18 June 2008

KONFLIK FATWA ULAMA’ JOMBANG TENTANG MASALAH KHILAFIYAH DI DESA HARGOMULYO KOKAP KULON PROGO

KONFLIK FATWA ULAMA’ JOMBANG
TENTANG MASALAH KHILAFIYAH
DI DESA HARGOMULYO KOKAP KULON PROGO

Oleh : Muqoffa Mahyuddin

Abstrak
Konflik khilafiyah tentang tahlilan, tawasul, al berzanji, sholat tarawih 23 roka’at, do’a qunut pada sholat subuh, dan sholawat nariyah merupakan konflik kalsik yang banyak terjadi di tahuan 80-an. Konflik tersebut terjadi lagi di tahun 2006. Apakah umat Islam tidak pernah belajar dari sejarah ataukah cara pemahaman Islam yang fanatik masih menyelimuti umat Islam di Indonesia. Masalah khilafiyah yang sudah banyak terjadi pada masa shahabat nampaknya kurang bisa ditransformasikan pada zaman global ini. Cara pemahaman agama dengan satu sudut pandang menjadikan kita buta dan mudah menyalahkan ajaran umat lain. Bagaimana resolusi koflik ketika masalah konflik khilafiyat tersebut pecah. Bagaiamana langkah tepat penyelesaian masalah masyarakat agama tersebut. Bagaimana budaya berperan dalam menyelesaikan dalam konflik agama. Bagaimana rekonsiliasi yang harus merujuk kepada Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 8 tentang sikap adil dalam menentukan suatu perkara dapat diaplikasikan dalam konflik masalah khilafiyah. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al Maidah: 8)


Pendahuluan
Konflik dalam masyarakat agama dapat ditransformasikan menjadi kekuatan untuk membangun persatuan dan silaturahmi yang kuat sehinga tercipta ukhuwah Islamiah. Akan tetapi kesalahan dalam penanganan dan pentransformasian konflik menjadikan konflik dalam masyarakat agama akan berlarut-larut dan tidak mudah diselesaikan. Pememenuhan opportunity space yang merupakan penciptaan peluang ruang untuk berdialog dan menghargai perbedaan adalah langkah rasional dalam penyelesaian konflik masyarakat agama. Di desa Hargomulyo Kokap Kulon Progo pada Idul Fitri tahun 2006 terjadi konflik agama berbasis khilafiyah yang sebetulnya merupakan konflik klasik tahuan 80-an. Dalam konflik tersebut terjadi pengejekan akan amalan ibadah masyarakat yang berbeda organisasi kemasyarakatan. Hampir terjadi prilaku violence dalam konflik tersebut. Bagaiamana resolusi koflik ketika masalah konflik khilafiyat tersebut pecah? Bagaiamana langkah tepat penyelesaian masalah masyarakat agama tersebut? Bagaimana budaya (culture) berperan dalam menyelesaikan dalam konflik agama?
Al Qur’an surat Ali Imran ayat 103 menyebutkan bahasan tentang (wala tafarraqu) ajakan jangan bercerai berai;

