahuan yang paling sulit sebab tidak ada yang serupa denganNya. Namun demikian, Allah mewajibkan semua makhluk-manusia, jin malaikat, dan setan–untuk mengenali zat, nama, dan sifat-sifatNya. Pengenalan terhadap Allah telah tertanam dalam diri hewan ataupun yang lainnya. Setiap

entitas mengetahui eksistensi Penciptanya.

Allah berfirman :

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.’(QS. Al Isra’(17):44).

Ini meliputi manusia, malaikat, hewan, benda mati, tumbuhan, udara, tanah, dan air. Allah memuji mereka yang mengenaliNya. Sebaliknya, Dia mencela mereka yang tidak mengenaliNya dan mereka yang megingkarinya.

Makrifat Allah terbagi dua; bersifat umum dan khusus. Makrifat Allah yang bersifat umum yang wajib dimiliki setiap mukallaf adalah mengakui eksisitensi-Nya, menyucikanNya dari segala dari segala sesuatu yang tidak sesuai denganNya, serta mengakui segala sifat yang Allah telah tetapkan untuk diriNya, serta mengakui segala sifat yang Allah tetapkan untuk diriNya. Sementara makrifat yang bersifat khusus adalah kondisi menyaksikan Allah. Ahli makrifat adalah orang yang Allah beri kemampuan untuk menyaksikan zat, sifat, nama, dan perbuatanNya. Adapun orang alim Allah diberikan pengetahuan tentang hal itu, tetapi tidak lewat penyaksian secara langsung, namun lewat keyakinan.

Pendapat yang lain menyebutkan, makrifat adalah sejenis keyakinan yang muncul lewat sebuah perjuangan ibadah. Menurut Imam Ghazali, Allah terlampau besar untuk bisa ditangkap oleh panca indera, esensi keagunganNya tak bisa dijangkau oleh akal dan analogi, bahkan keagunganNya tak bisa dijangkau oleh selainNya, serta Mahabesar untuk bisa dijangkau oleh selainNya, serta Mahabesar untukdikenali oleh yang lain. Tiada yang mengetahui Allah kecuali Allah itu sendiri. Puncak pengetahuan hamba sampai pada satu titik di mana mereka menyadari bahwa mustahil mereka bisa mencapai ma’rifat yang hakiki. Secara sempurna hal itu disadari oleh seorang nabi atau seorang siddiq. Nabi SAW. Misalnya mengungkapkan hal itu dengan berkata,”Aku tak bisa memberikan pujian yang cukup kepadaMu, Engkau seperti pujian yang Kau berikan untuk diriMu”. Adapun al-shiddiq, ia pernah berkata,”Ketidakmampuan untuk mengetahui adalah pengetahuan itu sendiri”.

Ada yang berpendapat bahwa jiwa manusia setelah berpisah dengan jasad bisa diidentifikasi lewat pengetahuan dan ilmu yang terukir padanya. Tidak ada yang bisa diketahui dan dikenali darinya kecuali pengetahuan tersebut. Karakter manusia akan dikumpulkan berdasarkan bentuk ilmunya, serta jasadnya akan dibangkitkan berdasarkan amal yang dilakukan, apakah baik atau buruk. Ketika jiwa manusia telah berpisah dengan dunia sebagai alam taklif atau tempat beramal, ia akan memetik hasil yang telah ia tanam. Pengenalan terhadap Allah yang ia peroleh di akhirat takkan lebih dari pengenalan yang ia peroleh dari dunia, kecuali lebih menyingkap dan lebih memperjelas. Seseorang akan menyaksikan dan melihatNya sesuai dengan kualitas makrifatnya kepada Allah serta pengetahuannya terhadap nama dan sifatNya. Sebab, makrifat di dunia akan berubah di akhirat menjadi sebuah penyaksian, sebagaimana benih berubah menjadi padi. Seperti halnya orang yang tidak mempunyai benih takkan mempunyai tanaman, demikian pula orang yang tidak memiliki ma’rifat di dunia ia takkan bisa melihat atau menyaksikan Allah di akhirat.

Sebagaimana tingkat ma’rifat berbeda-beda, tingkat penyaksian seseorang yang juga berbeda bergantung pada kualitas tahalli (menghiasi diri dengan perbuatan mulia). Orang yang ingin menyalakan pelita dan lentera, ia membutuhkan tujuh hal; batang, kayu, batu pembakaran, korek, tiang, sumbu, dan minyak. Kalau seorang hamba ingin mendapat lentera makrifat;

pertama, ia harus memiliki kayu perjuangan. Sebab, Allah berfirman;

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.(Qs. Al Ankabut[29]:69).

kedua, ia harus mempunyai batu kerendahan diri. Allah berfirman;

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (QS. Al A’raf(7):55)

ketiga Nyala api yang dibutuhkan adalah terbakarnya hawa nafsu. Allah berfirman;

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,”(QS. An Nazi’at[79]: 40).

keempat, koreknya adalah kembali kepada Allah. Allah berfirman;

Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).,’(QS Az Zumar[39]:54)

kelima, membutuhkan tiang kesabaran. Allah berfirman;

Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. Al Anfal[8]:46).

keenam, ia membutuhkan sumbu syukur. Allah berfirman;

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu Hanya kepada-Nya saja menyembah. (QS. An Nahl[16]:114).

ketujuh, ia membutuhkan minyak keridhaan terhadap semua ketentuan Allah. Allah berfirman;

Dan Bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, Maka Sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri (QS. At Thur [52]:48).

Diceritakan bahwa seorang saleh mempunyai saudara yang telah mati. Lalu di saat tidur ia memimpikannya. Ia bertanya kepada saudaranya itu ,”Apa yang telah Allah perbuat kepadamu?” Ia menjawab,”Aku telah dimasukkanNya ke dalam surga. Aku makan, minum, dan menikah”. Bukan itu yang kutanyakan. Apakah engkau menyaksikan Tuhan?. Kata orang sholeh tadi. Saudaranya itu menjawab,”Tidak ada yang bisa melihatnya kecuali orang yang sudah mencapai ma’rifat kepadaNya.”[qoffa]

Ibnu Athoillah Al Askandari, (Miftahul Falah Wa Misbahul Arwah, Maktabah Al Turats al Islami, Mesir, 2000, hal 124)

*)Penyuluh Agama Islam fungsional Kandepag Kulon Progo, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi: Studi Agama dan Resolusi Konflik.

18 July 2008





POLITIK, AGAMA DAN KEBEBASAN BERBICARA

Oleh : Muqoffa Mahyuddin[1]

Pendahuluan

Membicarakan asal usul gagasan kemerdekaan Eropa tentunya membicarakan tentang akar liberalisme modern pada abad ke-17, ketika pemerintahan feodal sedang berjuang untuk memerdekakan diri mereka sendiri dari hegemoni Paus dan gereja (Kristen Katholik). Pada saat itu, bangsa-bangsa yang merdeka dan berdaulat belum ada. Setiap kota atau kerajaan berada di bawah perwalian pangeran atau bangsawan. Para bangsawan atau penguasa feodal ini, pada gilirannya, di bawah pengaruh pendeta setempat dan Paus Suci Roma. Negara yang paling kacau adalah Italia. Di sinilah muncul seorang Filosof bernama Niccolo Machiavelli (1469-1527) yang bukunya The Prince, memberikan kerangka filsafat yang kemudian dikenal dengan Machiavellianisme.

Mengikuti pembebasan negara-negara dari hegemoni Gereja Katholik dan Paus, pemikiran yang bebas dan ilmiah bererti membebaskan dirinya dari hegemoni inkusisi yang menakutkan. Hasilnya adalah kekangan tradisi keagamaan dan otoritas atas pemikiran dan kehidupan rakyat menjadi longgar; tetapi ia meminta korban ilmuan besar seperti Galileo Galilei (1564-1642) Pemikiran yang bersifat investigatif dan akal yang sedang berkembang tidak lagi mengalami kekakuan, stagnasi dan tirani kependetaan Katholik.

Langkah selanjutnya dalam Renaisans Eropa adalah reformasi keagamaan dan Protestanisme yang dilakukan di bawah pimpinan Marthin Luther (1483-1546), John Calvin (1509-1564), dan yang lainnya. Umat Protestan menolak tahayul dan larangan-larangan agama Katholik. Mereka bertujuan kembali kepada kemurnian ajarannya yang sederhana, spiritualitas dan kebebasan. Demikian juga mereka berjuang bagi kebebasan berseni dan berbudaya.[2] Gerakan ini memuncak pada pencarian bagi kebebasan sosial dan politik dituntut oleh revolusi Prancis yang Agung (1789-1799) dan Rezim demokratis lainnya. Para pelopor gerakan ini adalah JeanJacques Rousseau (1712-1778), Francois Marie Voltaire (1694-1778), Charles de Scondat, Baron de Montesquie (1689-1755) dan para ensiklopedis lainnya (Para Filosof Prancis abad ke-18) yang umumnya anti tahayul, atheis dan agnostik.

