29 May 2008

Kritik Besar Untuk Kebijakan Menaikkan Harga BBM





Kritik Besar Untuk Kebijakan Menaikkan Harga BBM

Oleh: Muqoffa mahyuddin

Tanggal 23 Mei 2008 pukul 00.00 WIB Pemerintah menaikkan BBM. Sebuah langkah yang sudah dapat diprediksikan sebelumnya setelah melihat merambatnya dengan cepat harga minyak dunia perbarel mulai dari 60 dolar menjadi 100 US dolar dan sekarang ketika tulisan ditulis sudah mencapai 133 US dolar perbarel. Mengapa menaikkan harga sebagai pilihan utama, bukannya pilihan terakhir. Kelihatan sekali kebijakan tersebut tidak didasarkan pergerakan ekonomi berebasis riil, akan tetapi berdasarkan kebijakan pergerakan ekonomi sektor keuangan saja. Bagaimana bisa menyelamatkan anggaran dengan tidak berfikir panjang tentang perkembangan dan bertahan hidupnya sektor perekonomian riil di Indonesia. Ketika melihat catatan perkembangan pergerakan sektor riil di Indonesia di webset manapun terlihat memang tidak ada perkembangan positif yang siknifikan sama sekali. Berbicara Undang-undang dan konstitusi tentang UU No. 5 tahun 60 dapat dibaca bahwa kekayaan hasil bumi udara dan lautan dikuasai oleh negara dapat diinterpretasikan dengan; 1. mengatur, 2. mendayagunakan, dan 3. mengalokasikan. Akan tetapi yang diambil adalah menjadikan kita sebagai anak bangsa menjadi kuli di rumah sendiri bukannya pemilik usaha di rumah sendiri dan mndidik kita jadi pemintamnta bantuan. Ini adalah pendidikan penurunan caracter building yang sangat serius sekali.

Kesalahan bijakan tahun 80-an ketika Indonesia booming minyak adalah, 1. membuat bisnis aneh, 2. tidak berbasis untuk negara 3. Tidak membangun infastruktur perkembangan ekonomi yang kuat, malah berbasis impor. Petronas dari Malaysia yang belajar dari Indonesia tentang perminyakan dengan Pertamina, sekarang malah justru melejit mengungguli Indonesia.

Bagaimana langkah tepat bagi generasi muda dalam menghadapi persaingan dan pertempuran persaingan global ini? Pilihan mahasiswa di Indonesia dalam membangaun bangsa ini adalah; genitor, operator, manager, leader, dan fighter. Mahasiswa jangan hanya menjadi employe skill, pilih life skill, tidak boleh employe skill; kalau tidak jadi leader dan manager ya harus memilih fighter. Bagaimana Bantuan Langsung Tunai (BLT) ini, apakah sangat membantu?. Bagi Orang miskin memang kelihatan sekali membantu, akan tetapi hanya dalam jangka pendek dan sangat tidak siknifikan dengan perkembangan kebutuhan hidup jangka panjang. Ketika kebutuhan hidup paling minim seratus dua puluh ribu perbulan, dan diberi subsidi seratus ribu perbulan, orang miskin akan terasa sangat terbantu, tetapi hanya dalam jangka pendek saja membantu dan tidak koheren dengan kebutuhan hidup jangka panjang? Logika yang diambil apakah sudah sangat tepat?. Bagaimana kriteria orang miskin; kesulitan akses; kesulitan mengaktualisasi diri (sehingga tidak bisa demonstrasi karena untuk makan saja sangat sulit, kesulitan memenuhi kebutuhan kalori (pangan) /pendapatan, kesulitan akses tempat tinggal, kesulitan akses kesehatan, kesulitan akses pinjaman (bank/lembaga keuangan)

Bagaimana menyelesaikan masalah yang sangat pelik ini?. Pemerintah harus membauat kesepakatan baru dengan perusahaan asing yang datang ke Indonesia, buatlah perjanjian baru dengan meminta keuntungan yang lebih besar kepada pengusaha asing, sehingga dapat membuat keuntungan lebih, sehingga dengan memberi subsisidi BBM kepada Indonesia (contoh besar adalah venezuela yang mampu membuat harga BBM hanya 360 rupiah saja setelah melakukan negoisasi ulang sehingga memperoleh keuntungan 4 kali lipat sehingga mampu mensubsidi rakyat menjadi hanya 360 rupiah perliter disaat gejolak harga minyak dunia mencapai 125 USD perbarel. Apakah langkah tersebut realistis untuk Indonesia? Seandainya pemimpin oposan menggerakkan dengan pemimpin kultural dan komunal, maka akan terjadi caos yang tidak sama sekali diingankan.


06 May 2008






KONFLIK AGAMA PERSPEKTIF PSIKOLOGI AGAMA

SEBUAH STUDI GERAKAN SEMPALAN DI INDONESIA

Oleh : Muqoffa Mahyuddin[1]


Pendahuluan

Selama masa pemerintahan Orde Baru, kegiatan keagamaan berlangsung begitu marak. Peringatan hari besar agama tidak pernah terlewatkan, tempat-tempat ibadah didirikan di mana-mana, kuota haji terus
meningkat, dan seterusnya. Semestinya dengan indikator kegiatan
keberagamaan yang terus marak itu, keadaan bangsa Indonesia akan lebih
tenang dan tenteram, tidak ada yang namanya konflik antar agama
walaupun Indonesia sedang menghadapi krisis moneter (Krismon).

Nyatanya, sebelum Krisis moneter pun konflik sosial berwarna keagamaan tetap ada (jadi mempertegas bahwa kesenjangan sosial-ekonomi bukanlah
satu-satunya faktor dominan). Kalau begitu apakah AN Wilson benar
ketika di tahun 1992 ia menulis sebagai berikut:

"Dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar dari
segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta
Tuhan adalah akar dari segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat
manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling
tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang
tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani, dan
penindasan kebenaran. Karl Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat;
tetapi agama jauh lebih berbahaya dari pada candu. Agama tidak membuat
orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya,
untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan
dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri
pemilikan kebenaran" (Against Religion: Why We Should Try to Live
Without It, London: Chatto and Windus.
Sebagaimana dikutip Nurcholish
Madjid
dalam Naskah Ceramah Budaya-nya di TIM tanggal 21 Oktober 1992). Apakah kecenderungan manusia mempengaruhi dalam melihat korelasi antara eksistensi agama dan eksistensi kebaikan manusia? Apakah cara pandang manusia (orientasi) tentang agama mempengaruhi pola bentuk relasi individu dan agamanya?

Orientasi Beragama

Dalam fenomena kehidupan, apa yang dikemukakan AN Wilson tersebut memang menjadi masalah dalam pembahasan tentang hubungan (korelasi) antara eksistensi agama dengan eksistensi kebaikan (manusia) di muka bumi
ini. Untuk menjawab teka-teki ini, Gordon W Allport dan Michael Ross
(1967)-dua orang penggiat kajian psikologi agama- merumuskan apa yang
mereka istilahkan dengan Orientasi Beragama (Religious Orientation).
Allport dan Ross merumuskan Orientasi Beragama sebagai "sistem cara
pandang individu mengenai kedudukan agama dalam hidupnya yang
menentukan pola bentuk relasi individu dengan agamanya" (P Mohamad,
1996). Sistem cara pandang ini akan mempengaruhi tingkah laku individu
dalam hal menafsirkan ajaran agama dan menjalankan apa yang
diyakininya sebagai perintah agama.

Ada tiga tipe Orientasi Beragama, yaitu Orientasi Beragama Ekstrinsik
(OBE) atau juga disebut Religion as Means, Orientasi Beragama
Instrinsik (OBI) atau Religion as End, dan terakhir Orientasi Beragama
Mencari (OBM) atau Religion as Quest (OBM ini dirumuskan oleh Daniel
Bateson, dan kawan-kawan dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari
teori Allport dan Ross). Pemeluk agama dengan OBE memandang
pelaksanaan ajaran agama sebagai alat untuk mencapai tujuan
pribadinya, seperti misalnya: penerimaan sosial orang lain, rasa aman,
pembenaran diri, dan lain-lain (Crapps, 1993 dan Wulff, 1991).
Sementara orang yang OBI menganggap pelaksanaan agama sebagai motif
hidupnya. Menjalani agama merupakan tujuan sehingga memiliki nilai
terminal. Kebutuhan-kebutuhan pribadi lain menjadi tidak terlalu
penting, dan justru diselaraskan dengan agama. Sedangkan OBM
menggambarkan sejauh mana individu dalam beragama melibatkan
dialog-dialog yang terbuka dan responsif mengenai
pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang muncul dari kontradiksi dan
tragedi dalam hidup. Orang yang tinggi orientasi pencariannya,
memberlakukan agama sebagai perjalanan yang berliku dan mungkin tak
berujung untuk mencari jawab atas pertanyaan tentang makna hidup
(Wulff, 1991 dalam Mohamad, 1996).

Sehubungan dengan hasil kajian psikologi agama di atas, dapatlah
disimpulkan secara tentatif, bahwa di Indonesia- dan kemungkinan juga
di bagian dunia lainnya-yang berkembang di kalangan pemeluk agama
adalah orientasi beragama yang ekstrinsik atau bersifat instrumental. Yang Perlu menjadi pemahaman bersama bahwa orang yang OBE sesungguhnya secara prinsipiil tidaklah dapat disebut orang yang beragama, karena sesungguhnya agamanya orang OBE bukanlah agama itu sendiri, melainkan kepentingan pribadinya atau
kelompoknya. Agama adalah sekadar alat. Dapat dicontohkan di sini
bahwa ketika terjadi konflik antarkomunitas beragama, sekelompok orang
merusak rumah ibadah agama lain demi pemuasan pembenaran dirinya bahwa agamanyalah yang paling agung, sehingga rumah ibadah agama lain tidak "pantas" untuk memperoleh hak hidup seperti mereka. Atau ketika
sekelompok orang menganiaya "musuh"-nya (ingat konflik di Ambon di
mana yang menjadi musuh itu sebetulnya pela-gandong-nya sendiri), yang
mereka perjuangkan sungguh-sunguh saat itu sebetulnya bukan agamanya
(jelas, karena agamanya justru melarang menganiaya orang) melainkan
identitas kelompoknya sendiri yang berlabel "agama" (dalam konteks
yang lain label itu bisa saja berubah jadi identitas suku atau kelas
sosial). Dalam kerangka pemahaman ini, Wilson membuat kesalahan ketika
ia mengatakan bahwa "agama mendorong orang untuk menganiaya agama...
dan seterusnya" karena ia menyederhanakan dan menyamaratakan
(pemahaman atas) agama.