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا نعمت الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا وكنتم على شفا حفرة من النار فأنقذكم منها كذلك يبين الله لكم آياته لعلكم تهتدون
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.(QS. Ali Imran:103)
Asbabaun nuzul dari QS. Ali Imran ayat 103 adalah dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika kaum Auz dan Khazraj duduk-duduk, berceritalah mereka tentang permusuhannya di zaman jahiliyah, sehingga bangkitlah amarah kedua kaum tersebut. Masing-masing memegang senjatanya, saling berhadapan. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. Ali Imran: 101-103) yang melerai meraka. (diriwayatkan oleh Al Faryabi dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang Yahudi yang bernama Syas bin Qais lewat lewat dihadapan kamum Aus dan Khazraj yang sedang bercakap-cakapdengan riang gembira. Ia merasa benci melihat keintiman mereka, padahal asalnya bermusuhan. Ia menyuruh seorang pemuda anak buahnya untuk ikut serta bercakap-cakap dengan mereka dan membangkitkan cerita di zaman jahiliyah waktu perang Bu’ats. Mulailah kaum Aus dan Khazraj berselisih dan menyobongkan kegagahan masing-masing, sehingga tampillah Aus bin Qaizhi dari golongan Aus dan Jabbar bin Shakhr dari golongan Khazraj saling mencaci hingga menimbulkan amarah kedua belah pihak. Berloncatlah kedua kelompok itu untuk berperang. Hal itu sampai kepada Rasulullah saw. sehingga beliau segera datang dan memberi nasehat serta mendamaikan mereka. Mereka pun tunduk dan taat. Maka turunlah ayat tersebut di atas.
Ungkapan jangan bercerai-berai di dalam ayat tersebut menunjukkan kepada larangan berpecah belah dalam perkara agama seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nasrani dalam agama masing-masing. Hal tersebut pengertian dari antara lain Ibn Mas’ud r.a. Maski begitu, demikian Al-Qurthubi, itu bukan dalil diharamkannya perselisihan pendapat dalam masalah furu’ (ranting, khususnya di bidang hukum). Para sahabat Nabi sendiri berbeda pendapat dalam soal-soal fiqih yang muncul, sementara mereka tetap harmonis. Adapun yang dilarang adalah perselisihan yang merupakan bencana . Yaitu yang digerakkan nafsu. Tetapi seperti ditunjukkan Muhammad Abduh, kedua-duanya bisa menjadi satu; perselisihan agama itu menjadi perselisihan karena peranan nafsu. Keterangannya: Ada dua macam perselishan - atau, “ketidaksepakatan”. Pertama. yang mutlak merupakan bagian hidup manusia. Di sini larangan, sebagai ajaran yang dibebankan (taklif), tidak akan bisa dipikul - dan memang tidak dikehendaki ayat ini. Kedua, perselisihan yang memang dimaksudkan ayat, yakni yang bisa dihindari.
Yang pertama adalah ketidaksepakatan dalam pandangan dan pendapat. Dengan bagus tokoh reformis ini berkata,”Keseragaman manusia dalam pikiran dan pendirian adalah hal yang tidak akan bisa dicapai dan tidak bisa diinginkan” . Termasuk ketidaksepakatan dalam masalah furu’ seperti disebut Qurthubi. Tetapi juga, tentunya, perpecahan agama dikalangan Yahudi dan Nasrani seperti disebut Ibn Mas’ud - yang mestinya juga tidak bisa dihindari. Hanya memang, penyebutan kedua kalangan itu oleh ibn Mas’ud dimaksudkan sebagai contoh yang sendirinya mengandung penilaian. Dan kalau begitu, yang terjadi pada Yahudi dan Nasrani - menurut judgement tersebut -ialah bercampunya ketidaksepakatan jenis pertama itu dengan yang menurut Abduh merupakan jenis kedua. Yakni “perpecahan yang disebabkan oleh hawa nafsu dalam hal agama dan hukum - hukum”. Yang kedua ini dikatakannya, bahayanya karena ia ”menghapuskan lambang-lambang petunjuk” yang sedianya menjadi tempat kembali kapan saja orang berusaha “mengikis segi-segi negatif yang (secara potensial juga) berada dalam ketidaksepakatan jenis pertama.”
Abduh memberi contoh dari kalangan umat Islam sendiri, khususnya di masa hidupnya di peralihan abad-abad ke-19 sampai 20; sementara para imam fikih saling berbeda pendapat dengan santai, wajar, dan rukun, umat di belakang hari menyandarkan diri pada nukilan-nukilan dari madzhab mereka masing-masing-tetapi bukan jalan hidup mereka. Disitu hawa nafsu menjadi hakim dalam agama, dan fanatisme antar madzhab menyeruak. ”Lambang-lambang petunjuk” sudah terhapus oleh nafsu.
Karena itu Abduh menggariskan sikap ini: ”Sepanjang seseorang muslim tidak mengabaikan nas-nas Kitabullah dan penghormatan kepada Rasul s.a.w., dia berada dalam keislamannya, tidak kafir dan tidak keluar dari jama’ah muslimin. Tetapi bila hawa nafsu menjadi hakim, lalu saling mengutuk dan mengkafirkan maka siapa yang melontarkan tuduhan akan pulang dengan tuduhannya kepada dirinya, seperti disebut di dalam hadits”.
Semua setuju, meskipun ungkapannya ”tidak mengabaikan nas-nas kitabullah” dan seterusnya tidak mengandung pengertian sesederhana yang diinginkan. Misalnya sebagaian mufasir, dalam menerangkan ungkapan “dan jangan bercerai-berai”, suka sekali memuat hadits nabi s.a.w. tentang akan berpecahnya umat manusia menjadi 73 golongan - “ semuanya di dalam neraka, kecuali satu ” kata nabi, dan itu tak lain yang berada “ ditempatku berada bersama para sahabatku” (menurut ibn ‘Umar r.a. dalam riwayat Turmudzi), atau ‘jama’ah”, alias kesatuan besar (menurut sumber Mu’awiyah r.a. dalam riwayat Abu Dawud).
Qurtubi mencoba mencocokkkan kenyataan lapangan dengan jumlah 72 golongan yang dinyatakan tidak selamat itu. Hasilnya; ada enam kelompok “sumber kesesatan”, yang masing-masing pecah menjadi 12. Dari 6 menjadi 12.
Dari kalangan syi’ah/rafidah/imamiyah, misalnya, memang disebutkannya kelompok yang mengkafirkan seluruh umat yang berbaiat kepada selain ‘Ali r.a. atau mengutamakan siapa pun di atas Ali . Tetapi tidak dimuat anggapan ‘imam-imam maksum” lebih mulia daripada para nabi. Juga yang menuduh Al Qur’an sebagai tidak asli. Jangankan lagi aliran-aliran yang tumbuh sesudah masa hidup Qurtubi (Cordova, w. 671 H.), seperti Ahmadiyah Qadiyani, yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai “nabi tanpa syari’at” yang menerima wahyu, disamping sekaligus Imam Mahdi dan Al masih yang turun kembali. Nah yang manakah, menurut Abduh, yang bisa dan tidak bisa masuk dalam ungkapannya yang umum tersebut; ”Berada dalam keislamannya, tidak kafir, dan tidak keluar dari jama’ah muslimin’.
Kronologis Konflik Di Desa Hargomulyo Kokap
Suhardi mendapatkan selebaran tentang fatwa ulama’ dari pamannya, Bapak Mawardi dan diperbanyak oleh dia menjadi beberapa lembar. Isi dari fatwa tersebut adalah tentang dikeluarkannya fatwa ulama’ dari jombang tentang tidak diperbolehkannya atau salahnya amaliyah tahlilan, tawasul, al berzanji, sholat tarawih 23 roka’at, do’a qunut pada sholat subuh, dan sholawat nariyah. Selebaran fatwa tersebut kemudian ditempelkan di balai desa Hargomulyo, disebarkan kepada orang Muhammadiyah, orang ‘awam, acara syawalan / halal-bihalal idul fitri tahun 2006 di balai desa Hargomulyo. Di daerah dusun Tangkisan III yang mayoritas adalah warga Nahdiyyin tidak terima dengan penyebaran selebaran tersebut dan meminta ketua NU Hargomulyo untuk menelesaikan masalah tersebut. Kemudian ketua NU Hargomulyo (Nurcholis Sujarwo) beserta Najih (Ketua NU kecamatan Kokap), Suratijo (Wakil NU), mendatangi ke rumah Suhardi tentang penyebaran foto kopi fatwa ulama’ Jombang tersebut. Suhardi menjawab supaya orang Islam di desa Hargomulyo wawasannya luas. Najih sebagai orang NU merasa penyebaran selabaran tersebut sebagai pelecehan terhadap jama’ah NU. Di dusun Tangkisan II diisukan akan terjadi penganiayaan terhadap Suhardi. Suhardi meminta maaf atas kesalahannya, akan tetapi menurut Najih tidak bisa semudah itu, akan tetapi bermasalah dengan jama’ah Nahdiyyin. Najih meminta Suhardi mendatangi jama’ah jum’at di seluruh Hargomulyo, dan meminta maaf di depan jama’ah jum’at tentang kesalahan menyebarkan pamflet fatwa ulama’ jombang tersebut. Beberapa hari sesudahnya Kepala Desa Hargomulyo mengumpulkan pihak yang berkonflik dan diadakan pertemuan Rembug Warga. Pertemuan rembuk warga dihadiri Suhardi, kepala desa beserta staff, tokoh mayarakat, BPD, warga masyarakat, tokoh agama, polisi, dan militer. Dalam rembug warga tersebut pihak Kepala Desa menginginkan masalah ini jangan diperpanjang. Akan tetapi, menurut Najih masalah sudah selesai dan tingal menjalankan amanat. Menurut Najih masalah ini sudah menuju SARA, dan sudah dikonsultasikan ke pengacara, dan dapat dimeja hijaukan. KH. Abdullah Syarifuddin (selaku Rois Suriah NU kabupaten Kulon Progo) mengatakan bahwa fatwa tersebut tidak bisa dibuktikan penulisnya karena nama Kyai itu tidak ada dan sudah meningal akan tetapi bukan Kyai ataupun ulama’, hanyalah masyarakat Islam biasa. Jadi fatwa tersebut palsu. Dalam rembuk Desa tersebut disepakati bahwa Suhardi diminta membuat pernyataan secara tertulis dan ditempelkan di Masjid seluruh Hargomulyo. Khusus dusun tangkisan III (tempat Suhardi tinggal) diharuskan meminta maaf secara lisan di depan jama’ah sholat jum’at. Kemudian Suhardi meminta maaf di depan jama’ah sholat jum’at di Masjid Miftahul Huda Tangkisan III dan lewat tulisan di setiap masjid di desa Hargomulyo.