Melihat sejarah Eropa di atas akan memunculkan pertanyaan: Apakah benar bahwa politik liberal dan gerakan intelektual yang telah memicu Eropa menuju lompatan besar pada hakikatnya adalah gerakan anti agama, anti gereja dan anti pendeta? Apakah gerakan liberal tersebut berhubungan dengan kebebasan berbicara ?

Pertama, kita perlu menjelaskan asal usul pertentangan gereja terhadap kebebasan. Pertanyaannya adalah: Apakah antagonisme ini disebabkan oleh kondisi doktrin dan sejarah tertentu, atau sebuah akibat dari nilai universal yang dimiliki semua agama dari waktu ke waktu? Jawabannya cukup sederhana. Dengan mengesampingkan persoalan kebenaran dan otentitas agama, tampaknya cukup beralasan untuk berharap bahwa Tuhan yang, secara divinisi, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, berkuasa serta mengetahui kebaikan dan kejahatan, adalah mempunyai kualifikasi yang lebih baik untuk menilai apa yang pantas bagi manusia ketimbang manusia itu sendiri. Apakah kepercayaan ini masih menyisakan pilihan bagi pemeluknya ketimbang menyerahkan sepenuhnya tanpa syarat kepada kehendak Tuhan? Lebih lagi para pendeta dan gereja, yang menganggap diri mereka sebagai penerus Yesus dan wakil Tuhan - dan ulama lain yang menganggap diri mereka sendiri sebagai penjaga umat Tuhan-pasti berharap agar masyarakat mengikuti mereka, dan untuk mensubordinasikan akal dan ilmu pengetahuan kepada perintah-perintah Tuhan yang diwahyukan.

Doktrin tersebut di atas tidak menyisakan ruang bagi kebebasan dan berkehendak manusia untuk mengatur urusan mereka sendiri dan untuk mempertanyakan-setidaknya menolak – wakil Tuhan yang mengklaim bebas dari kesalahan karena status mereka sebagai pengganti Nabi. Jadi tampaknya akal manusia dan peraturan agama sama-sama eskslusif. Berbeda dengan sabda Nabi Muhammad SAW., -Pemerintah bisa tetap hidup meskipun tidak beriman, tetapi akan hancur bila tidak adil - tampak bahwa peraturan absolut dari ulama' sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan masyarakat, jika tidak menginginkan masyarakat melepaskan agama secara keseluruhan. Konsekuensinya, demokrasi, ilmu pengetahuan, investigasi, keahlian dan pengetahuan, tampak sebagai akibat yang pasti dari sikap mencela agama dan ulama'. Sementara menerima kedaulatan Tuhan dan ihwal pengurusan bumi oleh gereja dan ulama' akan mengakibatkan tirani, perbudakan, inkuisisi[3] dan kekerasan. Ironisnya adalah bahwa hukum Tuhan di muka bumi yang berasal dari "langit" memerlukan pengawasan, sensor, penahanan dan siksaan. Kekerasan terhadap orang-orang dalam dan orang-orang luar sama-sama dianggap sebagai esensi mencari keadilan dan kemurahan hati. Dalam masyarakat seperti ini, kritisisme terkecil, perselisihan, pelanggaran dalam persoalan-persoalan ritual, aministrasi, politik dan bahkan dalam persoalan pribadi akan dianggap pelanggaran terhadap Tuhan dan wakil-wakilNya.

Pemerintah yang beragama, tidak seperti negara-negara beraliran Marxist, tidak bisa mentolerir kebebasan berpendapat dan kritisisme. Kebebasan berpendapat dan berkumpul, juga pemogokan dan demonstrasi adalah sesuatu yang tak terpikirkan; penilaian partai yang berkuasa dan eksekusinya akan cepat dan bersifat ketegoris. Baik pemerintah beragama maupun Marxist mengakui kebebasan dan rasionalis hanya bagi pengikut-pengikutnya yang patuh. Bagi yang lainnya, kebebasan hanya berarti pengrusakan, kekacauan, percampuran, pencelaan terhadap ideologi dan rezim yang berkuasa.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah seluruh utusan Tuhan, khususnya pendiri agama Islam, menyetujui praktik agama Kristen pada abad pertengahan Apakah nabi-nabi Allah mengajarkan kita untuk menghasut mengadakan revolusi berdarah di muka bumi, meningkatkan keragu-raguan, menghancurkan gerakan-gerakan anti revolusi, menyebar bibit-bibit kebencian dan pertentangan.

Al Qur’an telah menjelaskan misi para rasul, baik secara langsung, melalui perintah-perintah, maupun tidak langsung, melalui penjelasan secara umum tentang rencana penciptaan Tuhan. Apa yang kita pelajari dari sejarah rasul dan slogan kita.” Tidak ada Tuhan Selain Allah,” adalah bahwa misi Rasul untuk memerdekakan manusia, bukan untuk memperbudak, yaitu membebaskan manusia dari apa dan dari siapa? Sal;ah satu jawabannya adalah dari raja-raja, orang-orang yang kaku, dan orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan kekayaan, dari para penindas pada masanya. Dalam QS. 20: 47 dan 44, yang membicarakan nabi Musa secara khusus, Tuhan memerintahkan kepada Musa dan Harun untuk berkata kepada Fir’aun ,” Kirimkanlah bani Israil kepada kami (hingga kami bisa membawa mereka kepada wilayah dan bangsa mereka sendiri) dan janganlah menindas mereka,”….Mereka diperintahkan untuk tidak mengutuk dan menghinanya, tetapi “berbicara dengan lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat dan takut (kepada Allah dan akibat-akibat dari tindakanNya,”.

Agama dan Politik

Konfrontasi antara gereja-gereja abad pertengahan dan gerakan liberal menyebabkan pemisahan antara agama dan politik barat. Konflik yang bertanggungjawab atas tersebarnya kekecewaan para intelektual dan ilmuan terhadap agama, terus berlangsung sampai abad ke-20. Dalam dunia Islam situasinya sangat berbeda.[4]

Di kalangan muslim Sunni [sekte terbesar dalam Islam] dan di bawah khalifah-khalifah [Sunni], pemerintah mendominasi agama dan ulama. Raja adalah pemimpin agama dan sekaligus pemimpin masyarakat. Ia adalah orang-orang yang menunjuk para imam salat Jum’at , para gubernur dan menteri-menteri. Para hakim ditunjuk oleh khalifah, sehingga mereka tidak dapat menentang hukum yang ditentukan oleh khalifah. Para khalifah adalah penguasa tertinggi, hakim agung dan sekaligus bendaharawan. Mereka menganggap diri mereka sbagai pengejawantahan dari ayat al-Qur’an:”Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan orang-orang yang berkuasa di antara kamu,”(QS:4:59). Oleh karena itu para khalifah itu mengklaim diri sebagai penguasa dan otokrat yang abslut. Semakin jauh kita melacak Islam pada masa-masa awal, semakin banyak kita mendapatkan tirani sperti ini. Setelah “al-Khulafa’ al Rasyidin” hak warga negara untuk mengkritik dan berbeda pendapat dengan pemimpin mereka hilangkan.

Di kalangan ulama’ syi’ah, keadaannya sungguh berbeda. Karena mereka adalah minoritas yang tertindas, mereka tidak berbicara tentang persoalan pemerintah dan politik. Pada awal masa pemberontakan terhadap khalifah Umayyah dan Abbasiah secara berturut-turut memerintah antara 661-750, dan 750-1258, dan selama masa kemerdekaan secara perlahan-lahan dari rezim Bagdad, pemerintahan Sunni dan Syi’ah di Iran kembali ke rezim monarki absolut. Walaupun sejumlah raja, seperti Mahmud Ghaznawi (971-1030) Atau bangsa Daylami (dikenal juga dengan bangsa Buwaihi), Safawi dan Qajar (dinasti Pesia secara berturut-turut memerintah antara 945-1055, 1502-1736, dan 1794-1925) adalah orang-orang yang berorientasi kepada agama dan berlagak saleh, dan meskipun secara umum mereka menghomati ulama dengan sangat tinggi, agama dan politik tetap terpisah dalam segala aspek. Para pemimpin syi’ah terpisah dari negara dan mereka tidak tertarik pada urusan-urusan sosial, administrasi dan politik. Mereka mendapatkan shodaqoh lainnya langsung dari masyarakat dan para pedagang. Hingga terjadinya revolusi konstitusional Iran (1906), para ulama masih jarang terlibat dalam persoalan-persoalan hukum. Etapi sebagian besar dari mereka melibatkan diri mereka dalam pendidikan, kesarjanaan, dan mengeluarkan maklumat. Karena pimpinan agama tertinggi sering mendapat keluhan dari masyarakat, sekali-kali mereka memprotes dan menasehati pemerintah, atau, mereka secara singkat mengintervensi ke dalam fungsi-fungsi eksekutif negara.[5]

Dalam menekankan kebebasan berpendapat dan beragama, cukuplah bagi kita untuk mendengarkan pendapat-pendapat orang lain dan memilih yang terbaik antaranya….[6]Islam membolehkan perbedaan pendapat, bahkan dalam wilayah ajaran-ajaran agama, apalagi dalam persoalan-persoalan administrasi dan pemerintahan.[7]