Harmonisasi kehidupan beragama yang selama ini didengung-dengungkan kepada dunia luar kenyataannya retorika "berketiak ular" (adakah ular yang berketiak?) Diam-diam perseteruan diametral antar kelompok agama tertentu merebak akibat masing-masing mereka dipenuhi oleh rasa prasangka dan pikiran dogmatis. Kasus-kasus yang meletus di
Tasikmalaya
, Ketapang, Kupang dan seterusnya menunjukkan pengusungan
"agama sebagai identitas sosial menyimpan potensi konflik sosial yang
dahsyat (karena itu pengertian agama perlu kita luruskan seperti di
atas). Fakta-fakta ini mengarahkan secara tegas kesimpulan
berikutnya, bahwa kehidupan keagamaan di tengah masyarakat selama ini
lebih didominasi oleh tokoh-tokoh agama dari sayap politis, dan bukan
tokoh agama dari sayap intelektual/kultural. Pemuka agama sayap
politis yang notabene identik dengan agamawan "resmi"/formal adalah
mereka-mereka yang banyak duduk (walau tidak semua) dalam birokrasi
lembaga keagamaan, lembaga pemerintah, ormas dan partai politik.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki vested interest baik secara
sembunyi ataupun blak-blakan terhadap konsesi politik/material yang
mampu diberikan pemegang kekuasan. Demi konsesi politik/material
tokoh-tokoh tipe ini rela "menjual" jiwanya- dan yang lebih parah lagi
jiwa-jiwa warganya- demi mati-matian mempertahankan posisinya di
lembaga-lembaga itu (sampai batas tertentu, kiranya proses rekayasa
atas fusi partai politik Islam di awal Orde Baru memunculkan
figur-figur yang berdagang dengan Memphisto laiknya lakon Dr Faust).

Mereka adalah tokoh-tokoh yang memperoleh ketokohannya dari
identifikasi massa dengan simbol-simbol agama yang sifatnya
superfisial. Sebagaimana dikatakan Mudji Sutrisno dalam wawancaranya
dengan salah satu media baru-baru ini, bahwa selama ini agama dihayati
dalam hubungannya dengan kekuasaan yang amat materialistis sekali.
Dengan kata lain, selama 32 tahun "yang suci dari Allah"-entah itu
perintah nabi, entah itu ajaran kasih dari kitab suci Injil dan
semuanya - ketika dibawa oleh pemimpin agamanya (terutama oleh para
tokohnya dari sayap politik.) dalam
kekuasaannya diterjemahkan sebagai kekuatan fisik. Lalu si tokoh
itulah yang berhak mengatakan benar atau tidak.

Romo Mudji Sutrisno menambahkan, lihat khotbah baik di masjid maupun di gereja yang tertutup dengan mengatakan: kami komunitas paling benar. Dan yang di sana, di luar masjid atau di luar gereja, yang salah. Ini bukti
perlakuan agama sebagai hal material kekuasaan. Bila Romo Mudji benar
- dan saya kebetulan sependapat dengan beliau-berarti proyek
"Pembaharuan Islam" yang gerbongnya ditarik oleh Nurcholish Madjid
(Cak Nur) belumlah dapat disebut berhasil sebagaimana
didengung-dengungkan selama ini. Pemikiran keagamaan Cak Nur yang saya
interpretasikan lebih menekankan substansi agama (Islam) sebagai
ajaran-ajaran mulia yang universal serta lebih melihat perilaku
beragama sebagai proses mencari kebenaran instead of pencapaian
kebenaran adalah sejalan dengan Orientasi Agama Men-cari atau Religion
as Quest.
Sejauh hemat saya lagi, pemahaman keagamaan versi Cak Nur
ini masih sangat elitis, jadi bukanlah pemahaman keagamaan yang
berkembang di- "akar rumput".

Selama beberapa tahun terakhir, tokoh agama sayap intelektual/kultural dan pengamat Islam di Indonesia telah dibuai oleh "fatamorgana" informasi yang dipaparkan oleh media massa terhadap mereka. Terjadi kesenjangan yang lebar antara kenyataan dengan harapan. Kaum elite merasa pemahaman tersebut telah diserap oleh kalangan masyarakat banyak, padahal pemahaman tersebut hanya tersosialisasi di antara sesama mereka saja.

Pemahaman keagamaan yang dirumuskan Cak Nur dan kawan-kawannya menyertakan Abdurrahman Wahid dalam kategori ini-merupakan pemahaman keagamaan yang sangat nalar. Dibutuhkan diskusi yang intens dan paparan terhadap wacana tertulis yang luas- sebagaimana ditunjukkan
makalah- makalah Cak Nur yang tebal-tebal dan sarat referensi itu.

Kasus-kasus konflik sosial di wilayah
yang mayoritas didiami oleh warga NU yang notabene warga
pedesaan-semisal Situbondo- dapat dikatakan melegitimasi
kesimpulan di atas. Problem-problem yang dipicu oleh masalah ekonomi
bisa merembet ke konflik bernuansa agama dengan mudahnya. Kenapa lagi
kalau bukan motif-motif emosional sebagaimana dijelaskan oleh
Orientasi Beragama Ekstrinsik? Inilah contoh nyata dari kesenjangan
teologi yang masih membentang antara pimpinan dengan massa-nya, antara
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan "akar rumput"-nya di NU.

Selain membutuhkan kapasitas nalar yang besar, keberagamaan
berorientasi mencari membutuhkan prasyarat lain berupa kondisi
psikologis yang tidak dipenuhi oleh kecemasan. Hal ini menjelaskan
mengapa kelompok masyarakat tertentu yang terdidik seperti mahasiswa
masih terseret oleh pemahaman keagamaan yang ekstrinsik. Era
modernisasi dan globalisasi-yang diidentikkan dengan dunia Barat yang
merambah Indonesia membawa efek samping berupa kerancuan norma,
disorientasi nilai dan kebingungan identitas di kalangan mahasiswa dan
generasi muda umumnya, dus perasaan gelisah dan tidak nyaman selalu
mengiringi ke mana pun mereka melangkah. Ajaran-ajaran keagamaan yang
menawarkan klaim kebenaran, memberikan aturan dan panduan yang ketat,
pimpinan/tokoh agama yang selalu menunjukkan apa yang harus dilakukan,
serta keanggotaan dalam kelompok dengan kohesivitas tinggi; semuanya
itu mampu menawarkan kecemasan yang timbul. Di sini letak ironisnya
karena kondisi yang demikian sangat kondusif bagi naiknya tokoh-tokoh agama sayap politik.

AN Wilson- tokoh kita di atas-sampai pada
kesimpulan yang salah karena ia menyusun logikanya setelah ia
mendengar seorang uskup Ortodoks Yunani dalam suatu khotbah, yang
mengatakan: "Seorang agamawan yang baik adalah orang yang punya cukup
iman untuk dapat menganiaya orang lain karena kekeliruan keagamaan.
Jadi sementara seorang agamawan yang baik acapkali mencela sikap
sempit pikiran dan tidak toleran terhadap orang lain yang ingin
menganiayanya, namun mereka sendiri mempertahankan hak untuk memaksa
dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan adakalanya
mereka menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai
kewajiban" (dalam Nurcholish Madjid, ibid). Menurut saya, bila kita
ingin mendeteksi apakah seorang tokoh agama itu termasuk sayap
politik, dengarlah apakah ia mengatakan sebagaimana didengar Wilson di
atas.

Macam-Macam Gerakan Sempalan

Istilah "gerakan sempalan" beberapa tahun terakhir ini menjadi populer di Indonesia sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap "aneh", alias menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata "sekte" atau "sektarian",[2] kata yang mempunyai berbagai konotasi negatif, seperti protes terhadap dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran, dan fanatisme. Di Indonesia ada kecenderungan untuk melihat gerakan sempalan terutama sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan dan untuk segera melarangnya. Karena itu, sulit membedakan gerakan sempalan dengan gerakan terlarang atau gerakan oposisi politik. Hampir semua aliran, faham dan gerakan yang pernah dicap "sempalan", ternyata memang telah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama. Beberapa contoh yang terkenal adalah: Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin'nya Warsidi (Lampung), Syi'ah, Baha'i, "Inkarus Sunnah", Darul Arqam (Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh). Serangkaian aliran dan kelompok ini, kelihatannya, sangat beranekaragam. Apakah ada kesamaan antara semua gerakan ini? Dan apa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan tersebut?

Gerakan Sempalan: Ada Definisinya?

Berbicara tentang "gerakan sempalan" berarti bertolak dari suatu pengertian tentang "ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk); karena gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Tanpa tolok ukur ortodoksi, istilah "sempalan" tidak ada artinya. Untuk menentukan mana yang "sempalan", kita pertama-tama harus mendefinisikan "mainstream" yang ortodoks. Dalam kasus ummat Islam Indonesia masa kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap diwakili oleh badan-badan ulama yang berwibawa seperti terutama MUI, kemudian Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan sebagainya.

Istilah "gerakan sempalan" memang lazim dipakai, secara normatif, untuk aliran agama yang oleh lembaga-lembaga tersebut dianggap sesat dan membahayakan. Akan tetapi, definisi ini menimbulkan berbagai kesulitan untuk kajian selanjutnya. Misalnya, apakah Ahmadiyah Qadian atau Islam Jamaah baru merupakan gerakan sempalan setelah ada fatwa yang melarangnya? Atau, meminjam contoh dari negara tetangga, berbagai aliran agama yang pernah dilarang oleh Jabatan Agama pemerintah pusat Malaysia, tetap dianggap sah saja oleh Majelis-Majelis Ugama Islam di negara-negara bagiannya. Bagaimana kita bisa memastikan apakah aliran tersebut termasuk yang sempalan? Ortodoksi, kelihatannya, adalah sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat, dan yang "sempalan" pun bersifat kontekstual.