Mediasi Javanis Culture
Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi court (pengadilan). Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit agama dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach. Tahap keempat memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng. Di tahap pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian antar masyarakat agama yaitu antara personal Muhammadiyah dengan warga Nahdiyyin Hargomulyo yang hampir saja menimbulkan kekerasan (violence) fisik dan psikologis sehingga pengusung resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Tahap ini masih berurusan dengan adanya konflik khilafiyah tentang masalah tahlilan, tawasul, al Berzanji, sholat tarawih 23 roka’at, do’a qunut pada sholat subuh, dan sholawat nariyah, sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus melibatkan mediasi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dengan pendekatan budaya Jawa. Berjalan tidaknya mediasi dua syarat, yaitu diundang oleh kedua belah pihak dan dibutuhkannya oleh kedua belah pihak. Proses resolusi konflik khilafiyah dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik.
Kajian tentang entry point ini didominasi oleh pendapat Zartman (1985) tentang kondisi “hurting stalemate”. Saat kondisi ini muncul, pihak-pihak yang bertikai lebih terbuka untuk menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan yang meningkat, terutama berhadapan dengan adagium HAM (Human Right) tentan violence. Pendapat ini didukung oleh Bloomfied, Nupen dan Haris . Namun, ripeness thesis ini ditolak oleh Burton yang menyatakan bahwa “problem-solving conflict resolution seeks to make possible more accurate prediction and costing, together with the discovery of viable options, that would make this ripening unnecessary”. Dengan demikian, entry point juga dapat diciptakan jika ada pihak ketiga yang dapat menurunkan eskalasi konflik, Untuk Kasus Konflik Khilafiyah di desa Hargomulyo dilakukan oleh tokoh agama yang dituakan dan paling dihormati sehingga memiliki otoritas untuk ditaati oleh seluruh anggota masyarakat .
Aplikasi empirik dari problem-solving approach ini dikembangkan oleh misalnya, Rothman yang menawarkan empat komponen utama proses problem-solving. Komponen pertama adalah masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal. Dalam hal ini telah diadakan mediasi dengan pihak sesepuh (tetua) masyarakat Hargomulyo, yang dalam hal ini adalah KH Abdullah Syarifuddin (Rois Syuriyah NU Kulon progo) dan Ahmad Sanusi (mantan DPRD PPP Yogyakarta), akan tetapi syarat mediasi tidak terpenuhi dan justru merupakan langkah arbitrase. Komponen kedua adalah masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul selama konflik, dan kendala-kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi konflik. Komponen ketiga adalah kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan untuk mengkomunikasikan signal-signal perdamaian. Komponen terakhir adalah problem-solving workshop yang berupaya menyediakan suatu suasana yang kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik dalam hal ini dilakukan dengan membuat pengajian umum setiap ahad legi (nama hari dalam hitungan per - lima hari sekali pasaran dalam budaya Jawa) dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat Hargomulyo baik jamaah Nahdiyyin dan warga Muhamadiyah.
Resolusi Konflik Lanjutan
Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi dan tahap konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural.
Tahap pertama tidak aplikatif dan tahap kedua dari proses peace-building adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas tersebut.Dalam kasus ini hampir terjadi kekerasan fisik. Rekonsiliasi harus merujuk kepada Al Qur’an surat Al Maidah ayat 8, tentang sikap adil dalam menentukan suatu perkara.
يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al Maidah: 8).
Tahap terakhir dari proses peace-building adalah tahap konsolidasi. Dalam tahap konsolidasi ini, semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah “Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem”. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan penganiayaan/bersenjata/pembakaran serta mengkonstruksikan proses perdamaian langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai. Terutama masyarakat Muhammadiyah dan Nahdiyyin di desa Hargomulyo Kokap Kulon Progo.
Dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan. Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini (early warning system, ) Sistem peringatan dini ini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk mengelola konflik. Sistem peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy yang oleh Lund didefinisikan sebagai: “preventive diplomacy, or conflict prevention, consists of governmental or non-governmental actions, policies, and institutions that are taken deliberately to keep particular states or organized groups within them from threatening or using organized violence, armed force, or related forms of coercion such as repression as the means to settle interstate or national political disputes, especially in situations where the existing means cannot peacefully manage the destabilizing effects of economic, social, political, and international change”.
Kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakt agama yang melibatkan seluruh organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah, Majlis Tafsir Al Qur’an dan seluruh tokoh masyarakt dan Aparat pemerintahan di berbagai tingkat eskalasi konflik . Aktor-aktor resolusi konflik dapat saja melibatkan Government seperti Penyuluh Agama Islam, Non-Governmental Organisations (NGOs), seperti Kontras, LBH, mediasi center, mediator internasional , atau institusi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah.
Tulisan ini telah berusaha menghadirkan empat tahap resolusi konflik. Keempat tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk mencapai tujuan disatu tahap akan berakibat tidak sempurnanya proses pengelolaan konflik di tahap lain. Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan kekerasan struktural di suatu komunitas. Penyelesaian secara kultural dapat dilakukan dengan rembug warga, sholat berjama’ah bergantian di setiap masjid, safari jum’at, safari taraweh dan halal bi halal bersama, kompetisi olah raga antar anak-anak komunitas Muhammadiyah dengan masyarakat Nahdiyyin. Konsep peer reconsiliation sangat perlu untuk kasus khilafiyah.
Kesimpulan
Kekerasan atas nama agama yang mengklaim bahwa kebenaran adalah milik segolongan keagamaan adalah sebuah potensi besar untuk terjadinya penindasan dengan dibarengi dengan kekerasan. Kasus khilafiyah di desa Hargomulyo merupakan bukti jelas bahwa penyebaran fatwa palsu yang tidak melihat kondisi sosial masyarakat Hargomulyo menjadikan aparat pemerintah terkesan kecolongan ataupun membiarkan potensi konflik terjadi secara horisontal. Imbauan yang hanya bernada retorika tanpa tindakan pencegahan dan monitoring yang intens hanyalah langkah sia-sia dalam resolusi konflik. Langkah peace building memerlukan usaha yang cukup keras mengingat konflik klasik maslah khilafiyah bisa terus berulang tanpa mengenal waktu. Proses healing relationship harus dimulai oleh komunitas keagamaan yang melakukan pencideraaan, dikarenakan jama’ah Nahdiyyin secara konsep kenegaraan dan HAM (Hak Asasi Manusia) telah tersakiti atau menjadi victim. Hanya dengan langkah konsisten dan sungguh-sungguh dengan melihat bingkai pluralitas keindonesiaan konflik keagamaan akan tidak terulang kembali, di tingkat RT, RW, Desa , Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Kotamadya, Provinsi, dan Negara Indonesia seperti contoh hinaan Gus Dur terhadap Habib Rizieq dan dibalas hinaan Habib Rizieq terhadap Gus Dur baru –baru ini di bulan Juni 2008.Wallahu a’lamu bishowab.