Ayat-ayat Setan-Salman Rushdi

Dari waktu ke waktu suatu masyarakat multicultural harus memancarkan situasi di dalamnya yang terdapat budaya dan perselisihan paham moral antara masyarakat yang berbeda menuju kedepan dan menciptakan suatu cisis. Di tahun terakhir tidak ada peristiwa lain yang mempunyai ilustrasi ketegangan ini lebih dari yang kontroversi melingkupi Salman[8] dengan The Satanic Versesnya [9]( 1988). Tidak sama dengan Midnnight’s Children (Anak-Anak Tengah Malam) ( 1983), suatu pekerjaan lebih rendah di dalam yang dirinya menulis tentang Pakistan, ayat-ayat setan sebagai kiasan untuk kematian dan ressurection, Hal tersebut menguji tatacara di dalam diri, yang mana ditempelkan di dalam bahasa tertentu, pola teladan hubungan dan lingkungan sosial dan alami, menyusun kembali dirinya sendiri sebagai jawaban atas perubahan pada mereka.[10]

Fatwa merupakan istilah Islam lain yang kini dikenal Barat karena penggunaannya melawan Salman Rushdi, penulis The Satanic Verses (1988). Istilah ini berarti pendapat atau keputusan resmi mengenai sebuah pokok hukum Islam. Sebuah fatwa dapat dikeluarkan oleh setiap pemimpin agama menyangkut berbagai topik. Ia tidak memiliki status hukum dan sebenarnya, harus diratifikasi dalam suatu pengadilan yang sesuai, jika akan menyandang status hukum. Jangkauan otoritas fatwa secara umum juga terbatas secara geografis serta budaya, dalam ruang lingkup otoritas pemuka muslim yang mengeluarkan fungsin fatwa tersebut.[11]

Fatwa Imam Khomaeini yang menentukan, yang menghukum mati Salman Rushdi karena novelnya The Satanic Verses (1988), perlu diletakkan dalam konteks historis ini. Di Iran-sebagaimana yang sesungguhnya terjadi di sebagian dunia muslim-novel ini dipandang sebagai upaya sengaja menghina dan mengejek tokoh-tokoh yang dihormati dalam Islam. Seiap tokoh agama di Iran akan melakukan apa yang telah dilakukan Khomeini. Penting untuk diingat bahwa muslimdi negara-negara Islam dilindungi oleh undang-undang penghinaan. Di PakisanIran , mengolok-olok Al Qur’an dan Nabi adalah sebuah pelanggaran konstitusi. Intinya disini bukanlah bahwa muslim menghormati Al Qur’an dan Nabi karena hal itu terdapat dalam konstitusi mereka, tetapi lebih pada pengertian bahwa konstitusi mereka mencerminkan harapan muslim dengan mewujudkan tuntutan publik ini dalam hukum-hukumnya. DiAl Qur’an.[12] atau negara-negara yang sebagian besar penduduknya muslim, tak seorangpun berpikir untuk menghina Nabi atau

Realisme Megic mengambil format berbeda tergantung jujur abstrak yang diadopsi oleh pengarang [itu]. sajak/ayat Yang satanic beroperasi pada suatu untuk [yang] tingkat rendah abstrak. Rushdi menenun arround [yang] naratif nya mengkhayal tetapi para laki-laki dan perempuan dapat dikenal dan tidak suatu kenyataan [yang] disusun kembali. campuran seperti itu Af sihir realisme dan sejarah antasized adalah sesuai untuk menyelidiki kelahiran dan menyebar pergerakan historis sangat penting di (dalam) wich individu agung dan tiheir pengikut mengaktipkan pergerakan di (dalam) wich individu agung dan pengikut mereka mengaktipkan mereka sendiri dan khayalan dan dongeng satu sama lain, menghasilkan emosi kuat dan bentuk kembali [yang] kehadiran [yang] dibayangkan mereka [yang] ia terang suatu mengkhayal masa lampau dan masa depan.

Sinopsis akhir cerita ayat-ayat setan adalah Dalam kilas balik kehidupan Mahound yang berseting di Jahiliyah yang berupa mimpi atau penglihatan dari Gibreel, dikisahkan bahwa sang "Messenger" (perantara) dihadapkan pada pilihan sulit untuk berkompromi dengan adat politeisme. Pada saat ia ingin memperkenalkan sistem monoteisme yang diwahyukan kepadanya, hal tersebut ditentang oleh masyarakat setempat. Pada puncaknya ia harus memilih antara mengakui ketiga dewi utama Jahiliyah (Allat - bentuk wanita dari Allah, Uzza, dan Manah) sebagai setara dengan Allah dan seluruh penduduk Jahiliyah akan menyembah Allahnya Mahound, atau ia dapat bersikeras untuk menolak dewi-dewi tersebut dan akan dimusuhi/diasingkan. Setelah ia mengundurkan diri untuk mencari wahyu, pertama-tama ia kembali dengan menyatakan bahwa ia mendapatkan wahyu dari Gabriel bahwa ketiga dewi tersebut akan diakui setara dengan Allah; namun kemudian setelah ia naik gunung lagi, ia kembali dengan menyatakan bahwa wahyu sebelumnya adalah dari setan dan harus dimusnahkan dari semua catatan tertulis yang telah dibuat, sebagai akibatnya ia dan pengikutnya melarikan diri dari Jahiliyah. Dua sequence pendek lainnya yang menceritakan tentang Mahound mengisahkan tentang tokoh bernama Ayesha, yang diceritakan merupakan anak perempuan muda yang menjadi istri Mahound, dan awal mula sistem poligami dalam kepercayaan yang disebarkan oleh Mahound. Sequence ketiga mengisahkan tentang seorang pengikut Mahound, yaitu juru tulisnya dari Turki, yang mencatat semua syair (karena wahyu yang disampaikan kepada Mahound dibacakan seperti puisi sesuai dengan tradisi oral masyarakat saat itu) yang diutarakan oleh Mahound; juru tulis tersebut menjadi benci dengan Mahound karena ia beberapa kali menyelamatkan Mahound dan pengikutnya namun tidak pernah diakui jasanya, kemudian bibit ketidakpercayaannya membuatnya menguji apakah benar wahyu Mahound berasal dari malaikat. Diceritakan ia merubah beberapa kata-kata kecil pada saat ia mencatat apa yang dikatakan Mahound tanpa sepengetahuan Mahound. Hasilnya ternyata Mahound yang mendengar ulang apa yang dituliskan tidak menyadari perubahan yang terjadi. Sang juru tulis akhirnya berkesimpulan bahwa wahyu tersebut tidak lain adalah hasil rekaan Mahound sendiri.

Protes Orang Islam

Segera setelah penerbitan ayat-ayat setan pada 26 September 1988, Orang Islam Britania mulai berkampanye memprotes novel tersebut. Keberatan mereka disebabkan pertama, buku tersebut memberi suatu pemahaman Islam yang tidak akurat dan menyebarkan atau mengucapkan kepalsuan. Buku tersebut sangat nampak tidak dekat dengan sejarah aslinya. Dalam keadaan seperti ini orang Islam melakukan mengatakan mereka berhak untuk memberi penghormatan kepada iman mereka yang integritasnya diakui dan merupakan warisan/pusaka budaya mereka. Kedua, Orang Islam berargumentasi bahwa ayat-ayat setan satanic adalah “vilifactory kasar” menghina, mengandung kutukan dalam membahas wanita-wanita dan manusia-nya yang mereka anggap suci dan yang dianggap suci adalah penjaga/wali.

Logika Ceramah Politis

Walaupun debat melingkupi ayat-ayat setan mempunyai beberapa corak tidak biasa, sebagian besar timbul dari fakta bahwa hal tersebut melibatkan agama, suatu yang mengagetkan dan baru-baru ini tiba-tiba minoritas imigran dan suatu acara penguburan kematian, adalah tidaklah untuk representative publik berdebat di depan umum dan debat tersebut menyertakan budaya, religius dan minoritas susila khususnya. Karena itu menawarkan pengertian yang mendalam berharga ke dalam alam, batas-batas dan struktur publik berdebat di dalam suatu masyarakat multicultural, akan berguna bagi kelanjutan sebagian dari pelajaran penting nya[13]

Salah satu pertimbangan untuk ini harus lebih dulu mengatur fakta bahwa dua kelompok mengenal hanya sedikit jalan hidup satu sama lain . Orang Islam yang merasa disusahkan oleh ayat-ayat setan untuk macam alasan menyebutkan lebih awal. Lagipula, pertimbangan yang mereka kedepankan di dalam publik bukanlah pertimbangan riil mereka, dan karenanya mereka merasa diasingkan dan dikacaukan pengikut mereka. Tidak sedang dalam ceramah yang liberal pada atas kemerdekaan berbicara, mereka juga menemukan diri mereka sering ada dalam pilihan yang salah dan tanpa alternatif lain dikalahkan oleh lawan liberal mereka secara alami paling senang merasa serumah dengan tradisi itu.[14]