Pengamatan terakhir ini boleh jadi menjengkelkan. Dari sudut pandangan orang Islam yang "concerned", yang sesat adalah sesat, apakah ada fatwanya atau tidak. Dalam visi ini, Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan "mainstream" Islam yang ortodoks, dan yang menyimpang darinya adalah sempalan dan sesat. Kesulitan dengan visi ini menjadi jelas kalau kita menengok awal abad ke-20 ini, ketika terjadi konflik besar antara kalangan Islam modernis dan kalangan "tradisionalis". Dari sudut pandangan ulama tradisional, yang memang menganggap diri mewakili Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kaum modernis adalah sempalan dan sesat, sedangkan para modernis justeru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.

Kalau kita mencari kriteria yang obyektif untuk mendefinisikan dan memahami gerakan sempalan, kita sebaiknya mengambil jarak dari perdebatan mengenai kebenaran dan kesesatan. Gerakan sempalan tentu saja juga menganggap diri lebih benar daripada lawannya; biasanya mereka justeru merasa lebih yakin akan kebenaran faham atau pendirian mereka. Karena itu, kriteria yang digunakan adalah kriteria sosiologis, bukan teologis. Gerakan sempalan yang tipikal adalah kelompok atau gerakan yang sengaja memisahkan diri dari "mainstream" umat, mereka yang cenderung eksklusif dan seringkali kritis terhadap para ulama yang mapan.

Dalam pendekatan sosiologis ini, "ortodoksi" dan "sempalan" bukan konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis. Ortodoksi atau mainstream adalah faham yang dianut mayoritas umat -- atau lebih tepat, mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi, golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam faham dominan - pergeseran yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau politik.

Faham aqidah Asy'ari, yang sekarang merupakan ortodoksi, pada masa 'Abbasiyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu'tazili (yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan. Jadi, faham yang sekarang dipandang sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis "gerakan sempalan". Bahwa akhirnya faham Asy'ari-lah yang menang, juga tidak lepas dari faktor politik. Kasus ini mungkin bukan contoh yang terbaik -- golongan Asy'ari tidak dengan sengaja memisahkan diri dari sebuah "mainstream" yang sudah mapan; faham yang mereka anut berkembang dalam dialog terus-menerus dengan para lawannya. Contoh yang lebih tepat adalah gerakan Islam reformis Indonesia pada awal abad ini (seperti Al Irsyad dan Muhammadiyah) yang dengan tegas menentang "ortodoksi" tradisional yang dianut mayoritas ulama, dan dari sudut itu merupakan gerakan sempalan. Sejak kapan mereka tidak bisa lagi dianggap gerakan sempalan dan menjadi bagian dari ortodoksi? Di bawah ini akan dibahas beberapa faktor yang mungkin berperan dalam proses perkembangan suatu sekte menjadi denominasi. Untuk sementara, dapat dipastikan bahwa penganut gerakan reformis pada umumnya tidak berasal dari kalangan sosial yang marginal, namun justru dari orang Islam kota yang sedang naik posisi ekonomi dan status sosialnya, dan bahwa dalam perkembangan sejarah telah terjadi proses akomodasi, saling menerima, antara kalangan reformis dan tradisional.

Apakah di antara "gerakan sempalan" masa kini ada juga yang berpotensi menjadi "ortodoksi" di masa depan? Tidak satu orang pun yang akan meramal bahwa aliran seperti Bantaqiyah bisa meraih banyak penganut di Indonesia, begitu juga Ahmadiyah atau yang lain. Perbandingan antara gerakan reformis, apalagi madzhab aqidah Asy'ari, dan gerakan sempalan yang disebut di atas, terasa sangat tidak tepat. Orang Islam pada umumnya merasa (kecuali para penganut gerakan tersebut, barangkali), bahwa mereka secara fundamental berbeda. Tetapi ... apa sebetulnya perbedaan ini, selain perasaan orang bahwa yang pertama mengandung kebenaran, sedangkan yang terakhir adalah sesat? Padahal, aliran tersebut menganggap dirinya sebagai pihak yang benar, sementara yang lain sesat. Sejauhmana penilaian kita obyektif dalam hal ini?

Memang di antara gerakan sempalan tadi terdapat aliran yang kelihatannya punya dasar ilmu agama yang sangat tipis. Penganut aliran itu biasanya juga orang yang marginal secara sosial dan ekonomi, dan berpendidikan rendah. Tetapi tidak semua gerakan sempalan demikian. Baik dalam Islam Jama'ah maupun gerakan Syi'ah Indonesia, malahan juga dalam Ahmadiyah dan gerakan tasawwuf wahdatul wujud terdapat pemikir yang memiliki pengetahuan agama yang cukup tinggi dan pandai mempertahankan faham mereka dalam debat. Mereka sanggup menemukan nash untuk menangkis semua tuduhan kesesatan terhadap mereka, dan tidak pernah kalah dalam perdebatan dengan ulama yang "ortodoks" -- sekurang-kurangnya dalam pandangan mereka sendiri dan penganut-penganutnya. Mereka dapat dianggap "sempalan" karena mereka merupakan minoritas yang secara sengaja memisahkan diri dari mayoritas ummat. Sebagai fenomena sosial, tidak terlihat perbedaan fundamental antara mereka dengan, misalnya, Al Irsyad pada masa berdirinya. Dan perlu kita catat bahwa di Iran pun, Syi'ah berhasil menggantikan Ahlus Sunnah sebagai faham dominan baru kira-kira lima abad belakangan![3]

Lalu, bagaimana dengan Darul Islam dan gerakan Usroh? Keduanya dapat dianggap gerakan sempalan juga, baik dalam arti bahwa mereka tidak dibenarkan oleh lembaga-lembaga agama resmi maupun dalam arti bahwa mereka memisahkan diri dari mayoritas. Namun saya tidak pernah mendengar kritik mendasar terhadap aqidah dan ibadah mereka. Yang dianggap sesat oleh mayoritas umat adalah amal politik mereka. Seandainya pada tahun 1950-an bukan Republik yang menang tetapi Negara Islam Indonesia'nya Kartosuwiryo, merekalah yang menentukan ortodoksi dan membentuk "mainstream" Islam. Seandainya itu yang terjadi, tidak mustahil sebagian "mainstream" Islam sekarang inilah yang mereka anggap sebagai "sempalan".

Klasifikasi Gerakan Sempalan

Untuk menganalisa fenomena gerakan sempalan secara lebih jernih, mungkin ada baiknya kalau kita merujuk kepada kajian sosiologi agama yang sudah ada untuk melihat apakah ada temuan yang relevan untuk situasi Indonesia. Hanya saja, karena sosiologi agama adalah salah satu disiplin ilmu yang lahir dan dikembangkan di dunia Barat, sasaran kajiannya lebih sering terdiri dari umat Kristen ketimbang penganut agama-agama lainnya. Oleh karena, itu belum tentu a priori temuannya benar-benar relevan untuk dunia Islam. Beberapa konsep dasar yang dipakai barangkali sangat tergantung pada konteks budaya Barat. Mengingat keterbatasan ini, biarlah kita melihat apa saja telah ditemukan mengenai muncul dan berkembangnya gerakan sempalan pada waktu dan tempat yang lain.

Dua sosiolog agama Jerman mempunyai pengaruh besar terhadap studi mengenai sekte selama abad ini, mereka adalah Max Weber dan Ernst Troeltsch. Weber terkenal dengan tesisnya mengenai peranan sekte-sekte Protestan dalam perkembangan semangat kapitalisme di Eropa, dan dengan teorinya mengenai kepemimpinan karismatik. Troeltsch, teman dekat Weber, mengembangkan beberapa ide Weber dalam studinya mengenai munculnya gerakan sempalan di Eropa pada abad pertengahan.[4] Troeltsch memulai analisanya dengan membedakan dua jenis wadah umat beragama yang secara konseptual merupakan dua kubu bertentangan, yaitu tipe gereja dan tipe sekte. Contoh paling murni dari tipe gereja barangkali adalah Gereja Katolik abad pertengahan, tetapi setiap ortodoksi (dalam arti sosiologis tadi) yang mapan mempunyai aspek tipe gereja. Organisasi- organisasi tipe gereja biasanya berusaha mencakup dan mendominasi seluruh masyarakat dan segala aspek kehidupan. Sebagai wadah yang established (mapan), mereka cenderung konservatif, formalistik, dan berkompromi dengan penguasa serta elit politik dan ekonomi. Di dalamnya terdapat hierarki yang ketat, dan ada golongan ulama yang mengklaim monopoli akan ilmu dan karamah, orang awam tergantung kepada mereka.

Tipe sekte, sebaliknya, selalu lebih kecil dan hubungan antara sesama anggotanya biasanya egaliter. Berbeda dengan tipe gereja, keanggotaannya bersifat sukarela: orang tidak dilahirkan dalam lingkungan sekte, tetapi masuk atas kehendak sendiri. Sekte-sekte biasanya berpegang lebih keras (atau kaku) kepada prinsip, menuntut ketaatan kepada nilai moral yang ketat, dan mengambil jarak dari penguasa dan dari kenikmatan material. Sekte-sekte biasanya mengklaim bahwa ajarannya lebih murni, lebih konsisten dengan wahyu Ilahi. Mereka cenderung membuat pembedaan tajam antara para penganutnya yang suci dengan orang luar yang awam dan penuh kekurangan serta dosa. Seringkali, kata Troeltsch, sekte- sekte muncul pertama-tama di kalangan yang berpendapatan dan pendidikan rendah, dan baru kemudian meluas ke kalangan lainnya. Mereka sering cenderung memisahkan diri secara fisik dari masyarakat sekitarnya, dan menolak budaya dan ilmu pengetahuan sekuler.