DAFTAR PUSTAKA
Aall, Pamela. “Nongovernmental Organizations and Peacemaking” dalam Crocker, Chester A (et.al)(eds.). Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict (Washington, D.C.: USIP Press, 1996).
Al Qurtubi, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al Anshari, Al Jami’ li-Ahkamil Qur’an, Darul Kitabil ‘Arabi, Kairo 1387 H (1967 M.)
Anderson, Mary B.. “Humanitarian NGOs in Conflict Intervention” dalam Crocker, Chester A (et.al) (eds.). Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict (Washington, D.C.: USIP Press, 1996).
Bloomfield, David., Nupen, Charles., dan Haris, Peter. “Proses-proses Negosiasi” dalam Haris, Peter dan Reilly, Ben. (eds.). Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Negosiator (Jakarta: International IDEA, 2000).
Burton, John. Conflict: Resolution and Provention (London: MacMillan Press, 1990).
Crocker, Cherster A.. “The Varieties of Intervention: Conditions for Success” dalam Crocker, Chester A (et.al)(eds.). Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict (Washington, D.C.: USIP Press, 1996).
HAA. Dahlan dan M Zaka Al Farisi (ed.), Asbabaun Nuzul, Bandung; Penerbit Diponegoro. 2000.
Jabri, Viviene. Discourse on violence: Conflict analysis reconsidered (Manchester: Manchester University Press, 1996).
Kriesberg, Louis. Constructive Conflict: Form Escalation to Resolution (New York: Rowman & Littlefield, Publ., 1998).
Loescher, Gil dan Dowty, Alan. “Refugee Flows as Grounds for International Action” International Security, Vol.2, No.1 (Summer 1996).
Miall, Hugh. (et.al.). Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola da Mengubah Konlik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, terj. Tri Budhi Sastrio (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000).
Pirie, Andrew J., Alternative Dispute Resolution, Skill, Science, And The Laww, 2000.
Rasyid Ridha, Tafsirul Qur’anil Hakim (Tafsir Al manar), Darul Ma’rifah, Beirut, tt.
Reily, Ben. “Katup-katup Demokratis bagi Pengelolaan Konflik” dalam Haris, Peter dan Reilly, Ben. (eds.). Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Negosiator (Jakarta: International IDEA, 2000).
Rothman, J. From Confrontation to Cooperation: Resolving Ethnic and Regional Conflict (Newbury Park, CA: Sage, 1992).
Sampson, Cynthia. “Religion and Peacebuilding” dalam Zartman, William I. dan Rasmussen, J,L.. Peacemaking in International Conflict: Methods and Techniques (Washington, D.C.: USIP, 1997).
Wawancara dengan Nurcholis Sujarwo, Ketua ranting NU desa argomulyo Kokap Kulon Progo pada hari selasa 17 Juni 2008 di desa Hargomulyo. Nurcholis sujarwo adalah orang yang terlibat konflik
Widjajanto, Andi. “Dinamika Keamanan Pasca Orde Baru”, Global: Jurnal Politik Internasional, Vol.1, No.7, (Februari 2001).
Wight, Martin. International Theory: The Three Traditions (London: Leicester University Press,, 1996).
Zartman, William I. dan Touval, Saadia. “International Mediation in the Post-Cold War Era” dalam Crocker, Chester A (et.al)(eds.). Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict (Washington, D.C.: USIP Press, 1996).
Zatman, William I. Ripe for Resolution: Conflict and Intervention in Africa (New York: Oxford University Press, 1985).