Multikulturalisme Dalam Masyarakat Majemuk

Di dalam dunia ilmu-ilmu sosial telah muncul semacam kesadaran, bahwa penelitian sosial tidak pernah boleh berhenti pada pengumpulan data-data semata. Penelitian sosial haruslah menekankan dan mengajarkan nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan bersama. Hal yang sama kiranya juga berlaku di dalam penelitian-penelitan mengenai multikulturalisme. Seorang ilmuwan sosial asal Swedia, Gunnar Myrdal, mempunyai pendapat menarik tentang hal ini.[15] Pertama, baginya ilmu-ilmu sosial haruslah melibatkan sesuatu yang lebih dari sekedar penggambaran fakta-fakta. Dalam arti ini ilmu sosial haruslah menyentuh problem-problem mendasar kehidupan manusia, seperti soal nilai dan makna. Kedua, setelah menggambarkan fakta ilmu-ilmu sosial haruslah menjelaskan keterkaitan antara fakta-fakta yang beragam tersebut tersebut. Ilmu sosial haruslah mampu menunjukkan relasi yang memberikan kerangka berbagai data yang ada. Ketiga, di dalam ilmu-ilmu sosial problem mengenai sudut pandang sangatlah penting untuk diperhatikan. Suatu masalah bisa begitu signifikan di lihat dari satu sudut pandang tertentu, tetapi juga bisa menjadi sangat tidak signifikan jika dilihat dari sudut pandang lain. Seorang ilmuwan sosial haruslah memberikan argumen yang kuat, jika ia hendak memutuskan bahwa satu sudut pandang dianggap lebih penting daripada sudut pandang lain. Myrdal merumuskan pandangannya ini dalam konteks analisisnya problem multikulturalisme di Amerika. Pertanyaan yang menjadi fokusnya adalah struktur, institusi, dan kebijakan macam apakah yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir yang sesuai dengan konstitusi dasar Amerika?

Pertanyaan itu tentunya kurang relevan untuk kita. Akan tetapi problematika yang muncul akibat fakta adanya kehidupan bersama antara orang-orang yang berasal dari kultur maupun agama yang berbeda jelas sangat relevan untuk Indonesia. Dalam hal ini tentunya kita bisa banyak belajar dari pada peneliti dan ilmuwan yang sudah banyak melakukan analisis di bidang ini. Pelajaran yang ditarik bisa di level deskripsi data, tetapi juga lebih dari itu, yakni suatu konsep tentang masyarakat multikultural, seperti Indonesia, yang ideal. Pada bagian ini, saya akan mencoba untuk menelusuri beberapa pendapat John Rex mengenai problematika multikulturalisme di dalam masyarakat majemuk.

Multikulturalisme untuk Masyarakat Majemuk

Mari kita telusuri beberapa gagasan mengenai tata masyarakat di dalam konteks masyarakat majemuk. Teori sosiologi klasik biasanya selalu berfokus pada konflik-konflik sosial yang muncul di dalam masyarakat yang kurang lebih homogen. Pada 1939 Furnivall membuat terobosan baru dengan mencoba memahami dinamika dan problematika masyarakat plural.[16]Kebetulan juga ia mencoba mempelajari dinamika masyarakat Indonesia pada saat itu. Ia menemukan fakta menarik. Di Indonesia banyak orang yang berasal dari beragam latar belakang suku dan agama hidup di dalam daerah yang sama. Akan tetapi interaksi sesungguhnya justru dilakukan di dalam pasar, dan bukan di tempat tinggal mereka. Artinya walaupun setiap orang hidup di dalam wilayah yang memiliki nilai moral dan agama yang berbeda-beda, tetapi mereka bisa bertemu di pasar. Pasar dianggap sebagai tempat yang tidak memiliki kontrol moral ataupun religius partikular. Di Eropa kapitalisme berkembang sangatlah lambat, dan melibatkan interaksi yang luar biasa rumit dengan nilai-nilai moral di dalam budaya maupun agama. Hal ini tidaklah terjadi di Indonesia. Perkembangan kapitalisme di Indonesia[17] selalu melibatkan pasar, di mana relasi yang terjadi adalah relasi dominasi antara kelompok yang satu atas kelompok yang lain.

Suatu masyarakat disebut sebagai masyarakat majemuk, jika masyarakat tersebut memenuhi satu dari dua definisi berikut ini. Pertama, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari komunitas etnik yang berbeda-beda. Komunitas etnik tersebut hidup terpisah-pisah, dan masing-masing memiliki moralitasnya sendiri. Yang kedua, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang hidup di dalam satu komunitas yang sama, namun dipisahkan satu sama lain oleh pasar. Pada titik ini ada baiknya kita bertanya, apakah masyarakat majemuk semacam itu akan mendorong terciptanya semacam moralitas bersama untuk memampukan mereka hidup bersama secara harmonis, atau mereka justru akan menciptakan relasi dominatif antara kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, di mana justru relasi dominatif itu yang akan menjadi pengikat kehidupan bersama?

Salah satu sosiolog yang mencoba menganalisis hal ini adalah M.G Smith.[18]Menurutnya suatu masyarakat yang homogen selalu memiliki seperangkat aturan sistem sosial yang uniter. Artinya masyarakat tersebut mempunyai seperangkat aturan yang mengatur kehidupan privat, religius, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Akan tetapi masyarakat majemuk tidaklah memiliki hal semacam itu. Masyarakat majemuk ditandai dengan beragamnya perangkat aturan nilai yang digunakan untuk menata kehidupan sosial manusia, dan masing-masing aturan nilai tersebut bersifat total hanya bagi orang-orang yang berada di dalam kultur ataupun agama tertentu. Di dalam masyarakat semacam ini tidak ada sabuk pengikat kehidupan bersama. Bahkan menurut Smith, masyarakat majemuk justru diikat oleh adanya dominasi kelompok yang satu atas kelompok yang lain. Jadi elemen yang mengikat masyarakat majemuk untuk tetap eksis sebagai masyarakat justru adalah dominasi. Dalam konteks ini Smith menawarkan suatu model untuk menjelaskan terjadinya diskriminasi rasial di dalam masyarakat majemuk.

Tentu saja model ini bukanlah suatu model yang ideal bagi masyarakat multikultur. Untuk mencoba merumuskan model ideal bagi suatu masyarakat multikultur, kita pertama-tama perlu untuk membedakan wilayah privat dan wilayah publik dari kehidupan sosial. Rex menawarkan tiga model dalam konteks ini. Pertama, kita dapat memikirkan sebuah masyarakat yang memiliki ruang publik yang tunggal, namun justru mendorong terciptanya perbedaan di dalam ruang privat. Kedua, kita dapat membayangkan sebuah model masyarakat, di mana masyarakat sekaligus mendorong kesatuan di dalam ruang publik maupun di dalam ruang privat. Kesatuan tersebut tentunya didasarkan pada seperangkat nilai-nilai moral yang disepakati bersama. Ketiga, suatu masyarakat juga dapat mendorong perbedaan dan mengakui pluralitas nilai sekaligus di ruang publik, dan di dalam ruang privat. Masyarakat multikultur yang ideal, menurut Rex, adalah masyarakat yang memenuhi model pertama, di mana setiap orang dan setiap kelompok diberi kebebasan untuk mengekspresikan nilai-nilai maupun cara hidup mereka, namun tetap mengacu terus pada ruang publik bersama sebagai satu kesatuan. Model kedua adalah model yang dipakai oleh praktek-praktek kolonialisme, seperti pada sistem Apartheid di Afrika Selatan.

Saya tertarik untuk membahas lebih jauh pandangan Rex mengenai ruang privat dan ruang publik ini. Menurutnya refleksi tentang ruang publik dan ruang privat masihlah jarang ditemukan di dalam teori-teori sosiologi klasik. Para pemikir klasik cenderung untuk memandang masyarakat sebagai kumpulan institusi yang saling terhubung, dan kemudian membentuk satu sistem tunggal. Pandangan semacam ini dengan mudah dapat ditemukan di dalam pemikrian Talcott Parsons,[19] serta para pemikir Strukturalis Perancis, seperti Althusser.[20] Mereka cenderung untuk berpendapat bahwa ruang publik dibentuk oleh semacam moralitas bersama, dan moralitas itu pula yang mengatur kehidupan ruang privat melalui institusi-institusi sosial, seperti institusi agama.

Institusi-institusi sosial yang ada sekarang sangatlah didasarkan pada paradigma fungsionalis semacam ini. Sistem ekonomi dan sistem hukum telah dilepaskan dari tata nilai tradisional, dan mengadopsi tata nilai yang sama sekali baru. Tentu saja nilai-nilai kultural dan nilai-nilai agama tradisional tidak otomatis sama sekali lenyap. Akan tetapi praktek-praktek yang didasarkan atas tata nilai tradisional tidak pernah boleh mencampuri kinerja sistem-sistem sosial yang ada, baik sistem politik, ekonomi, maupun hukum.