Selain sekte, Troeltsch menyoroti suatu jenis gerakan lagi yang muncul sebagai oposisi terhadap gereja (atau ortodoksi yang lain), yaitu gerakan mistisisme (tasawwuf). Sementara sekte memisahkan diri dari gereja karena mereka menganggap gereja telah kehilangan semangat aslinya dan terlalu berkompromi, gerakan- gerakan mistisisme merupakan reaksi terhadap formalitas dan "kekeringan" gereja. Gerakan mistisisme, menurut Troeltsch, memusatkan perhatian kepada penghayatan ruhani-individual, terlepas dari sikapnya terhadap masyarakat sekitar. (Oleh karena itu, Troeltsch juga memakai istilah "individualisme religius"). Penganutnya bisa saja dari kalangan establishment, bisa juga dari kalangan yang tak setuju dengan tatanan masyarakat yang berlaku. Mereka biasanya kurang tertarik kepada ajaran agama yang formal, apalagi kepada lembaga-lembaga agama (gereja, dan sebagainya). Yang dipentingkan mereka adalah hubungan langsung antara individu dan Tuhan (atau alam gaib pada umumnya).

Analisa Troeltsch ini berdasarkan pengetahuannya tentang sejarah gereja di Eropa, dan tidak bisa diterapkan begitu saja atas budaya lain. Organisasi "tipe gereja" tidak terdapat dalam setiap masyarakat, tetapi tanpa kehadiran suatu gereja pun sekte bisa saja muncul. Ketika tadi saya bertanya "gerakan sempalan itu menyempal dari apa?", sebenarnya mencari apakah ada sesuatu wadah umat yang punya ciri tipe gereja, dalam terminologi Troeltsch. Ortodoksi Islam Indonesia seperti diwakili oleh MUI dan sebagainya, tentu saja tidak sama dengan Gereja Katolik abad pertengahan; ia tidak mempunyai kekuasaan atas kehidupan pribadi orang seperti gereja.

Situasi di Amerika Serikat masa kini, sebetulnya, sama saja. Hampir-hampir tidak ada wadah tipe gereja versi Troeltsch, yang begitu dominan terhadap seluruh masyarakat. Yang ada adalah sejumlah besar gereja-gereja Protestan (sering disebut denominasi), yang berbeda satu dengan lainnya dalam beberapa detail saja, dan tidak ada di antaranya yang dominan terhadap yang lain. Denominasi-denominasi Protestan ini mempunyai baik ciri tipe sekte maupun ciri tipe gereja. Gerakan mistisisme, seperti yang digambarkan Troeltsch, beberapa dasawarsa terakhir ini sangat berkembang di dunia Barat dengan mundurnya pengaruh gereja. Para penganutnya seringkali dari kalangan yang relatif berada dan berpendidikan tinggi, bukan dari lapisan masyarakat yang terbelakang.[5]

Kajian berikut yang sangat berpengaruh adalah studi Richard Niebuhr, sosiolog agama dari Amerika Serikat, mengenai dinamika sekte dan lahirnya denominasi.[6] Teori yang diuraikan dalam karya ini sebetulnya agak mirip teori sejarah Ibnu Khaldun. Niebuhr melihat bahwa banyak sekte, yang pertama-tama lahir sebagai gerakan protes terhadap konservatisme dan kekakuan gereja (dan seringkali juga terhadap negara), lambat laun menjadi lebih lunak, mapan, terorganisir rapih dan semakin formalistik. Setelah dua-tiga generasi, aspek kesukarelaan sudah mulai menghilang, semakin banyak anggota yang telah lahir dalam lingkungan sekte sendiri. Semua anggota sudah tidak sama lagi, bibit-bibit hierarki internal telah ditanam, kalangan pendeta - pendeta muncul, yang mulai mengklaim bahwa orang awam memerlukan jasa mereka. Dengan demikian bekas sekte itu sudah mulai menjadi semacam gereja sendiri, salah satu di antara sekian banyak denominasi. Dan lahirlah, sebagai reaksi, gerakan sempalan baru, yang berusaha menghidupkan semangat asli... dan lambat laun berkembang menjadi denominasi... dan demikianlah seterusnya.

Teori Niebuhr ini sekarang dianggap terlalu skematis; sekte- sekte tidak selalu menjadi denominasi. Niebuhr bertolak dari pengamatannya terhadap situasi Amerika Serikat yang sangat unik; semua gereja di sana memang merupakan denominasi yang pernah mulai sebagai gerakan sempalan dari denominasi lain. Siklus perkembangan yang begitu jelas, agaknya, berkaitan dengan kenyataan bahwa masyarakat Amerika Serikat terdiri dari para imigran, yang telah datang gelombang demi gelombang. Setiap gelombang pendatang baru menjadi lapisan sosial paling bawah; dengan datangnya gelombang pendatang berikut, status sosial mereka mulai naik. Pendatang baru yang miskin seringkali menganut sekte-sekte radikal; dengan kenaikan status mereka sekte itu lambat laun menghilangkan radikalismenya dan menjadi sebuah denominasi baru.

Tigapuluh tahun sesudah Niebuhr, sosiolog Amerika yang lain, Milton Yinger, merumuskan kesimpulan dari perdebatan mengenai sekte dan denominasi, bahwa sekte yang lahir sebagai protes sosial cenderung untuk bertahan sebagai sekte, tetap terpisah dari mainstream, sedangkan sekte yang lebih menitikberatkan permasalahan moral pribadi cenderung untuk menjadi denominasi. Itu tentu berkaitan dengan dasar sosial kedua jenis sekte ini - sekte radikal cenderung untuk merekrut anggotanya dari lapisan miskin dan tertindas. Dengan demikian hubungan sekte ini dengan negara dan denominasi yang mapan akan tetap tegang. Jenis sekte yang kedua lebih cenderung untuk menarik penganut dari kalangan menengah, dan akan lebih mudah berakomodasi dengan, dan diterima dalam, status quo.[7] Pengamatan ini, agaknya, relevan untuk memahami perbedaan antara Al Irsyad atau Muhammadiyah di satu sisi dan sebagian besar gerakan sempalan masa kini di sisi lainnya.

Klasifikasi sekte dalam beberapa jenis dengan sikap dan dinamika masing-masing dikembangkan lebih lanjut oleh seorang sosiolog Inggeris, Bryan Wilson. Ia berusaha membuat tipologi yang tidak terlalu tergantung kepada konteks budaya Kristen Barat. Tipologi ini disusun berdasarkan sikap sekte-sekte terhadap dunia sekitar.[8] Wilson melukiskan tujuh tipe ideal (model murni) sekte. Sekte-sekte yang nyata biasanya berbeda daripada tipe-tipe ideal ini, yang hanya merupakan model untuk analisa. Dalam kenyataannya, suatu sekte bisa mempunyai ciri dari lebih dari satu tipe ideal. Tetapi hampir semua tipe ideal Wilson terwakili oleh gerakan sempalan yang terdapat di Indonesia.

Tipe pertama adalah sekte conversionist, yang perhatiannya terutama kepada perbaikan moral individu. Harapannya agar dunia akan diperbaiki kalau moral individu-individu diperbaiki, dan kegiatan utama sekte ini adalah usaha untuk meng-convert, men- tobat-kan orang luar. Contoh tipikal di dunia Barat adalah Bala Keselamatan; di dunia Islam, gerakan dakwah seperti Tablighi Jamaat mirip tipe sekte ini.

Tipe kedua, sekte revolusioner, sebaliknya mengharapkan perubahan masyarakat secara radikal, sehingga manusianya menjadi baik. Gerakan messianistik (yang menunggu atau mempersiapkan kedatangan seorang Messias, Mahdi, Ratu Adil) dan millenarian (yang mengharapkan meletusnya zaman emas) merupakan contoh tipikal. Gerakan ini secara implisit merupakan kritik sosial dan politik terhadap status quo, yang dikaitkan dengan Dajjal, Zaman Edan dan sebagainya. Gerakan messianistik, seperti diketahui, banyak terjadi di Indonesia pada zaman kolonial -- dan memang ada sarjana yang menganggap bahwa gerakan jenis ini hanya muncul sebagai reaksi terhadap kontak antara dua budaya yang tidak seimbang.[9]

Kalau harapan eskatologis tetap tidak terpenuhi, suatu gerakan yang semula revolusioner akan cenderung untuk tidak lagi bekerja untuk transformasi dunia sekitar tetapi hanya memusatkan diri kepada kelompoknya sendiri atau keselamatan ruhani penganutnya sendiri - semacam uzlah kolektif. Mereka mencari kesucian diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat luas. Wilson menyebut gerakan tipe ini introversionis. Gerakan Samin di Jawa merupakan kasus tipikal gerakan mesianistik yang telah menjadi introversionis.

Tipe keempat, yang dinamakan Wilson manipulationist atau gnostic ("ber-ma'rifat") mirip sekte introversionis dalam hal ketidakpeduliannya terhadap keselamatan dunia sekitar. Yang membedakan adalah klaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus, yang biasanya dirahasiakan dari orang luar. Untuk menjadi anggota aliran seperti ini, orang perlu melalui suatu proses inisiasi (tapabrata) yang panjang dan bertahap. Tipe ini biasanya menerima saja nilai-nilai masyarakat luas dan tidak mempunyai tujuan yang lain. Klaim mereka hanya bahwa mereka memiliki metode yang lebih baik untuk mencapai tujuan itu. Theosofie dan Christian Science merupakan dua contoh jenis sekte ini di dunia Barat. Di Indonesia, ada banyak aliran kebatinan yang barangkali layak dikelompokkan dalam kategori ini; demikian juga kebanyakan tarekat, yang mempunyai amalan-amalan khusus dan sistem bai'at.

Tipe lainnya adalah sekte-sekte thaumaturgical, yaitu yang berdasarkan sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam atau penguasaan atas alam gaib. Pengobatan secara batin, kekebalan, kesaktian, dan kekuatan "paranormal" lainnya merupakan daya tarik aliran-aliran jenis ini, dan membuat para anggotanya yakin akan kebenarannya. Di Indonesia, unsur-unsur thaumaturgical terlihat dalam berbagai aliran kebatinan dan sekte Islam, seperti Muslimin-Muslimat (di Jawa Barat).

Tipe ke-enam adalah sekte reformis, gerakan yang melihat usaha reformasi sosial dan/atau amal baik (karitatif) sebagai kewajiban esensial agama. Aqidah dan ibadah tanpa pekerjaan sosial dianggap tidak cukup. Yang membedakan sekte-sekte ini dari ortodoksi bukan aqidah atau ibadahnya dalam arti sempit, tetapi penekanannya kepada konsistensi dengan ajaran agama yang murni (termasuk yang bersifat sosial).