06 June 2008

FPI , PERGERAKANNYA DAN TRANSFORMASI NASIONAL






FPI , PERGERAKANNYA DAN TRANSFORMASI NASIONAL

Muqoffa Mahyuddin[1]

Pendahuluan

Masyarakat kita sekarang sedang mengarah pada apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai masyarakat tertutup. Tanda-tanda itu paling tidak bisa dibaca dari empat kecenderungan, yaitu kembali menguatnya kekuatan magis, tribalisme, pengelompokan-pengelompokan yang eksklusif, serta anti ilmu. Fatwa MUI terakhir yang menolak paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme telah sedikit banyak membuktikan itu. Dan ini tentu sangat berbahaya. Terdapat gerakan yeng bercirikan kekerasan dalam gerakannya-yang juga dianggap kelompok Islam radikal, meliputi FPI (Front Pembela Islam), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Pemuda Indonesia (GPI), Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), serta organisasi ekstra kampus semisal Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Hal tersebut terjadi karena peluang yang lebih besar dari pemerintah untuk berkembangnya gerakan-gerakan tersebut. Nick Crossley menyebutkan bahwa aktivias sebuah gerakan sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat. Terdapat faktor lain yang memepengaruhi aktivitas gerakan seperti jaringan (network), sumber daya (recources), frames (bingkai), peluang politik (political opportunity). Peluang (political opportunity) merupakan faktor yang dominan sekaligus sentral dalam mempengaruhi aktivitas gerakan[2]. Font Pembela Islam mempunyai atribut pentungan, pedang dan baju jubah berwarna putih dan selalu merazia tempat penjualan miras, night club, perjudian, prostitusi (yang semuanya merupakan tempat maksiat). FPI merupakan gerakan yang besifat eksklusif, bergerak dengan jargon anti kemaksiatan dan anti Amerika.

Terbentuknya FPI

Front Pembela Islam (FPI) adalah bentukan TNI “hijau" (Istilah ini populer di tahun 1998-2000, Jenderal TNI tersebut dekat dengan tokoh-tokoh politik Islam). Asal muasal FPI adalah Pam Swakarsa, kemudian dimobilisir oleh tantara dan polisi untuk menghadang gerakan / demonstrasi Mahasiswa di Senayan Jakarta. Di saat-saat terakhir, para panguasa memberi perintah, Pam Swakarsa ditarik mundur. (Kejadian tersebut, akhirnya jadi perselisihan para jenderal. Jenderal Kivlan Zein mengaku mengumpulkan Pam Swakarsa tersebut disatujui oleh Wiranto).