Teori-teori sosiologi klasik cenderung untuk memfokuskan analisisnya pada sistem nilai yang berlaku di dalam sebuah masyarakat. Sistem nilai itulah yang menjadi aturan moral yang menata kehidupan masyarakat tersebut. Ferdinand T?nnies pernah menulis, bahwa suatu masyarakat harus mendasarkan kerja sama dan interaksinya pada suatu dasar yang bersifat historis.[21] Durkheim juga pernah menulis tentang “solidaritas organik” (organic solidarity) yang didasarkan pada pembagian kerja (division of labour). Solidaritas organik ini dibedakannya dari solidaritas mekanik pada masyarakat kecil yang didasarkan pada kekeluargaan (kinship).[22] Solidaritas organik ini juga dibedakan dari logika yang menjalankan suatu masyarakat egoistik, di mana nilai-nilai yang menata kehidupan bersama terletak pada beberapa individual yang dominan saja. Beragam pandangan ini semakin dilengkapi oleh Weber, ketika ia menulis bahwa etika Protestan dan Calvin mendorong terciptanya rasionalisasi di bidang agama. Dalam konteks ini, kehidupan bersama semakin didasarkan pada otoritas legal-rasional, dan bukan lagi pada otoritas religius-metafisis.[23]

Dalam arti ini proses perubahan sosial, pembentukan sistem negara modern, dan pembentukan sistem ekonomi kapitalis didorong oleh rasionalitas moral dan hukum di dalam masyarakat. Dengan inilah, menurut Parsons, problematika mengenai bagaimana terbentuknya tatanan masyarakat untuk mencegah ‘perang semua melawan semua’ dapat diselesaikan. Akan tetapi proses rasionalisasi bidang-bidang kehidupan ini tampaknya tidak berjalan secara universal. Seperti yang pernah dirumuskan oleh Furnivall, proses terbentuknya sistem negara modern dan sistem ekonomi kapitalis berdasarkan kehendak bersama tidaklah terjadi di Indonesia. Di Indonesia proses rasionalisasi identik dengan proses kolonialisasi dan dominasi dunia kehidupan bangsa Indonesia oleh kekuatan-kekuatan asing dari Eropa. Tidak seperti di Indonesia, proses pembentukan sistem di Eropa berjalan paralel dengan proses perubahan kulturalnya, sehingga terjadi kesinambungan yang harmonis di antara keduanya.[24]Rex sebagai kultur publik (public culture). Inilah yang disebut

Kultur publik ini terlihat dengan jelas di dalam moralitas publik, hukum, dan agama yang didasarkan pada rasionalitas. Munculnya kultur publik ini juga menandakan berakhirnya kultur rakyat (folk culture) yang terwujud di dalam moralitas, hukum, dan agama rakyat. Hukum, politik, dan moralitas yang didasarkan pada rasionalitas ini kemudian memiliki fungsi sosial yang baru. Di satu sisi, elemen-elemen publik ini mengikat orang-orang yang berbeda untuk bisa hidup di dalam satu komunitas tertentu. Tidak hanya mengikat, elemen-elemen publik ini juga memberikan orang-orang tersebut identitas sosial yang solid. Di sisi lain, elemen publik ini juga memberikan apa yang Parsons sebut sebagai “pemeliharaan pola dan pengaturan tegangan” (pattern maintenance and tension management). Parsons juga lebih jauh berpendapat, bahwa kehidupan di dalam dunia yang rumit dan plural ini hanya mungkin, jika orang memiliki semacam ‘ruang tenang’ yang memungkinkan mereka untuk merasa nyaman. Ruang tenang inilah yang disebutnya sebagai ruang intim.

Tentu saja, pengandaian-pengandaian yang ada di dalam masyarakat multikultur itu hanya mungkin, jika masyarakat telah mengalami perubahan menjadi masyarakat bermentalitas modern. Di dalam masyarakat yang masih sederhana, seluruh kehidupan masyarakat diatur oleh seperangkat aturan nilai tertentu. Hal yang sama kiranya berlaku di dalam masyarakat multikultur, walaupun dengan pola yang berbeda. Seperangkat nilai yang didasarkan pada moralitas bersama haruslah diterapkan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat dalam skala yang masif. Sementara, perangkat nilai yang sama haruslah juga memungkinkan individu-individu yang ada di masyarakat tersebut untuk memperoleh kenyamanan dan stabilitas eksistensial. Masyarakat multikultur haruslah memiliki perangkat nilai semacam itu. Dengan kata lain adalah suatu keharusan, bahwa perangkat nilai yang didasarkan pada moralitas bersama dapat mengatur kehidupan masyarakat, baik di dalam ruang publik maupun di dalam ruang privat. Tanpa perangkat nilai semacam itu, kehidupan bermasyarakat di dalam masyarakat multikultur tidak akan mungkin dapat terjadi.

Institusionalisasi Ruang Publik

Di dalam masyarakat multikultur, menurut Rex, ruang publik dan ruang privat seringkali bersinggungan. Ketika bersinggungan, tegangan dan konflik kepentingan pun tidak dapat dihindarkan. Bidang-bidang yang kiranya menandai persinggungan itu adalah bidang pendidikan dan bidang politik. Pendidikan dan pengaruh ideologi politik terasa dari ruang publik sampai ke dalam ruang privat. Ketika sudah terhubung di dalam ruang publik, pendidikan dan ideologi politik pun kini juga berurusan dengan hukum dan ekonomi.

Hukum menentukan bagaimana orang, baik secara individual dan komunal, dapat hidup bersama dan terintegrasi secara positif ke dalam masyarakat. Inilah yang kiranya menandai ciri dari masyarakat modern, bahwa orang-orang yang berasal latar belakang berbeda dapat terintegrasi secara positif ke dalam masyarakat. “Di dalam masyarakat multikultur yang ideal”, demikian tulis John Rex, “bagaimanapun juga, kita mengandaikan bahwa semua individu secara setara terintegrasi dan dan bahwa mereka memiliki kesetaraan di hadapan hukum.”[25] Ideal semacam ini tidak akan pernah tercapai ke dalam realitas, jika banyak orang masih mengalami diskriminasi di hadapan hukum, atau hak-haknya sebagai warga negara tidak lagi diakui sepenuhnya.

Dalam konteks politik misalnya, kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat multikultur seringkali juga memiliki kekuatan politis yang berbeda-beda pula. Ini tentu saja bukanlah suatu kondisi yang ideal. Di dalam masyarakat multikultur yang ideal, kelompok-kelompok sosial yang berbeda haruslah memiliki kekuatan politik yang setara. Kesetaraan ini dapat dirasakan dalam bentuk partisipasi yang setara di dalam kehidupan-kehidupan publik, maupun di dalam proses-proses pembuatan keputusan yang terkait dengan kehidupan bersama.

Salah satu bidang yang memiliki dampak besar bagi kehidupan bersama adalah bidang ekonomi. Artinya, bidang ekonomi haruslah memiliki seperangkat aturan moral yang memungkinkan bidang tersebut bisa ditata demi kepentingan publik. Bidang ekonomi haruslah mengalami proses institusionalisasi. Proses ini melibatkan proses tukar menukar dan kompetisi antara penjual dengan penjual, ataupun pembeli dengan pembeli. Proses tukar menukar dan kompetisi ini haruslah dibebaskan dari penggunaan kekerasan ataupun pemaksaan. Moralitas yang berlaku di dalam bidang ekonomi adalah moralitas pertukaran yang damai (peaceful bargaining). Upaya untuk mempertahankan proses pertukaran yang adil dan harmonis sangatlah menentukan tingkat keberadaban suatu masyarakat multikultur.[26]

Akan tetapi, walaupun masyarakat multikultur telah memiliki seperangkat tata nilai yang dianggap sebagai moralitas bersama, hal ini sama sekali tidak menjamin bahwa masyarakat tersebut akan selalu hidup dalam keadaan damai. Seringkali, upaya-upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan politis menghasilkan konflik politik yang lebih besar intensitasnya. Upaya-upaya politis tersebut tidak pernah boleh menyangkal hak-hak individual seorang pun, terutama atas dasar alasan-alasan perbedaan etnis.

Dengan demikian, proses pembentukan hukum, politik, dan ekonomi merupakan suatu proses institusionalisasi ruang publik. Proses institusionalisasi tersebut haruslah didasarkan pada nilai-nilai moral yang telah disepakati bersama. Nilai-nilai moral yang sama jugalah yang dapat digunakan untuk menata kehidupan privat yang berkaitan dengan moralitas dan agama. Akan tetapi, terutama pada praktek politik welfare state, ruangp publik, dengan menggunakan kekuasaan birokratis politiknya, bisa memaksakan otoritasnya juga pada persoalan-persoalan agama maupun moralitas.

Dalam batas tertentu, ekspansi kekuasaan birokrasi negara ini memiliki dampak negatif. Negara, misalnya, memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi ke dalam ekonomi melalui mekanisme kontrol kepemilikan, dan campur tangan melalui subsidi maupun peraturan hukum. Lebih dari itu, negara juga memiliki otoritas untuk ikut campur tangan dalam soal-soal moralitas privat maupun keluarga. Mekanisme intervensi ini tentu saja juga mempunyai dampak positif, yakni memungkinkan terjadinya pembagian kekayaan yang merata. Negara juga memiliki otoritas untuk menjamin berfungsinya serikat buruh, sekaligus memastikan bahwa setiap orang, apapun sukunya, memiliki pekerjaan yang layak.[27] Dengan otoritas politiknya, negara juga bisa menjamin bahwa setiap orang yang tidak memiliki pekerjaan memperoleh pendapatan secukupnya. Negara juga bisa membentuk suatu instansi pemerintahan yang memperhatikan problem-problem di dalam keluarga maupun problem individual. Semua ini tentunya membutuhkan pelampauan batas antara ruang publik maupun ruang privat. Dalam arti ini, negara wajib untuk melampaui batas ruang publik dan ruang privat, dan menjamin bahwa kepentingan yang lebih besar dan lebih universal dapat tercapai.