Gerakan utopian, tipe ketujuh, berusaha menciptakan suatu komunitas ideal di samping, dan sebagai teladan untuk, masyarakat luas. Mereka menolak tatanan masyarakat yang ada dan menawarkan suatu alternatif, tetapi tidak mempunyai aspirasi mentransformasi seluruh masyarakat melalui proses revolusi. Tetapi mereka lebih aktivis daripada sekte introversionis; mereka berdakwah melalui contoh teladan komunitas mereka. Komunitas utopian mereka seringkali merupakan usaha untuk menghidupkan kembali komunitas umat yang asli (komunitas Kristen yang pertama, jami'ah Madinah), dengan segala tatanan sosialnya. Di Indonesia, kelompok Isa Bugis (dulu di Sukabumi, sekarang di Lampung) merupakan salah satu contohnya, Darul Arqam Malaysia dengan "Islamic Village"nya di Sungai Penchala adalah contoh yang lain.

Gerakan Sempalan Islam Di Indonesia Dan Tipologi Sekte

Dalam tipologi sekte di atas ini, Wilson sudah menggambarkan suatu spektrum aliran agama yang lebih luas daripada spekrum gerakan sempalan Indonesia yang disebut di atas. Meski demikian, beberapa gerakan di Indonesia agak sulit diletakkan dalam tipologi ini. Kriteria yang dipakai Wilson adalah sikap sekte terhadap dunia sekitar, namun terdapat berbagai gerakan di Indonesia yang tidak mempunyai sikap sosial tertentu dan hanya membedakan diri dari "ortodoksi" dengan ajaran atau amalan yang lain.

Satu tipe terdiri dari aliran-aliran kebatinan atau tarekat dengan ajaran yang "aneh", yang masih sering muncul di hampir setiap daerah. Sebagian aliran ini memang mirip sekte gnostic, dengan sistem bai'at, hierarki internal dan inisiasi bertahap dalam "ilmu" rahasia, sebagian juga memiliki aspek thaumaturgical, dengan menekankan pengobatan dan kesaktian, tetapi aspek thaumaturgical jarang menjadi intisari aliran tersebut seperti dalam gerakan pengobatan ruhani di Amerika Serikat.[10] Sebagian besar tidak mempunyai ciri sosial yang menonjol, tidak ada penolakan terhadap norma-norma masyarakat luas. Mereka tidak mementingkan aspek sosial dan politik dari ajaran agama, melainkan kesejahteraan ruhani, ketentraman dan/atau kekuatan gaib individu. Penganutnya bisa berasal dari hampir semua lapisan masyarakat, tetapi yang banyak adalah orang yang termarginalisir oleh perubahan sosial dan ekonomi.

Suatu jenis lain terdiri dari gerakan pemurni, yang sangat menonjol dalam sejarah Islam: gerakan yang mencari inti yang paling asli dari agamanya, dan melawan segala hal (ajaran maupun amalan) yang dianggap tidak asli. Beberapa gerakan pemurni sekaligus adalah gerakan reform sosial, seperti Muhammadiyah, tetapi tidak semuanya berusaha mengubah masyarakat. Gerakan pemurni yang paling tegas di Indonesia, agaknya, Persatuan Islam (Persis). Dalam konteks ini perlu kita sebut kelompok yang dikenal dengan nama Inkarus Sunnah, karena mereka juga mengklaim ingin mempertahankan hanya sumber Islam yang paling asli saja. Seperti diketahui, mereka kurang yakin akan keasliannya hadits, dan menganggap hanya Qur'an saja sebagai sumber asli. Oleh karena itu, nama yang mereka sendiri pakai adalah Islam Qur'ani. Namun dalam kasus terakhir ini, saya tidak yakin apakah mereka layak disebut gerakan sempalan; mereka tidak cenderung untuk memisahkan diri dari ummat lainnya, dan saya belum jelas apakah mereka merupakan gerakan terorganisir.

Gerakan Islam Jama'ah alias Darul Hadits juga merupakan suatu kasus yang tidak begitu mudah digolongkan. Dengan penekanannya kepada hadits (walaupun yang dipakai, konon, hadits-hadits terpilih saja), gerakan ini mengingatkan kepada gerakan pemurni (ini mungkin menjelaskan daya tariknya bagi orang berpendidikan modern). Namun beberapa ciri jelas membedakannya dari gerakan pemurni atau pembaharu dan membuatnya mirip sekte manipulationist / gnostic. Dari segi organisasi internal, Islam Jama'ah mirip tarekat atau malahan gerakan militer, dengan bai'at dan pola kepemimpinan yang otoriter dan sentralistis (amir). Tidak ada penolakan terhadap nilai-nilai masyarakat pada umumnya, dan tidak ada cita-cita politik atau sosial tertentu. Unsur protes tidak terlihat dalam gerakan ini; mereka hanya sangat eksklusif dan menghindar dari berhubungan dengan orang luar. Faktor yang juga perlu disebut adalah kepemimpinan karismatik.[11] Pendiri dan amir pertama, Nur Hasan Ubaidah, dikenal sebagai ahli ilmu kanuragan dan kadigdayan yang hebat, dan dalam pandangan orang banyak, itulah yang membuat penganutnya tertarik dan terikat pada gerakan ini. Penganutnya pada umumnya tidak berasal dari kalangan bawah tetapi dari kalangan menengah; namun banyak diantara mereka, agaknya, pernah mengalami krisis moral sebelum masuk gerakan ini.

Dari segi kepemimpinan, gerakan Darul Arqam di Malaysia (yang sekarang juga sudah mempunyai cabang di Indonesia) sedikit mirip Islam Jama'ah; gerakan ini sangat tergantung kepada pemimpin karismatik, Ustaz Ashaari Muhammad. Tetapi sikap Darul Arqam terhadap dunia sekitar sangat berbeda: mereka ingin mengubah masyarakat dan menawarkan model alternatif, yang dicontohkan dalam "Islamic Village" mereka. Dengan kata lain, inilah suatu gerakan utopian; melalui dakwah aktif mereka terus mempropagandakan alternatif mereka. Kegiatan sosialnya terbatas pada kalangan mereka sendiri; selain usaha konversi (dakwah: memasukkan penganut baru), mereka tidak banyak berhubungan dengan masyarakat sekitar -- walaupun dalam praktek mereka masih tergantung pada masyarakat luar untuk pendapatan mereka. Hubungan di dalam kelompok, antara sesama anggota, hangat dan intensif; kontrol sosial dinatara mereka juga tinggi. Namun, mereka menjauhkan diri dari ummat lainnya, sehingga sering dituduh terlalu eksklusif. Di samping sikap utopian ini, Darul Arqam juga merupakan gerakan messianis; mereka meyakini kedatangan Mahdi dalam waktu sangat dekat, dan mempersiapkan diri untuk peranan di bawah kepemimpinan Mahdi nanti.[12] Beberapa tahun terakhir ini aspek messianis ini telah menjadi semakin menonjol; gerakan ini lambat laun bergeser dari utopian menjadi revolusioner.

Gerakan yang lebih murni aspek utopiannya adalah yang disebut gerakan Usroh di Indonesia. Saya tidak yakin apakah ini memang suatu gerakan terorganisir, dengan kepemimpinan dan strategi tertentu. Menurut Martin van Bruinessen gerakan ini adalah suatu trend, suatu pola perkumpulan yang cepat tersebar, tanpa banyak koordinasi antara sesama usroh. Ini memang suatu gerakan protes politik (walaupun perhatiannya terutama kepada urusan agama dalam arti sempit, tidak kepada isu- isu politik umum). Namun mereka tidak berharap mengubah tatanan masyarakat atau sistem politik secara langsung; para usroh ("keluarga") merupakan komunitas yang menganggap diri mereka sebagai alternatif yang lebih Islami.

Ahmadiyah (Qadian), Baha'i dan Syi'ah tidak lahir dari rahim kalangan umat Islam Indonesia sendiri, tetapi "diimport" dari luar negeri ketika sudah mapan. Ketiganya merupakan faham agama yang sudah lama berdiri di negara lain sebelum masuknya ke Indonesia. Pada masa awalnya, ketiganya mempunyai aspek messianis, namun kemudian berubah menjadi introversionis, tanpa sama sekali menghilangkan semangat awalnya. Pemimpin karismatik aslinya (Mirza Ghulam Ahmad, Baha'ullah, Duabelas Imam) tetap merupakan titik fokus penghormatan dan cinta yang luar biasa. Dalam Syi'ah, semangat revolusioner kadang-kadang tumbuh lagi (seperti terakhir terlihat di Iran sejak 1977), dan itulah agaknya yang merupakan daya tarik utama faham Syi'ah bagi para pengagumnya di Indonesia. Sedangkan Ahmadiyah telah menampilkan diri (di India- Pakistan dan juga di Indonesia) terutama sebagai sekte reformis,[13] yang belakangan menjadi sangat introversionis dan menghindar dari kegiatan di luar kalangan mereka sendiri. Walaupun sekte Baha'i juga mempunyai beberapa penganut di Indonesia, mereka rupanya tidak berasal dari kalangan Islam, sehingga Baha'i di sini tidak dapat dianggap sebagai gerakan sempalan Islam (seperti halnya di negara aslinya, Iran).

Tiga gerakan ini memain peranan sangat berlainan di Indonesia, dan meraih penganut dari kalangan yang berbeda. Gerakan Syi'ah adalah yang paling dinamis. Ia mulai sebagai gerakan protes, baik terhadap situasi politik maupun kepemimpinan ulama Sunni; pelopornya adalah pengagum revolusi Islam Iran. Kepedulian sosial (perhatian terhadap mustadl'afin) dan politik ditekankan. Dalam perkembangan berikut, penekanan kepada dimensi politik Syi'ah semakin dikurangi, dan minat kepada tradisi intelektual Syi'ah Iran ditingkatkan.[14] Dengan kata lain, gerakan Syi'ah Indonesia sudah bukan gerakan sempalan revolusioner lagi dan cenderung untuk menjadi introversionis. Tetapi gerakan ini tetap berdialog dan berdebat dengan golongan Sunni, mereka tidak terisolir. Di antara semua gerakan sempalan masa kini, hanya gerakan Syi'ah yang agaknya mempunyai potensi berkembang menjadi suatu denominasi, di samping gerakan pemurni dan pembaharu yang Sunni.