Struktur Organisasi Front Pembela Islam

FPI muncul dalam tahun 2006, menyusul Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), organisasi serupa pimpinan Ahmad Sumargono. FPI agak berbeda dengan KISDI, karena organisasi yang terakhir ini memiliki pasukan milisi bersenjata (senjata tajam dan pentungan). Milisi FPI, seperti layaknya organisasi militer, para anggotanya juga memiliki tanda kepangkatan. FPI juga dikenal dekat dengan sejumlah kalangan jenderal Angkatan Darat seperti Panglima Kostrad Letjen TNI Djadja Suparman (yang kemudian menghubungkannya dengan Jendral TNI Wiranto), Mayjen TNI Kivlan Zein, Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim, Kasum TNI, Letjen TNI Suaidi M, Wakil Panglima TNI, Jenderal TNI Fachrul Rozi dan lain-lain. FPI juga dekat dengan pejabat kepolisian Jakarta yakni mantan Kapolda Metrojaya, Mayjen Pol Noegroho Djajoesman. FPI juga dekat dengan orang-orang di seputar Jendral TNI (Purn) Soeharto. Di masa Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto masih aktif di TNI, FPI (begitu juga KISDI) adalah salah satu binaan menantu Soeharto itu. Namun, setelah Prabowo jatuh, FPI kemudian cenderung mendekati kelompok Jendral Wiranto yang uniknya, saat itu, tengah bermusuhan dengan kelompok Prabowo. Inilah keunikan lembaga itu. Namun, dari dua hal itu bisa ditarik kesimpulan bahwa FPI memang memilih mendekati kelompok militer yang kuat yang bisa diajak bekerjasama dalam perebutan pengaruh politik. Sejumlah aksi FPI yang mendukung tentara misalnya: aksi tandingan melawan aksi mahasiswa menentang RUU Keadaan Darurat yang diajukan Mabes TNI, 24 Oktober 1999. Ratusan milisi FPI bersenjata pedang dan golok hendak menyerang mahasiswa yang bertahan di sekitar Jembatan Semanggi, Jakarta Pusat, namun bisa dicegah polisi. Aksi kedua ketika ratusan milisi FPI yang selalu berpakaian putih-putih itu menyatroni Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memprotes pemeriksaan Jendral Wiranto dan kawan-kawan oleh KPP HAM. Milisi FPI yang datang ke kantor Komnas HAM dengan membawa pedang dan golok itu bahkan menuntut lembaga itu dibubarkan karena dianggap lancang memeriksa para jendral itu. Berikut struktur organisasi FPI dan orang-orang yang menduduki jabatan dalam struktur dari organisasi yang dikenal tertutup itu.

DEWAN PIMPINAN PUSAT-FRONT PEMBELA ISLAM (FPI)

PERIODE 1998-2003

Ketua Majelis Syura: KH. Muhammad Amin Syarbini, membawahi Para Ketua Dewan yang terdiri dari ; 1. Ketua Dewan Syari'at: Al-Habib Ali bin Sahil, 2. Ketua Dewan Kehormatan: KH. Muhammad Munif, 3. Ketua Dewan Pembina: KH. Ma'shum Hasan, 4. Ketua Dewan Penasihat: KH. Mahmud Sempur, 5. Ketua Dewan Pengawas: KH. Al-Habib Sholeh Al-Habsyi.

Para Ketua dewan ini menjadi penasihat dan pengawas organisasi, mereka memberi masukan pada Ketua Umum FPI: Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab Lc.[3] dan Sekretaris Jendral FPI: KH Drs Misbahul Anam.

Sekjen FPI membawahi bidang:, 1. Ketua Hukum Front: Ust TB Abdurrahman SH, MA., 2. Ketua Investigasi Front: Ust TB M. Sidiq AR., 3. Ketua Badan Ahli Front: Prof. DR. Habib Segaf Mahdi, 4. Ketua Badan Pengkaderan Front: Ust Reza Pahlevi ZA, S.Ag.

5. Ketua Badan Anti Ma'siat Front: Ust Drs. Siroj Alwi, 6. Ketua Badan Anti Kekerasan Front: KH TB Entus Hasanuddin.

Ketua Investigasi Front bertugas mencari informasi, bahkan acapkali menyusupi aksi-aksi mahasiswa dan kampus untuk melihat dan memetakan tokoh-tokoh mahasiswa dan kelompok demonstran. Ketua Badan Anti Maksiat Front adalah 'avant garde' FPI. Badan Anti Maksiat Front terlibat dalam sejumlah aksi, terutama sejak kasus kerusuhan Ketapang dan maraknya demo serta gerakan anti terhadap tempat-tempat yang dikategorikan oleh mereka sebagai tempat maksiat.