Di dalam bukunya, T. Marshall pernah berpendapat bahwa di dalam masyarakat multikultur, negara tidak hanya memenuhi hak-hak politik maupun hak-hak legal rakyatnya, tetapi juga hak-hak sosial maupun kultural warganya. Harapannya adalah, dengan diperhatikan hak-hak sosial maupun kulturalnya, warga bisa memahami bahwa kepentingan bersama lebih penting dari sekedar kepentingan kelas sosial semata. Dengan kata lain, rakyat jadi memiliki loyalitas yang otentik pada negaranya, dan bukan hanya pada kelas sosialnya semata. Rex menulis begini, “banyak dari perasaan identifikasi yang dimiliki individu dulunya hanya pada ruang privat, kini ditransfer ke level negara.”[28] Setiap orang menghargai dan menghormati kepentingan partikular kelas sosialnya, tetapi lebih dari itu, setiap orang lebih menghargai dan menghormati kepentingan negaranya yang melingkupi kelas sosial yang lebih luas.

Memang, yang terjadi disini adalah seolah peran keluarga kini telah digantikan oleh negara. Akan tetapi, tidak ada yang salah dengan hal ini, terutama ketika justru negara dapat menjalankan fungsi sosialisasi dan penanaman nilai-nilai secara lebih efektif daripada keluarga. Pada titik inilah ruang publik dan ruang privat menyatu. Namun, ketika negara dengan otoritas politiknya mulai mencampuri urusan pendidikan, ada beberapa masalah baru muncul.

Pendidikan, Ruang Publik, dan Ruang Privat

Di dalam masyarakat modern, pendidikan setidaknya memiliki tiga fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi untuk memilih individu-individu sesuai dengan kriteria keahlian mereka, untuk kemudian mempersiapkan mereka menempati peran-peran tertentu di dalam masyarakat. Peran-peran sosial tersebut tentunya sesuai dengan apa yang menjadi keahlian mereka. Kedua, pendidikan juga mengajarkan kemampuan-kemampuan praktis yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk mempertahankan hidupnya, seperti untuk bekerja di bidang industri, ekonomi, ataupun bidang-bidang lainnya. Dan ketiga, pendidikan berfungsi untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Fungsi terakhir inilah yang seringkali mengalami konflik dengan kepentingan privat.

Memang adalah wajar, jika pemerintah ikut campur dalam soal pendidikan. Yang terpenting adalah, proses pendidikan ini tidak bersifat eksklusif. Sejauh pengajaran nilai-nilai moral tersebut terkait dengan moralitas kehidupan bernegara, maka sebenarnya campur tangan pemerintah di dalam pendidikan dapatlah dibenarkan. Akan tetapi, setiap kultur di dalam masyarakat memiliki nilai-nilai partikularnya sendiri yang dijunjung tinggi. Masalah muncul, ketika nilai-nilai partikular tersebut bertentangan dengan moralitas kehidupan bernegara yang diajarkan secara umum oleh pemerintah.

Konflik semacam ini banyak terjadi di Inggris. Orang-orang Asia yang tinggal di Inggris seringkali sudah merencanakan pernikahan anak-anak mereka, ketika anak-anak mereka masih dalam usia muda. Dalam beberapa kesempatan, sekolah seirng mengadakan kegiatan berenang bersama, dan kegiatan ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Asia yang tidak memperbolehkan wanita yang sudah menikah memakai pakaian renang di hadapan orang yang bukan suaminya. Para pemikir dan aktivis feminisme juga memberikan tanggapan kritis mengenai praktek ini. Mereka berpendapat bahwa pernikahan haruslah muncul dari keinginan individual, dan bukan karena kehendak orang tua. Praktek semacam ini dianggap sebagai praktek yang menindas.

Tentu saja, pandangan itu tidaklah disetujui oleh keluarga yang masih meyakini nilai-nilai ketimuran tertentu. Perjodohan, menurut mereka, adalah tanda kepedulian orang tua pada anak perempuannya, yakni bahwa anak perempuannya sudah ada yang menjaga dan mengusahakan kebahagiaannya. Kemungkinan untuk memperoleh calon suami yang baik juga jauh lebih besar di dalam proses perjodohan, daripada jika hanya mengandalkan pencarian yang acak dan romantis, seperti yang kiranya menjadi cita-cita banyak gadis Eropa. Benturan budaya juga terjadi, ketika kultur Eropa yang sangat terbuka pada seksualitas berhadapan dengan kultur ketimuran tertentu yang masih menempatkan seks sebagai persoalan privat semata. Para feminis, dalam hal ini, menuntut diperbesarnya kebebasan kaum perempuan untuk mengekspresikan seksualitas mereka. Akan tetapi, hal ini secara langsung bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran.

Data tentang terjadinya benturan-benturan nilai semacam itu bisa diperpanjang lagi. Yang penting untuk diketahui adalah bahwa benturan itu terjadi, dan frekuensinya semakin sering sekarang ini. Sebuah masyarakat yang ingin memberi tempat bagi keberagaman kultural sekaligus tetap hendak menjamin kesetaraan kesempatan bagi semua pihak, haruslah berhadapan dengan benturan-benturan nilai semacam ini. Juga diperlukan kesadaran, bahwa pemerintah tetap dapat menjamin kesetaraan partisipasi sosial semua pihak sekaligus tetap memberikan ruang bagi pluralitas kultural anggota masyarakatnya.

Seperti sudah dilihat sebelumnya, pendidikan merupakan bidang yang kental dengan benturan nilai semacam ini. Banyak kultur yang merasa, bahwa sistem pendidikan yang dilangsungkan oleh pemerintah tidaklah menampung nilai-nilai kultural mereka. Oleh sebab itu, mereka kemudian menuntut untuk diberikannya kesempatan mendirikan sekolah yang mengajarkan secara langsung nilai-nilai kultural mereka. Hal ini banyak terjadi, baik di Eropa, Amerika, maupun Indonesia, dan belum ada kebijakan yang jelas tentang hal ini. Banyak orang-orang yang berasal dari kultur minoritas lalu memutuskan untuk menanamkan nilai-nilai kultural mereka di luar jam sekolah. Hal yang sebenarnya ingin saya tekankan disini adalah, bahwa walaupun kultur minoritas haruslah belajar dari kultur mayoritas, tetapi kultur mayoritas tetap juga harus belajar dari kultur minoritas. Proses ini tentunya akan mendorong terciptanya penghormatan terhadap kesetaraan kultur di dalam masyarakat majemuk.

Persoalan tentang bahasa juga menimbulkan banyak dilema. Bagi kelompok minoritas kultural, pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan bahasa kultur mereka sudah sejak dahulu dianggap sebagai sesuatu yang penting. Hal ini tentunya haruslah mendapatkan akomodasi lebih jauh. Menurut John Rex, adopsi penggunaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong terjadinya asimilasi yang positif di dalam masyarakat majemuk. Pengakuan terhadap keberadaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong terciptanya kesetaraan sosial di dalam masyarakat multikultur.

Apa yang ingin ditekankan disini adalah, bahwa tegangan internal di dalam sistem pendidikan haruslah diakui keberadaanya terlebih dahulu, termasuk tegangan antara kepentingan privat dan kepentingan publik di dalam sistem pendidikan. Sekolah, sebagai agen pendidikan, haruslah mengajarkan ketrampilan dan moralitas publik kepada warga negara. Dan lebih dari itu, komunitas sebagai keseluruhan haruslah berpartisipasi di dalam proses pendidikan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan bahasa, agama, dan moral-moral privat. Hanya dengan begitulah masyarakat multikultur yang harmonis dapat terwujud.

Memang, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur selalu berkisar di dalam perdebatan ini, apakah pendidikan harus mengacu pada kepentingan untuk mempertahankan kultur minoritas tertentu, atau untuk mengabdi pada kepentingan publik luas secara keseluruhan? Jika pendidikan terlalu mengabdi pada kepentingan publik yang lebih luas, maka identitas kultural akan terancam musnah. Dan sebaliknya, jika pendidikan terlalu berfokus pada nilai-nilai kultural yang bersifat partikular, maka nilai-nilai publik yang lebih luas juga dapat terancam.

Persoalan diperumit dengan problematika kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial seluruh warga negara. Banyak ahli berpendapat, bahwa kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial warga negara haruslah sensitif terhadap perbedaan kultur dan kepercayaan. Jadi diperlukan adanya kesadaran multikulturalisme di dalam kebijakan-kebijakan politik yang terkait dengan kesejahteraan sosial. Penerapan kesadaran semacam ini memang sangatlah sulit. Yang seringkali terjadi bukanlah para pemegang kebijakan publik memiliki kesadaran akan pentingnya penghargaan terhadap kultur minoritas, melainkan orang-orang yang berasal dari kultur minoritas dipaksa menyesuaikan diri dengan keinginan dan kultur para pemegang kebijakan publik. Dilihat secara khusus ataupun secara umum, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur masihlah merupakan problematika yang terbuka, dan menuntut refleksi lebih jauh.

