20 April 2008

MAKRIFAT

Oleh : Muqoffa Mahyuddin, SAg.*)

MAKRIFAT Adalah mengenali dzat dan sifat Alloh secara benar. Mengenal Allah SWT. merupakan pengetahuan yang paling sulit sebab tidak ada yang serupa denganNya. Namun demikian, Allah mewajibkan semua makhluk-manusia, jin malaikat, dan setan–untuk mengenali zat, nama, dan sifat-sifatNya. Pengenalan terhadap Allah telah tertanam dalam diri hewan ataupun yang lainnya. Setiap

entitas mengetahui eksistensi Penciptanya.

Allah berfirman :

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.’(QS. Al Isra’(17):44).

Ini meliputi manusia, malaikat, hewan, benda mati, tumbuhan, udara, tanah, dan air. Allah memuji mereka yang mengenaliNya. Sebaliknya, Dia mencela mereka yang tidak mengenaliNya dan mereka yang megingkarinya.

Makrifat Allah terbagi dua; bersifat umum dan khusus. Makrifat Allah yang bersifat umum yang wajib dimiliki setiap mukallaf adalah mengakui eksisitensi-Nya, menyucikanNya dari segala dari segala sesuatu yang tidak sesuai denganNya, serta mengakui segala sifat yang Allah telah tetapkan untuk diriNya, serta mengakui segala sifat yang Allah tetapkan untuk diriNya. Sementara makrifat yang bersifat khusus adalah kondisi menyaksikan Allah. Ahli makrifat adalah orang yang Allah beri kemampuan untuk menyaksikan zat, sifat, nama, dan perbuatanNya. Adapun orang alim Allah diberikan pengetahuan tentang hal itu, tetapi tidak lewat penyaksian secara langsung, namun lewat keyakinan.

Pendapat yang lain menyebutkan, makrifat adalah sejenis keyakinan yang muncul lewat sebuah perjuangan ibadah. Menurut Imam Ghazali, Allah terlampau besar untuk bisa ditangkap oleh panca indera, esensi keagunganNya tak bisa dijangkau oleh akal dan analogi, bahkan keagunganNya tak bisa dijangkau oleh selainNya, serta Mahabesar untuk bisa dijangkau oleh selainNya, serta Mahabesar untukdikenali oleh yang lain. Tiada yang mengetahui Allah kecuali Allah itu sendiri. Puncak pengetahuan hamba sampai pada satu titik di mana mereka menyadari bahwa mustahil mereka bisa mencapai ma’rifat yang hakiki. Secara sempurna hal itu disadari oleh seorang nabi atau seorang siddiq. Nabi SAW. Misalnya mengungkapkan hal itu dengan berkata,”Aku tak bisa memberikan pujian yang cukup kepadaMu, Engkau seperti pujian yang Kau berikan untuk diriMu”. Adapun al-shiddiq, ia pernah berkata,”Ketidakmampuan untuk mengetahui adalah pengetahuan itu sendiri”.

Ada yang berpendapat bahwa jiwa manusia setelah berpisah dengan jasad bisa diidentifikasi lewat pengetahuan dan ilmu yang terukir padanya. Tidak ada yang bisa diketahui dan dikenali darinya kecuali pengetahuan tersebut. Karakter manusia akan dikumpulkan berdasarkan bentuk ilmunya, serta jasadnya akan dibangkitkan berdasarkan amal yang dilakukan, apakah baik atau buruk. Ketika jiwa manusia telah berpisah dengan dunia sebagai alam taklif atau tempat beramal, ia akan memetik hasil yang telah ia tanam. Pengenalan terhadap Allah yang ia peroleh di akhirat takkan lebih dari pengenalan yang ia peroleh dari dunia, kecuali lebih menyingkap dan lebih memperjelas. Seseorang akan menyaksikan dan melihatNya sesuai dengan kualitas makrifatnya kepada Allah serta pengetahuannya terhadap nama dan sifatNya. Sebab, makrifat di dunia akan berubah di akhirat menjadi sebuah penyaksian, sebagaimana benih berubah menjadi padi. Seperti halnya orang yang tidak mempunyai benih takkan mempunyai tanaman, demikian pula orang yang tidak memiliki ma’rifat di dunia ia takkan bisa melihat atau menyaksikan Allah di akhirat.

Sebagaimana tingkat ma’rifat berbeda-beda, tingkat penyaksian seseorang yang juga berbeda bergantung pada kualitas tahalli (menghiasi diri dengan perbuatan mulia). Orang yang ingin menyalakan pelita dan lentera, ia membutuhkan tujuh hal; batang, kayu, batu pembakaran, korek, tiang, sumbu, dan minyak. Kalau seorang hamba ingin mendapat lentera makrifat;

pertama, ia harus memiliki kayu perjuangan. Sebab, Allah berfirman;

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.(Qs. Al Ankabut[29]:69).

kedua, ia harus mempunyai batu kerendahan diri. Allah berfirman;

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (QS. Al A’raf(7):55)

ketiga Nyala api yang dibutuhkan adalah terbakarnya hawa nafsu. Allah berfirman;

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,”(QS. An Nazi’at[79]: 40).

keempat, koreknya adalah kembali kepada Allah. Allah berfirman;

Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).,’(QS Az Zumar[39]:54)

kelima, membutuhkan tiang kesabaran. Allah berfirman;

Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. Al Anfal[8]:46).

keenam, ia membutuhkan sumbu syukur. Allah berfirman;

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu Hanya kepada-Nya saja menyembah. (QS. An Nahl[16]:114).

ketujuh, ia membutuhkan minyak keridhaan terhadap semua ketentuan Allah. Allah berfirman;

Dan Bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, Maka Sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri (QS. At Thur [52]:48).

Diceritakan bahwa seorang saleh mempunyai saudara yang telah mati. Lalu di saat tidur ia memimpikannya. Ia bertanya kepada saudaranya itu ,”Apa yang telah Allah perbuat kepadamu?” Ia menjawab,”Aku telah dimasukkanNya ke dalam surga. Aku makan, minum, dan menikah”. Bukan itu yang kutanyakan. Apakah engkau menyaksikan Tuhan?. Kata orang sholeh tadi. Saudaranya itu menjawab,”Tidak ada yang bisa melihatnya kecuali orang yang sudah mencapai ma’rifat kepadaNya.”[qoffa]

Ibnu Athoillah Al Askandari, (Miftahul Falah Wa Misbahul Arwah, Maktabah Al Turats al Islami, Mesir, 2000, hal 124)

*)Penyuluh Agama Islam fungsional Kandepag Kulon Progo, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi: Studi Agama dan Resolusi Konflik.