Sedangkan Ketua Umum FPI, yang biasa dikenal dengan panggilan Habib Rizieq Shihab dalam struktur organisasi dibantu oleh Ketua I, II dan III, yang masing-masing adalah: Ketua I adalah KH. Drs. Salim Nashir membawahi, 1. Ketua Dept Agama: KH. Drs, Munif Ahmad, 2. Ketua Dept Luar Negeri: Ust Drs. Hasanuddin, 3. Ketua Dept Dalam Negeri: Ust Drs. Ahmad Sobri Lubis, 4. Ketua Dept Bela Negara dan Jihad: Ust Drs. Hasanuddin, Ketua II adalah KH Drs. Oman Syahroni membawahi, 1. Ketua Dept SosPolHuk: KH Drs. Syarillah Asfari, 2. Ketua Dept Dikbud: KH Al-Habib Muhsin Ahmad Alattas, Lc., 3. Ketua Dept Ekuin: Ust Selamet Ma'arif, S.Ag., SE., 4. Ketua Dept Ristek: Prof. DR. Ir. Saerul Alam MSc., Ketua III adalah Al-Habib Abdurrahman Al-Khirid membawahi, 1. Ketua Dept Pangan: KH Drs. Zainuddin Ali Al-Ghozali, 2. Ketua Dept Kesra: KH Drs. Nurzaini Suanda, 3. Ketua Dept Penerangan: Drs. Iskandar Trilaksono, 4. Ketua Dept Kewanitaan: Ust. Dra Nailah Balahmar [4]

Jaringan (Network) FPI

FPI sampai saat ini hanya bekerjasama dengan kalangan Islam yang sealiran dalam gerakannya. FPI dalam membuat jaringan tidaklah mengikuti ormas lain dengan membuat masjid ataupun kantor cabang di tiap kecamatan, akan tetapi lebih menekankan di pinggiran kota yang merupakan tempat paling dekat dengan sarang kemaksiatan. FPI juga dekat dengan para pejabat pemerintah terutama aparat kepolisian dan militer.

Sumber Daya (Recources) FPI

FPI terdiri dari berbagai kalangan mulai petani, pegawai, pedagang sampai pensiunanmiliter ataupun PNS, akan tetapi sangat sedikit dari kalangan mahasiswa, kebanyakan adalah mantan preman yang sudah insaf. Mereka masuk FPI dikarenakan simpatis secara emosional saja Kalangan yang mendominasi FPI adalah pengangguran yang ditingkatkan ghirahnya dalam memperjuanggkan syari’at secara literal Islam di Indonesia.

Frames (Bingkai) FPI

Gerakan – gerakan FPI masih dalam bingkai keindonesiaan tanpa ingin mendirikan negara Islam atau syari’ah. Masih setia dengan kenegaraan Indonesia akan tetapi menginginkan syariat Islam secara literal diterapkan dengan dominan di Indonesia. FPI dalam gerakannya menggunakan bingkai legitimasi normatif secara literal yaitu Al Qur’an dan hadits. Ayat Al Qur'an yang sering dipakai adalah QS. Ali Imran :110; Kamu umat Islam adalah umat tebaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kamu menyuruh berbuat yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentu itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik (QS. Ali Imran:110), dan hadits rasulullah : "Siapa saja melihat kemungkaran maka perbaikilah dengan tangannya, jika dia tidak mampu perbaikilah dengan lisannya, jika dia tidak mampu perbaikilah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman." (Hadits riwayat Bukhari), mereka menganggap ketika pemerintah mandul dalam memberantas kemaksiatan, mereka harus bergerak sendiri (maka perbaikilah dengan tangannya red. ) dalam menghancurkan tempat prostitusi, hiburan malam, perjudian, penjualan miras, yang kadang bertentangan dengan aturan negara.

Peluang Politik (Political Opportunity) FPI

Melihat gerakan-gerakan FPI sampai saat ini peluang FPI untuk masuk ke kancah perpolitikan akan sangat kecil dan mengalami kesulitan dalam merekrut anggota. FPI belum tertarik masuk dalam perpolitikan di Indonesia.[5] Hasil kerja FPI justru banyak dinikmati oleh PKS yang ada di Senayan Jakarta karena partai tersegut yang paling kuat menyuarakan literalisasi ayat-ayat Al Qur'an dalam bernegara dan formalisasi syari'at Islam d.samping PBB.

Aksi-aksi FPI Sepanjang Tahun

FPI mirip mesin diesel dalam melakukan aksi dalam jalur pergerakannya, seakan-akan tidak pernah kekekurangan tenaga atau dana dalam melakukan aksinya. FPI banyak dibantu oleh simpatisan dan penghasilan dari jasa body guard ataupun dept colector perusahaan tertentu. Memang ujung-ujungnya akan dekat dengan bisnis tersebut dikarenakan FPI kebanyakan berasal dari mantan preman yang telah meninggalkan masa lalunya dan lebih tertarik dengan literalisasi Al Qur'an dan hadits. Daftar aksi FPI dapat dilihat dibawah ini. Penulis hanya mengambil yang penting-penting saja.[6]

Tahun 1998, aksi FPI tercatat sepuluh kali melakukan aksi dan investigasi pembantaian kiai dengan dalih dukun santet, mendukung siding MPR 1998, tuntutan pertanggungjawaban orde baru, permohonan maaf golkar sebagai penanggungjawab orde baru, penutupan tempat-tempat maksiat.