Struktur Dasar Ruang Privat

Di dalam masyarakat multikultur, anggota masyarakat yang mayoritas memandang keluarga dan komunitas mereka sebagai bagian integral dari keseluruhan masyarakat. Anggota masyarakat ini berfungsi secara maksimal di dalam dinamika sistem sosial yang ada. Sementara itu, anggota masyarakat yang berasal dari kultur minoritas mengalami nasib yang sama sekali berbeda. Bagi mereka, keluarga dan komunitas mereka merupakan bagian dari sistem sosial yang lain; yang berbeda. Mereka seolah berasal dari kebudayaan yang sama sekali berbeda dari kebudayaan yang dominan di dalam masyarakat.

Juga di dalam masyarakat multikultur, orang-orang yang berasal dari kultur dominan hidup harmonis sebagai bagian dari sistem sosial secara keseluruhan. Proses pendidikan di dalam keluarga pun relatif tidak bermasalah, karena nilai-nilai pendidikan di dalam keluarga searah dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Akan tetapi, hal yang sama kiranya tidak berlaku bagi orang-orang yang berasal dari kultur minoritas. Mereka harus menyeimbangkan antara pendidikan nilai-nilai kultural mereka yang khas di satu sisi, dan pendidikan berkaitan dengan nilai-nilai publik yang lebih luas di sisi lain. Dan bagi orang-orang yang berasal dari kultur minoritas, pernikahan tidak pernah bisa menjadi melulu soal individu. Pernikahan, bagi mereka, adalah soal pertukaran nilai antara satu kultur dengan kultur lainnya. Pernikahan adalah suatu proses asimilasi budaya yang tentunya menuntut banyak pertimbangan dari berbagai dimensi.

Pernikahan adalah salah satu cara yang paling efektif untuk melakukan proses asimilasi budaya. Proses ini membuat orang tidak lagi bersandar melulu pada nilai kultural mereka yang spesifik, tetapi juga mampu melihat realitas dari sudut pandang kultur yang berbeda. Rex berpendapat, bahwa proses asimilasi setidaknya memiliki empat akibat.[29]Pertama,Kedua, proses asimilasi juga memungkinkan diselesaikannya berbagai dilema moral ataupun sosial, yang muncul akibat dari benturan budaya di dalam masyarakat multikultur. Ketiga, proses asimilasi juga memungkinkan kultur yang bersangkutan untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka dengan menggunakan ‘bahasa-bahasa’ yang bisa dimengerti secara publik, tepat karena interaksi di antara kultur yang berbeda tersebut telah terjadi sebelumnya. Dan keempat, proses asimilasi juga memungkinkan terciptanya nilai-nilai dan identitas baru, yang didasarkan pada interseksi berbagai nilai kultural yang beragam di dalam masyarakat multikultur. proses asimilasi dapat menolong suatu kultur untuk mampu melepaskan diri dari isolasi sosial yang mungkin saja mereka alami.

Nilai dan aturan moral, yang merupakan hasil dari proses interseksi berbagai kultur yang beragam tersebut, nantinya akan menjadi sistem nilai yang bersifat otonom yang mampu menjelaskan pola ideal hubungan antar manusia, maupun hubungan dasar antara manusia dengan alam. Tentu saja, nilai hasil proses interseksi berbagai kultur tersebut tidaklah dapat menggantikan seluruhnya peran yang tadinya dimiliki oleh identitas kultural. Sebut saja bahwa, nilai-nilai masyarakat modern tidak akan pernah sepenuhnya dapat menggantikan nilai-nilai tradisional yang telah diyakini sebelumnya. Akan tetapi, nilai-nilai modern hasil interseksi beragam kultur tersebut tetap mampu berperan di dalam menciptakan solidaritas bagi masyarakat sebagai keseluruhan, maupun kenyamanan eksistensial bagi individu yang terkait. Dua hal yang kiranya menjadi kebutuhan utama dari sebuah masyarakat multikultur.

Nilai-nilai modern itulah yang, menurut Parsons, akan menjadi alat untuk mempertahankan pola-pola berlaku di masyarakat, dan mengatur tegangan-tegangan sosial yang muncul akibat benturan antar kultur.[30] Nilai-nilai tersebut memberikan identitas bagi individu-individu di dalam masyarakat multikultur, sekaligus membantu mereka untuk mengatasi berbagai problematika yang muncul, baik dalam konteks moral maupun material. Jika semua anggota masyarakat sudah menjalankan nilai-nilai tersebut ke dalam praktek sosial, maka nilai-nilai modern akan menjadi bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan.

Jadi tetaplah harus disadari, keberadaan kultur minoritas tidak pernah dapat dipandang sebagai ancaman bagi kesatuan sebuah masyarakat. Keberadaan kultur minoritas, menurut Rex, juga tidak pernah dapat dianggap sebagai suatu celah bagi terjadinya ketidaksetaraan kultural.[31]Masyarakat multikultur haruslah menerima perbedaan kultural yang ada di dalamnya, sekaligus menjamin terciptanya kesempatan yang sama bagi setiap warganya. Jika yang pertama terlalu ditekankan, maka yang terjadi adalah ketidaksetaraan kultural yang akan bermuara pada kesenjangan ekonomi, sosial, maupun politik. Sementara, penekanan berlebihan pada aspek kedua justru akan menciptakan suatu bentuk pemerintahan totaliter baru yang tertutup pada semua bentuk perbedaan. Keduanya tidaklah boleh terjadi di dalam masyarakat multikultur.

Haruslah diakui, bahwa kultur minoritas memiliki cara hidup dan cara memandang dunia yang berbeda, jika dibandingkan dengan kultur dominan. Bagi beberapa orang, ide-ide yang muncul dari kultur minoritas terdengar revolusioner. Sementara, bagi beberapa orang lainnya, cara hidup kultur minoritas seolah terlihat sangat asing. Apakah ini berarti bahwa kultur minoritas itu berbahaya, dan harus ditekan?

John Rex, berpendapat bahwa keberadaan kultur minoritas tidak bisa dicap sebagai suatu bahaya ataupun ancaman tertentu.[32] Hal ini berangkat dari suatu fakta sederhana, bahwa tidak ada satupun kultur di muka bumi ini yang sepenuhnya homogen. Kultur, dalam arti Marxian, selalu bisa ditafsirkan sebagai suatu bentuk perjuangan kelas (class struggle). Kelas pekerja telah membentuk semacam organisasi bersama yang berbasiskan pada solidaritas sosial untuk kemudian menantang tatanan sosial yang sudah mapan, sekaligus mempertanyakan otoritas kultur dominan yang sudah lama memerintah sebelumnya. Tentu saja, konflik tidak terelakkan. Akan tetapi, konflik disini adalah suatu proses yang harus ditempuh untuk merumuskan suatu bentuk identitas kultural yang baru. Tatanan sosial multikultural yang ada sekarang sebenarnya juga bisa dilihat dengan menggunakan kerangka teoritis ini.

Semua bentuk kultur bisa hidup bersama di dalam masyarakat multikultur. Hanya kultur yang menolak kesetaraan kesempatan dari individu ataupun kelompoklah yang tidak bisa menjadi bagian dari masyarakat multikultur. Masyarakat multikultur sekaligus juga adalah, dalam bahasa Rex, masyarakat yang menolak semua bentuk rasisme dan diskriminasi di dalam segala bentuknya.

Penutup

Pertama, di dalam masyarakat multikultur, kita harus membedakan secara jelas antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah ruang, di mana setiap individu diikat oleh satu set norma-norma yang menjamin kesetaraan kesempatan di dalam segala bidang. Sementara, ruang privat adalah ruang, di mana setiap keragaman kultur diberi tempat, dan diberi pengakuan sepenuhnya. Kedua, ruang publik mencakup dunia hukum, politik, dan ekonomi. Ruang publik mencakup pula pendidikan, sejauh pendidikan terkait dengan pembentukan moralitas publik yang harus dimiliki oleh semua warga negara.