Gerakan Sempalan: Gejala Krisis Atau Sesuatu Yang Wajar Saja?

Tinjauan sepintas ini menunjukkan bahwa gerakan sempalan Islam di Indonesia cukup berbeda satu dengan lainnya. Latar belakang sosial mereka juga berbeda-beda. Tidak dapat diharapkan bahwa kemunculannya bisa dijelaskan oleh satu dua faktor penyebab saja. Ada kecenderungan untuk melihat semua gerakan sempalan sebagai suatu gejala krisis, akibat sampingan proses modernisasi yang berlangsung cepat dan pergeseran nilai. Tetapi gerakan-gerakan seperti yang telah digambarkan di atas bukanlah fenomena yang baru. Prototipe gerakan sempalan dalam sejarah Islam adalah kasus Khawarij, yang terjadi jauh sebelum ada modernisasi. Gerakan messianis juga telah sering terjadi selama sejarah Islam, di kawasan Timur Tengah maupun Indonesia. Sedangkan tarekat sudah sering menjadi penggerak atau wadah protes sosial rakyat atau elit lokal antara 1880 dan 1915. Gerakan pemurni yang radikal juga telah sering terjadi, setidak- tidaknya sejak gerakan Padri.

Timbulnya segala macam sekte dan aliran "mistisisme" juga bukan sesuatu yang khas untuk negara sedang berkembang. Justeru di negara yang sangat maju, seperti Amerika Serikat, fenomena ini sangat menonjol. Jadi, hipotesa bahwa gerakan sempalan di Indonesia timbul sebagai akibat situasi khusus ummat Islam Indonesia masa kini tidak dapat dibenarkan. Jumlah aliran baru yang muncul setiap tahun (sekarang) tidak jauh lebih tinggi ketimbang tiga dasawarsa yang lalu. Yang dipengaruhi oleh iklim sosial, ekonomi dan politik, agaknya, bukan timbulnya aliran-aliran itu sendiri, tetapi jenis aliran yang banyak menjaring penganut baru. Periode 1880 sampai 1915, misalnya, merupakan masa jaya tarekat di Indonesia; pengaruh dan jumlah penganutnya berkembang cepat. Gerakan atau aliran agama lainnya tidak begitu menonjol pada masa itu. Tarekat-tarekat telah menjadi wadah pemberontakan rakyat kecil terhadap penjajah maupun pamong praja pribumi, tidak karena terdapat sifat revolusioner pada tarekat itu sendiri, tetapi karena jumlah dan latar belakang sosial penganutnya, karena struktur organisasinya (vertikal-hierarkis), dan karena aspek "thaumaturgical"nya (kekebalan, kesaktian).[15]

Pada masa berikutnya, sekitar 1915-1930, semua tarekat mengalami kemerosotan pengaruh karena berkembangnya organisasi modern Islam bersifat sosial dan politik, terutama Sarekat Islam. Walaupun SI merupakan organisasi modern dengan pemimpin-pemimpin berpendidikan barat, cabang-cabang lokalnya ada yang mirip sekte messianis atau tarekat, khususnya pada masa awalnya. Cokroaminoto kadang-kadang disambut sebagai ratu adil dan diminta membagikan air suci; ada juga kyai tarekat yang masuk SI dengan semua penganutnya dan berusaha mempergunakan SI sebagai wajah formal tarekatnya.[16]

Fenomena yang paling menonjol pada masa itu, bahwa banyak aliran agama menunjukkan aktivisme politik dan sosial. Namun setelah pemberontakan-pemberontakan 1926 diberantas dan kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda menjadi lebih repressif (dan setelah pemimpin-pemimpin nasionalis dibuang), muncullah aliran-aliran agama baru yang introversionis, yaitu yang berpaling dari aktivitas sosial dan politik kepada penghayatan agama secara individual, dan yang bersifat mistis (sufistik). Dasawarsa 1930an melihat lahirnya berbagai aliran kebatinan yang masih ada sampai sekarang, seperti Pangestu dan Sumarah, dan juga masuk dan berkembangnya dua tarekat baru, yaitu Tijaniyah dan Idrisiyah.

Korelasi antara represi politik dengan timbulnya aliran sufistik yang introversionis terlihat lebih jelas ketika partai Masyumi dibubarkan. Neo-tarekat seperti Shiddiqiyah, dan juga Islam Jama'ah timbul di kalangan bekas penganut Masyumi di Jawa Timur. Di daerah lainnya juga cukup banyak kasus bekas aktivis Masyumi yang masuk aliran mistik. Setelah penumpasan PKI, neo - tarekat Shiddiqiyah dan Wahidiyah, serta tarekat lama Syattariyah di Jawa Timur, mengalami pertumbuhan pesat dengan masuknya tidak sedikit orang dari kalangan abangan. Mereka ketika itu ingin, dengan alasan yang dapat dimengerti, membuktikan identitasnya sebagai Muslim dan sikap non-politik mereka.[17] Dan pada lima tahun terakhir ini kita menyaksikan bahwa tarekat dan aliran mistik lainnya berkembang dengan pesat, dalam semua kalangan masyarakat - suatu fenomena yang agaknya berkaitan erat dengan depolitisasi Islam.[18]

Gerakan Sempalan Yang "Radikal"

Ternyata di lapangan lebih banyak aliran "introversionis" dan mistik daripada aliran yang radikal dan aktivis - "sekte" dalam arti sempitnya Troeltsch. Pertama-tama karena aliran sufistik mudah dideteksi, tetapi juga karena aliran radikal relatif jarang terjadi di Indonesia, dan jumlah penganutnya, agak kecil. Yang perlu kita tanyakan, mungkin, bukan kenapa terjadi gerakan sempalan yang radikal di Indonesia, tetapi kenapa gerakan demikian begitu jarang terjadi (dibandingkan, misalnya, dengan Amerika Serikat, India ataupun Malaysia).

Dalam beberapa dasawarsa terakhir kita melihat beberapa perubahan dalam ortodoksi Islam Indonesia, yang dapat ditandai dengan istilah "akomodasi" dan "depolitisasi". Secara teoretis, kita bisa meramalkan bahwa setiap perubahan dalam ortodoksi akan menimbulkan beberapa reaksi dalam bentuk gerakan sempalan yang tujuannya berlawanan dengan perubahan tersebut. Makin dekat ortodoksi kepada establishment politik dan ekonomis, makin kuat kecenderungan kepada protes sosial dalam bentuk gerakan sempalan yang radikal, seperti kita bisa lihat dalam sejarah gereja di Eropa misalnya. Kita juga bisa meramal bahwa penganut gerakan sempalan itu tidak terutama berasal dari "mainstream" kalangan beragama (katakanlah, yang dibesarkan di keluarga NU atau keluarga Muhammadiyah, dalam kasus Indonesia), tetapi dari kalangan yang relatif marginal. Justeru orang yang masih baru berusaha menjalankan ajaran agama secara utuh, para mukallaf, dan orang berasal dari keluarga yang sekuler atau abangan yang mencari identitas dirinya dalam Islam. Kalangan "santri", karena mereka lebih dekat kepada tokoh-tokoh yang "ortodoks", lebih cenderung mengikuti perubahan sikap ortodoksi. Mereka juga, agaknya, sudah dibudayakan dalam tradisi Sunni, yang selalu akomodatif. Sedangkan orang "baru" justeru sering cenderung mencari ajaran yang "murni", sederhana dan tegas, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi.

Gejala menonjol dalam beberapa gerakan sempalan yang radikal adalah latar belakang pendidikan dan pengetahuan agama banyak anggotanya yang relatif rendah, tetapi diimbangi semangat keagamaan yang tinggi. Sebagian besar mereka, sejauh pengamatan saya, sangat idealis dan sangat ingin mengabdi kepada agama dan masyarakat. Mereka adalah orang yang sadar akan kemiskinan dan korupsi, ketidakadilan dan maksiat di masyarakat sekitarnya; dalam kehidupan pribadi, banyak dari mereka telah menghadap kesulitan untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan yang baik dan mengalami banyak frustrasi lainnya. Dan mereka yakin bahwa Islam sangat relevan untuk masalah-masalah sosial ini. Mereka tahu, yang sering dilontarkan tokoh-tokoh Islam, bahwa Islam tidak membenarkan sekularisme, bahwa agama dan masalah sosial dan politik tidak dapat dipisahkan. Tetapi mereka kecewa melihat bahwa kebanyakan tokoh-tokoh tadi senantiasa siap berkompromi dalam menghadapi masalah politik dan sosial. Para ulama tidak memberi penjelasan yang memuaskan tentang sebab-sebab semua penyakit sosial tadi, apalagi memberikan jalan keluar yang konkrit dan jelas. Hal-hal yang diceramahkan dan dikhotbahkan oleh kebanyakan ulama terlalu jauh dari realitas yang dihadapi generasi muda.

Karena adanya jurang komunikasi antara tokoh-tokoh agama dan kalangan muda yang frustrasi tetapi idealis ini, tokoh-tokoh tadi tidak mampu menyalurkan aspirasi dan idealisme mereka ke dalam saluran yang lebih moderat dan produktif. Pemuda-pemuda radikal, di pihak lain, justeru karena masih dangkalnya pengetahuan agama mereka, menganggap bahwa seharusnya Islam mempunyai jawaban yang sederhana, jelas dan kongkrit atas semua permasalahan -- inilah watak khas setiap sekte. Orang yang bilang bahwa permasalahan tidak sesederhana itu, bahwa dalam sikap Islam juga ada segala macam pertimbangan, dan bahwa jawaban yang keras dan tegas belum tentu yang paling benar, dianggap tidak konsisten atau malah mengkhianati agama yang murni. Tidak mengherankan kalau kritik dan serangan gerakan radikal terhadap ulama "ortodoks" kadang-kadang lebih keras daripada terhadap para koruptor dan penindas.