Ketiga, pendidikan moral, terutama yang terkait dengan sosialisasi dan penanaman ajaran-ajaran religius, haruslah tetap berada di dalam ruang privat. Keempat, keberadaan nilai-nilai kultur minoritas tetaplah harus dipertahankan, karena nilai-nilai tersebutlah yang memberikan makna dan identitas bagi setiap orang yang hidup di dalam kelompok tersebut. Nilai-nilai tersebut mencakup mulai dari tata organisasi sosial yang ada di masyarakat, sampai keyakinan religius yang menjadi ciri unik dari kelompok kultur minoritas yang ada. Dan kelima, konflik dan benturan budaya antara kultur minoritas dan kultur dominan tidaklah terelakkan. Dicara yang mungkin, supaya masyarakat yang terdiri dari beragam kultur bisa hidup secara harmonis bersama. dalam masyarakat multikultur, benturan tersebut haruslah dimaknai sebagai bagian dari dialog, dan dialog adalah satu-satunya

Apakah Indonesia sudah siap mewujudkan masyarakat semacam itu? Saya rasa tidak. Kehidupan di Indonesia sekarang ini hampir sama sekali tidak memberikan peluang bagi kelompok minoritas untuk berkembang. Bahkan bisa dikatakan, bahwa masyarakat kita masihlah jatuh pada apa yang disebut Rex sebagai masyarakat totaliter yang menolak hampir semua bentuk perbedaan cara hidup, cara pandang, dan cara beragama. Cita-cita tentang kehidupan masyarakat multikultur yang harmonis masih jauh dari jangkauan tangan kita.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an al Karim

Ahmed, Akbar S, Living Islam, Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornoway, Bandung, Mizan, 1977,

Bhikhu Parekh, Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002) hal. 304

Charles Kurzman (Ed.), Agama dan kebebasan dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, Jakarta; Paramadinal, 2001, hal 88.

E Durkheim, The Division of Labour in Society, Illinois, Free Press, 1933.

F. Tinnies, Community and Association, London, Routledge and Kegan Paul, 1963, dalam Rex, 1997.

Furnivall, Netherlands India, Cambridge, Cambridge University Press, 1939.

Gunnar Myrdal, The American Dilemma: The Negro Problem and Modern Democracy, New York, Harper & Row, 1944, seperti dalam Rex, ibid, hal. 205.

John Rex, “Multicultural and Plural Societies”, dalam The Ethnicity Reader, Montserrat Guibernau dan John Rex (eds), Great Britain, Polity Press, 1997.

Louis Althusser, For Marx, London, Lane, 1969.

Max Weber, The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism, London, Allen an Unwin, 1930.

Smith, The Plural Society in the British West Indies, Berkeley and Los Angeles, University of California Press, 1965.

Talcott Parsons, The Social Systems, London, Tavistock, 1952.


[1] Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi Studi Agama dan Resolusi Konflik. Penyuluh Agama Islam Fungsional Kandepag Kulon Progo DI Yogyakarta

[2] Renessaince pada abad ke-15 dan ke-16 dimulai dengan perhatian baru terhadap seni Yunani di Italia, khususnya setelah munculnya teknologi percetakan.

[3]Inkuisisi bertentangan dengan Al Qur'an, yang menyatakan: "Wahai orang-orang yang beriman! Hindarilah kebanyakan prasangka, sebagian prasangka adalah dosa. Maka, janganlah kamu sekalian mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain." (QS.49:12)

[4] Charles Kurzman (Ed.), Agama dan kebebasan dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, Jakarta; Paramadinal, 2001, hal 88.

[5] Ibid., 89.

[6] QS.39:17-18:”Berikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, Yaitu orang-orang yang mendengarkan Kalam dan mengikuti yang terbaik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah, dan mereka itulah orang-orang yang bijaksana.”

[7] Charles Kurzman (Ed.), Ibid., 93.

[8] Salaman Rushdie adalah pengarang sejumlah buku. Rushdie dilahirkan di India pada 19 Juni1947, namun tinggal di dan berkebangsaan Inggris. Ia merupakan seorang pengarang penting di akhir abad ke-20 yang terkenal karena campuran unik antara sejarah dan realisme magis dalam karyanya. Sebanyak 13 buku karangannya telah memenangi sejumlah penghargaan, termasuk Booker Prize untuk Midnight's Children pada 1981 dan Booker of Bookers untuk novelnya pada tahun 1993. Ia bersembunyi setelah Ayatollah Khomeini (pemimpin Iran) mengeluarkan fatwa pada tahun 1989 yang memerintahkan kaum Muslim untuk membunuhnya karena dianggap menghina Islam atas bukunya yang berjudul The Satanic Verses. Ia menulis buku pada 1988, berjudul Satanic Verses. Buku ini memasukkan Tuhan dalam Islam (Allah) sebagai tokoh. Banyak negara melarang buku ini. Mereka menemukan buku ini menyerang Islam, dan melarang sejumlah toko buku menjualnya.[rujukan?] Pemimpin Agung Iran saat itu Ayatollah Khomeini berpidato di radio tentang Rushdie. Ia berkata bahwa Rushdie telah keluar dari Islam (murtadin). Rushdie dan sang penerbit buku diberi fatwa mati. Pada 1989, pemerintah Inggris mulai melindungi Rushdie, bahkan tanggal 7 Maret 1989 Iran memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Inggris karena masalah ini. Pada 1990, Rushdie menulis esai, mencoba membuktikan ia masih beriman pada Islam. Istri pertamanya adalah Clarissa Luard, dengan masa pernikahan 1976-1987 dan lahir seorang anak bernama Zafar Rushdie. Istri keduanya adalah seorang novelis Amerika bernama Marianne Wiggins, yang menikah pada 1988 dan cerai pada 1993. Istri ketiganya adalah Elizabeth West (1997-2004) dengan seorang anak bernama Milan Rushdie. Sejak 2004, ia menikahi aktris dan model India Padma Lakshmi dan kemudian bercerai pada pertengahan 2007. Pada 16 Juni 2007, Salman Rushdie memperoleh anugerah gelar kebangsawanan dari Ratu Elizabeth II. Bersama seorang wartawan CNN dan agen ganda KGB, ia menerima gelar ksatria yang menandai perayaan ulang tahun Ratu Elizabeth II. Iran mengecam keputusan Inggris untuk menganugerahi gelar ksatria kepadanya dan mengatakan penganugerahan itu menghina dunia Islam. Penganugerahan gelar keksatriaan (knighthhood) telah memicu pertengkaran diplomatik dengan sejumlah negara. Menurut kantor berita IRNA, Kementrian Luar Negeri Iran memanggil Duta Besar Geoffrey Adams dan menyatakan bahwa keputusan pemberian gelar merupakan "langkah provokatif" yang membuat berang kaum Muslim. Pakistan juga memanggil Komisioner Tinggi Inggris Robert Brinkley. Sekitar 20 aktivis Partai Aliansi Islam Malaysia (PAS) berdemonstrasi di depan Gedung Komisi Tinggi Inggris di Kuala Lumpur.

[9] The Satanic Verses adalah novel ke-empat karya Salman Rushdie, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1988, dan sebagian terinspirasikan dari kisah hidup Muhammad. Judulnya merujuk pada apa yang diketahui sebagai ayat-ayat setan. Dalam novel ini, sang tokoh utama yang bernama Mahound (yang kemungkinan besar merujuk pada Muhammad) diceritakan secara kilas balik paralel dengan dua tokoh utama lainnya Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha. Di Britania Raya, novel ini diterima dengan baik oleh para kritikus, dan menjadi finalis Booker Prize rahun 1988, walaupun dikalahkan oleh Oscar and Lucinda karya Peter Carey yang memenangkan Whitbread Award 1988 untuk novel terbaik tahun itu. Namun di komunitas Muslim, novel ini menghasilkan kontroversi yang luar biasa. Buku ini tidak boleh beredar di India, dan banyak dibakar pada demonstrasi di Britania Raya. Novel ini juga menyulutkan kerusuhan di Pakistan pada tahun 1989.

[10] Bhikhu Parekh, Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002) hal. 295

[11] Ahmed, Akbar S, Living Islam, Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornoway, Bandung, Mizan, 1977, hal 28.

[12] Ibid., hal 172

[13] Bhikhu Parekh, Ibid., hal. 304

[14] Ibid., hal.305

[15] Lihat, Gunnar Myrdal, The American Dilemma: The Negro Problem and Modern Democracy, New York, Harper & Row, 1944, seperti dalam Rex, ibid, hal. 205.

[16] Lihat, Furnivall, Netherlands India, Cambridge, Cambridge University Press, 1939, seperti dalam Rex, 1997, hal. 207.

[17] Lihat, John Rex, “Multicultural and Plural Societies”, dalam The Ethnicity Reader, Montserrat Guibernau dan John Rex (eds), Great Britain, Polity Press, 1997, hal. 208

[18] Lihat, Smith, The Plural Society in the British West Indies, Berkeley and Los Angeles, University of California Press, 1965.

[19]Lihat Talcott Parsons, The Social Systems, London, Tavistock, 1952

[20] Lihat Louis Althusser, For Marx, London, Lane, 1969.

[21] Lihat F. T?nnies, Community and Association, London, Routledge and Kegan Paul, 1963, dalam Rex, 1997, hal. 209

[22] Lihat E Durkheim, The Division of Labour in Society, Illinois, Free Press, 1933.

[23] Lihat Max Weber, The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism, London, Allen an Unwin, 1930

[24] Lihat, Rex, 1997, hal. 209.

[25] Rex, 1997, hal. 210.

[26] Lihat, ibid, hal. 211.

[27] Lihat, hal. 212

[28] Rex, 1997, hal. 212

[29]Lihat, ibid, hal. 217

[30] Lihat, Parsons, 1952.

[31]Lihat, Rex, 2003, hal. 218

[32] Lihat, ibid.