Timbulnya pemahaman agama yang radikal di kalangan muda sebetulnya wajar saja, dan pada sendirinya bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Umat yang hanya terdiri dari satu ortodoksi yang monolitik berarti sudah kehilangan dinamika dan gairah hidup. Dalam sejarah gereja di dunia Barat, sekte-sekte radikal sering telah berfungsi sebagai hati nurani ummat, dan hal demikian juga dapat dilihat dalam sejarah umat Islam. Gerakan sempalan radikal mendorong ortodoksi untuk setiap saat memikirkan kembali relevansi ajaran agama dalam masyarakat kontemporer, dan untuk mencari jawaban atas masalah dan tantangan baru yang terus-menerus bermunculan. Bahaya baru muncul kalau komunikasi antara ortodoksi dan gerakan sempalan terputus dan kalau mereka diasingkan. Karena kurangnya pengalaman hidup dan pengetahuan agama, mereka dengan sangat mudah bisa saja dimanipulir dan/atau diarahkan kepada kegiatan yang tidak sesuai dengan kepentingan umat.

Gerakan Sempalan Sebagai Pengganti Keluarga

Sebagai akibat urbanisasi dan monetarisasi ekonomi, banyak ikatan sosial yang tradisional semakin longgar atau terputus. Dalam desa tradisional, setiap orang adalah anggota sebuah komunitas yang cukup intim, dengan kontrol sosial yang ketat tetapi juga dengan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Jaringan keluarga yang luas melibatkan setiap individu dalam sebuah sistem hak dan kewajiban yang -- sampai batas tertentu -- menjamin kesejahteraannya. Dalam masyarakat kota modern, sebaliknya, setiap orang berhubungan dengan jauh lebih banyak orang lain, tetapi hubungan ini sangat dangkal dan tidak mengandung tanggungjawab yang berarti. Komunitas, seperti di desa atau di keluarga besar, sudah tidak ada lagi, dan kehidupan telah menjadi lebih individualis. Itu berarti bahwa dari satu segi setiap orang lebih bebas; tetapi dari segi lain, tidak ada lagi perlindungan yang betul-betul memberikan jaminan. Banyak orang merasa terisolir, dan merasa bahwa tak ada orang yang betul-betul bisa mereka percayai --- karena sistem kontrol sosial dengan segala sanksinya sudah tidak ada lagi, dan karena orang lain juga lebih mengutamakan kepentingan individual masing-masing.

Dalam situasi ini, aliran agama sering bisa memenuhi kekosongan yang telah terjadi karena menghilangnya komunitas keluarga besar dan desa. Namun untuk dapat berfungsi sebagai komunitas, aliran ini mestinya cukup kecil jumlah anggotanya, sehingga mereka bisa saling mengenal. Aspek komunitas dan solidaritas antara sesama anggota diperkuat lagi kalau aliran ini membedakan diri dengan tajam dari dunia sekitarnya. Inilah, agaknya, daya tarik aliran yang bersifat eksklusif (yaitu menghindar dari hubungan dengan umat lainnya) atau gnostic (yang mengklaim punya ajaran khusus yang tidak dimengerti kaum awam dan menerapkan sistem bai'at).

Martin van Bruinessen menyebutkan sebuah perkampungan miskin di kota Bandung, mengamati bagaimana berbagai aliran agama mempunyai fungsi psikologis positif yang sangat nyata. Baik tarekat maupun sekte memenuhi kebutuhan akan komunitas dan memberi perlindungan sosial dan psikologis kepada anggotanya, sehingga mereka tidak terisolir lagi. Penganut-penganut aliran ini -- terlepas dari tipe aliran dan ajarannya - ternyata lebih mampu mempertahankan harga diri dan nilai-nilai moral daripada orang lain. Dalam berbagai tarekat dan aliran lain, para anggota saling memanggil "ikhwan", dan itu bukan sebutan simbolis belaka; mereka memang sering bertindak sebagai saudara sesama anggota. Pergaulan dan komunikasi antara para ikhwan tidak terbatas pada waktu sembahyang atau berdzikir saja; mereka saling mengunjungi di rumah dan saling menolong, misalnya, mencari pekerjaan. Di dalam aliran-aliran ini terdapat kontrol sosial yang kuat dan dorongan kepada konformisme, tetapi juga sistem tolong-menolong yang menjaminkan keamanan yang dibutuhkan. Walaupun lingkungan mereka dianggap penuh bahaya, maksiat dan penipuan, kepada sesama ikhwan mereka bisa saling percaya; di bawah perlindungan tarekat mereka merasa aman dari ancaman dan tantangan yang mereka alami di dunia sekitar. Ternyata bukan tarekat dan aliran kebatinan saja, tetapi juga kelompok sangat non-sufistik seperti jamaah Persis (yang merupakan minoritas kecil di sana dan berpendirian sektarian) mempunyai fungsi yang sama.[19] Di suatu lingkungan dimana egoisme, sinisme, curiga-mencurigai, iri hati dan pemerosoton semua nilai semakin berkembang, anggota aliran tadi bisa bertahan dan hidup lebih aman dan tenang.

Demikian juga halnya mahasiswa (terutama yang berasal dari kota kecil atau desa) yang hidup di sebuah lingkungan kota yang serba baru dan aneh bagi mereka; kelompok-kelompok studi agama dan sebagainya memberikan perlindungan dan rasa aman, dimana mereka bisa merasa "at home". Lebih-lebih kalau kelompok itu bisa memberikan mereka sebuah kerangka analisa masyarakat sekitarnya dan keyakinan bahwa mereka sebetulnya sebuah minoritas yang lebih baik, murni dan suci, dan mempunyai misi menyebarkan kemurnian dan kesuciannya. Perasaan minder, yang sering dialami mahasiswa berlatarbelakang sederhana ketika berhadapan dengan sebuah lingkungan yang "canggih", mendapat kompensasi dalam "keluarga" baru mereka.

Beberapa gerakan agama di kampus dapat dilihat sebagai gejala konflik budaya ("Islam yang konsisten" melawan "sekularisme yang bebas nilai") yang tak lepas dari perbedaan status sosial-ekonomis. Tidak mengherankan kalau di kalangan pemuda/mahasiswa pernah muncul gerakan sempalan yang bersifat messianis-revolusioner, yang ingin merombak tatanan masyarakat dan/atau negara (seperti kasus Jama'ah Imran dan saat ini adalah Al Qiyadah Islamiyah). Tapi itu tidak berarti bahwa semua anggota gerakan tersebut juga punya aspirasi revolusioner. Dalam kasus Jama'ah Imran misalnya, Terdapat kesan bahwa sebagian besar pengikutnya, berbeda dengan kelompok intinya, sebetulnya tidak tertarik kepada aspek revolusioner (atau subversif)nya.[20] Mereka pertama-tama masuk Jama'ah Imran didorong oleh rasa ingin tahu semata atau karena tertarik kepada ceramah-ceramahnya yang "pedas"; yang kemudian mengikat mereka adalah aspek komunitasnya. Aspek komunitas ini diperkuat oleh bai'at dan melalui suasana yang sangat emosional dalam pengajian, di mana para hadirin sering sampai menangis -- hal yang juga terjadi dalam banyak tarekat. Jamaah Imran telah menjadi keluarga baru untuk banyak pemuda dan pemudi, sampai terjadinya kegiatan kekerasan. Peristiwa Cicendo ternyata menghancurkan suasana keluarga, dan sebagian besar pengikut segera memutuskan semua hubungan dengan jamaah; yang tinggal hanya kelompok inti yang kecil saja. Dalam kasus Al Qiyadah Islamiyah lebih terlihat dalam perekrutan dengan janji bonus hadiah tertentu dalam bentuk uang dan barang, juga kemudahan untuk tidak melakukan sholat lima waktu yang merupakan sholat wajib.

Kata Penutup

Sejauh ini, gerakan sempalan Islam di Indonesia biasanya tidak muncul di tengah-tengah kalangan umat, tetapi di pinggirannya. Sebagiannya mungkin bisa dilihat sebagai aspek dari proses pengislaman yang sudah mulai berlangsung enam atau tujuh abad yang lalu dan masih terus berlangsung. Sebagian juga (terutama gerakan yang "radikal") bisa dilihat sebagai "komentar" terhadap ortodoksi yang telah ada, dengan usul koreksi terhadap hal-hal yang dianggapnya kurang memadai. Selama dialog antara ortodoksi dan gerakan sempalan masih bisa berlangsung, fenomena ini mempunyai fungsi positif. Terputusnya komunikasi dan semakin terasingnya gerakan sempalan tadi mengandung bahaya. Kalau ortodoksi tidak responsif dan komunikatif lagi dan hanya bereaksi dengan melarang-larang (atau dengan diam saja), ortodoksi sendiri merupakan salah satu sebab penyimpangan "ekstrim" ini.

Terlepas dari hubungan ortodoksi dengan umat "pinggiran", aliran-aliran agama mempunyai suatu fungsi sosial yang cukup penting untuk para penganutnya, yaitu sebagai pengganti ikatan keluarga dan pemberi perlindungan dan keamanan psikologis-spiritual. Peran ini tidak dapat dimainkan oleh organisasi agama besar, justeru karena yang diperlukan adalah hubungan intim dalam sebuah komunitas yang terpisah dari masyarakat/umat yang luas.

Kekerasan agama dengan melukai dan menghancurkan tempat ibadah merupakan perwujudan orientasi beragama ekstrinsik (OBE) yang sesungguhnya banyak dianut oleh umat beragama di Indonesia. Penyadaran orientasi beragama mencari (OBM) merupakan langkah tepat untuk meredakan kekerasan (violence) umat beragama di Indonesia.


[1] Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi Studi Agama dan Resolusi Konflik. Penyuluh Agama Islam Fungsional Kandepag Kulon Progo DI Yogyakarta.

[2] Istilah ini konon pertama kali dipakai oleh Abdurrahman Wahid sebagai pengganti kata "splinter group", kata yang tidak mempunyai konotasi khusus aliran agama, tetapi dipakai untuk kelompok kecil yang memisahkan diri (menyempal) dari partai atau organisasi sosial dan politik. Untuk "splinter group" yang merupakan aliran agama, kata "sekte" lazim dipakai.

[3] Seperti diketahui, Syi'ah Itsna'asyariyah sekarang merupakan ortodoksi di Iran. Namun sampai abad ke-10 hijriyah (abad ke-16 Masehi), mayoritas penduduk Iran masih menganut madzhab Syafi'i. Faham ini baru menjadi dominan setelah dinasti Safawiyah memproklamirkan Syi'ah sebagai agama resmi negara dan mendatangkan ulama Syi'i dari Irak Selatan.

[4] Ernst Troeltsch, The Social Teachings of the Christian Churches. London, 1931 (aslinya diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1911). Lihat juga pengamatan Weber tentang sekte-sekte protestan di Amerika Serikat: "Sekte-sekte protestan dan semangat kapitalisme", dalam Taufik Abdullah, editor, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1979, hal. 41-78.

[5] Pengamatan tajam dan menarik tentang fenomena sekte dan mistisisme di Amerika Serikat masa kini (dengan analisa yang bertolak dari tipologi Troeltsch) terdapat dalam: Robert Bellah dkk, Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life. New York: Harper & Row, 1986, khususnya hal. 243-8.

[6] H. Richard Niebuhr, The Social Sources of Denominationalism. New York: Holt, 1929.

[7] Lihat: J. Milton Yinger, Religion, Society and the Individual. New York: MacMillan Co., 1957, khususnya hal. 147-55.

[8] Salah satu tulisannya, "Tipologi sekte", telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam: Roland Robertson (ed.), Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali, 1988, hal. 431-462. Sayangnya, terjemahannya mengandung banyak kesalahan sehingga tulisan ini sulit difahami. Untuk lebih lengkap dan jelas, lihat bukunya Sects and Society (Heinemann / California University Press, 1961).

[9] Beberapa tulisan Sartono Kartodirdjo merupakan kajian penting tentang gerakan millenarian di Indonesia, antara lain "Agrarian Radicalism in Java: its Setting and Development", dalam: Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1972, hal. 71-125. Teori umum dan beberapa kasus penting dibahas dalam: Michael Adas, Prophets of Rebellion: Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order. University of North Carolina Press, 1979 (terjemahan Indonesia: Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali 1988).

[10] Ada pengamatan menarik bahwa beberapa aliran kebatinan pada zaman revolusi mengembangkan latihan kesaktian (silat dengan tenaga dalam, "ilmu kontak", kekebalan dan sebagainya), yang pada masa kemudian dianggap terlalu kasar dan digantikan dengan latihan kejiwaan yang lebih halus. Lihat: Paul Stange, The Sumarah Movement in Javanese Mysticism, Ph.D. thesis, University of Wisconsin, Madison, 1980, bab 5. Berbagai tarekat juga (terutama Qadiriyah) menunjukkan aspek thaumaturgical pada masa revolusi, yang kemudian ditinggalkan lagi.

[11] Saya memakai istilah karismatik di sini dalam arti asli kata: baik pemimpin karismatik maupun pengikutnya percaya bahwa ia dianugerahi karamah atau kesaktian.

[12] Mereka menganggap almarhum Syeikh Muhammad bin Abdullah Suhaimi (seorang muslim Jawa di Singapura, mantan guru dari Ustaz Ashaari Muhammad) sebagai Mahdi. Walaupun sudah meninggal dunia, beliau diharapkan akan datang dalam waktu dekat. Syeikh Suhaimi konon telah bertemu dengan Nabi dalam keadaan jaga, dan menerima Aurad Muhammadiyah, yang diamalkan Darul Arqam, dari Beliau. Lihat: Ustaz Hj. Ashaari Muhammad, Aurad Muhammadiyah, Pegangan Darul Arqam. Kuala Lumpur: Penerangan Al Arqam, 1986; juga: Ustaz Ashaari Muhammad, Inilah pandanganku. Kuala Lumpur: Penerangan Al Arqam, 1988

[13] Ahmadiyah pernah memainkan peranan penting dalam proses pengislaman (atau "pen-santri-an") kaum terdidik di Indonesia pada masa penjajahan. Dalam Jong Islamieten Bond dan Sarekat Islam pengaruhnya sangat berarti. Baru setelah organisasi modernis lainnya berkembang terus, Ahmadiyah menghilangkan fungsinya sebagai pelopor reformisme dan rasionalisme dalam Islam. Berkembangnya kritik semakin keras terhadap faham kenabian Ahmadiyah Qadian bisa dilihat sebagai simptom konsolidasi ortodoksi Islam di Indonesia.

[14] Pergeseran ini, antara lain, terlihat dalam urutan terjemahan karya penulis Syi'ah: Ali Syari'ati disusul oleh Murtadha Muthahhari dan kemudian Baqir Al-Shadr. Khomeini pertama-tama dilihat sebagai pemimpin revolusi saja, kemudian juga sebagai ahli 'irfan (tasawwuf dan metafisika). Sekarang diskusi-diskusi lebih sering berkisar sekitar filsafat atau persoalan 'ishmah (apakah para Imam Duabelas ma'shum?) daripada situasi politik Iran.

[15] Lihat pengamatan tentang peranan tarekat dalam pemberontakan Banten dalam: Sartono Kartodirdjo, The Peasant's Revolt of Banten in 1888. The Hague: Nijhoff, 1966.

[16] Lihat, antara lain, laporan tentang konflik antara kyai tarekat yang memimpin cabang lokal di Madura dengan pengurus pusat, dalam buku Sarekat Islam Lokal (editor Sartono Kartodirdjo). Jakarta: Arsip Nasional, 1975. Di Jambi, sebuah aliran kekebalan ("ilmu abang") meniru contoh SI dan menamakan diri Sarekat Abang, dan kemudian mencoba mengambil over cabang lokal SI. Tentang Cokroaminoto sebagai "ratu adil", lihat: A.P.E. Korver, Sarekat Islam 1912-1916. Universitas Amsterdam, 1982 (terjemahan Indonesia: Ratu Adil, Grafiti Pers).

[17] Untuk pengamatan menarik tentang berkembangnya aliran tersebut, lihat artikel Moeslim Abdurrahman, "Sufisme di Kediri", dalam Sufisme di Indonesia [Dialog, edisi khusus, Maret 1978], hal. 23-40.

[18] Suatu fenomena menarik adalah berkembangnya kecenderungan kepada mistisisme di kalangan menengah di ibukota, seperti dicerminkan dalam majalah Amanah. Mistisisme kelas menengah ini rupanya jarang terorganisir tetapi bersifat "individualisme religius" (menurut istilah Troeltsch; bandingkan komentar dalam catatan 5). Majalah tersebut sering menyoroti "pengalaman rohani" tokoh-tokoh terkenal. Rubrik renungan tasawwuf dalam majalah ini juga cenderung kepada individualisme, dengan menyinggung hubungan pribadi dengan Tuhan semata, dan sejenisnya.

[19] Lihat: Martin van Bruinessen, "Duit, jodoh, dukun: Remarks on cultural change among poor migrants to Bandung", Masyarakat Indonesia XV, 1988, 35-65 (khususnya 55-60).

[20] Kesan ini berdasarkan percakapan dengan mahasiswa-mahasiswa di Bandung pada tahun 1983, serta laporan pers tentang pengadilan anggota Jamaah Imran. Di antara buku-buku tentang kasus ini yang telah terbit, yang paling informatif adalah: Anjar Any, Dari Cicendo ke Meja Hijau: Imran Imam Jamaah. Solo: CV. Mayasari, 1982. Namun buku ini hanya menceritakan tentang kegiatan kekerasan kelompok inti saja, tidak banyak tentang pengikut biasa, yang tidak langsung terlibat dalam kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

A.P.E. Korver, Sarekat Islam 1912-1916. Universitas Amsterdam, 1982 (terjemahan Indonesia: Ratu Adil, Grafiti Pers).

Anjar Any, Dari Cicendo ke Meja Hijau: Imran Imam Jamaah. Solo: CV. Mayasari, 1982.

Ashaari Muhammad, Aurad Muhammadiyah, Pegangan Darul Arqam. Kuala Lumpur: Penerangan Al Arqam, 1986;

Ashaari Muhammad, Inilah pandanganku. Kuala Lumpur: Penerangan Al Arqam, 1988

Brant Cortright, Psychotherpy and Spirit, Theory and Practice in Transpersonal Psychotherapy, State University Press, Albany, 1997

Ernst Troeltsch, The Social Teachings of the Christian Churches. London, 1931 (aslinya diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1911).

H. Richard Niebuhr, The Social Sources of Denominationalism. New York: Holt, 1929.

J. Milton Yinger, Religion, Society and the Individual. New York: MacMillan Co., 1957, khususnya hal. 147-55.

Martin van Bruinessen, "Duit, jodoh, dukun: Remarks on cultural change among poor migrants to Bandung", Masyarakat Indonesia XV, 1988, 35-65 (khususnya 55-60).

Michael Adas, Prophets of Rebellion: Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order. University of North Carolina Press, 1979 (terjemahan Indonesia: Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali 1988).

Moeslim Abdurrahman, "Sufisme di Kediri", dalam Sufisme di Indonesia [Dialog, edisi khusus, Maret 1978], hal. 23-40.

Paul Stange, The Sumarah Movement in Javanese Mysticism, Ph.D. thesis, University of Wisconsin, Madison, 1980,

Robert Bellah dkk, Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life. New York: Harper & Row, 1986, khususnya hal. 243-8.

Roland Robertson (ed.), Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali, 1988, hal. 431-462. Sayangnya, terjemahannya mengandung banyak kesalahan sehingga tulisan ini sulit difahami. Untuk lebih lengkap dan jelas, lihat bukunya Sects and Society (Heinemann / California University Press, 1961).

Sartono Kartodirdjo "Agrarian Radicalism in Java: its Setting and Development", dalam: Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1972, hal. 71-125.

Sartono Kartodirdjo (editor), Sarekat Islam Lokal ,Jakarta: Arsip Nasional, 1975.

Sartono Kartodirdjo, The Peasant's Revolt of Banten in 1888. The Hague: Nijhoff, 1966.

Taufik Abdullah, editor, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1979, hal. 41-78.