Tahun 1999, aksi FPI tercacat duapuluh satu kali melakukan aksi antara lain melakukan permohonan pemeriksaan mantan Menhankam / Pangab RI Jend. (purn) L.B. Moerdani dan kroni-kroninya tentang keterlibatannya dalam beberapa kerusuhan, mengeluarkan sikap netral terarah dalam menghadapi Pemilu 7 Juni DPP-FPI mengeluarkan Fatwa tentang Keharaman Memilih Partai yang Menetapkan Calon Legislatif non-Muslim dalam Pemilu 1999 melebih 15%, Penolakan Calon Presiden Wanita, mengeluarkan Surat Pernyataan tentang bahaya Forkot dan Famred sebagai kelompok mahasiswa kiri Peduli berbagai Kasus Nasional, Penyerahan bantuan ke Ambon sejumlah kurang lebih Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) serta 7 kontainer logistik dan obat-obatan.

Tahun 2000, aksi FPI tercacat duapuluh satu kali melakukan aksi antara lain Tuntutan Peraturan Daerah anti - Maksiat, Tuntutan Pembubaran Komnas HAM, Maklumat Pengembalian Piagam Jakarta, pembebasan Al-Aqsha. Menariknya 24 Desember Presiden RI ke-4, Gus Dur lewat Dialog di SCTV, mengultimatum pembubaran FPI

Tahun 2001, aksi FPI tercacat empat kali melakukan aksi antara lain menuntut MPR/DPR untuk mengembalikan Pancasila sesuai dengan Piagam Jakarta, Terjadi bentrokan antara laskar Jihad Ahlusunnah dan Laskar FPI dengan mahasiswa pendukung terdakwa Mixilmina Munir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dua orang mahasiswa terluka akibat dikeroyok puluhan laskar dan FPI[7]

Tahun 2002, aksi FPI tercacat sepuluh kali melakukan aksi antara lain tanggal 6 November Lewat rapat singkat yang dihadiri oleh sesepuh Front Pembela Islam (FPI), maka Dewan Pimpinan Pusat FPI, mengeluarkan maklumat pembekuan kelaskaran FPI di seluruh Indonesia untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, bulan Desember FPI diaktifkan kembali

Tahun 2003, aksi FPI tercacat tujuh kali melakukan aksi antara lain 18 Desember menurut Ahmad Sobri Lubis, Sekretaris Jenderal FPI, usai bertemu Wakil Presiden Hamzah Haz di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Front Pembela Islam (FPI) akan mengubah paradigma perjuangannya, tidak lagi menekankan pada metode perjuangan melalui gerakan massa dan kelaskaran.

Tahun 2004, aksi FPI tercacat sembilanbelas kali melakukan aksi antara lain menyerbu pekarangan Sekolah Sang Timur sambil mengacung-acungkan senjata dan memerintahkan para suster agar menutup gereja dan sekolah Sang Timur. Front Pembela Islam (FPI) menuduh orang-orang Katolik menyebarkan agama Katolik karena mereka mempergunakan ruang olahraga sekolah sebagai gereja sementara sudah selama sepuluh tahun.

Tahun 2005, aksi FPI tercacat sepuluh kali melakukan aksi antara lain penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Parung Bogor, mengancam akan menyerang Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu, mengusir Jamaat yang akan melakukan kebaktian di Jatimulya Bekasi Timur

Tahun 2006, aksi FPI tercacat tujuh kali melakukan aksi antara lain FPI, MMI dan HTI menyegel kantor Fahmina Institute di Cirebon, 23 Mei FPI, MMI, HTI, dan FUI mengusir KH Abdurrahman Wahid dari forum Dialog Lintas Etnis dan Agama di Purwakarta Jawa Barat, dan sempat memaki "kiai anjing", 25 Mei Front Pembela Islam (FPI) cabang Bekasi, mengepung kantor Polres Metro Bekasi [8]

Fundamentalisme

Aspek praktis agama yang telah membawa pada perselisihan adalah apa yang dinamakan “fundamentalisme Islam”. Di antara umat Islam tidak ada pembicaraan tentang Islam Ortodoks, Islam Modern, atau Islam Fundamental. Istilah “fundamentalisme” secara keliru telah digunakan atas Islam pada umumnya oleh non muslim dan dalam dunia modern istilah ini cenderung berkonotasi politik. Orang dibuat percaya bahwa Islam fundamental “tidak mengizinkan hubungan antar agama dan berusaha mengisolasi dirinya dari agama-agama lain". Persepsi “fundamentalisme Islam” itu dipegang oleh orang-orang dengan latar belakang “Kristen Sekular”. Ini juga menandakan rasa kurang hormat terhadap Kristen.

Disisi lain, ”fundamentalisme” juga telah dipahami sebagai interpretasi restriktif terhadap kitab suci dan ajaran dan sangat suntuk dengan aspek perintah agama, mengabaikan dimensi moral aktivitas manusia bila tidak terdapat rujukan aksplisit yang dapat diamalkan dalam kitab suci berupa etika mengenai situasi yang ada. Pemahaman fundamentalisme atas agama itu berbeda dari respon kreatif agama atas situasi-situasi spesifik dan tantangan-tantangan kemanusiaan. Fundamentalisme lebih mengenai hukum atas ajaran daripada semangatnya. Penulis lebih suka menyebutnya sebagai radikalisme Islam.[9]

Riffat Hassan berkomentar bahwa," mencap berbagai orang sebagai fundamentalis telah menjadi stock-in-trade dalam wacana politik dan jurnalis pada akhir-akhir ini. Beberapa jika tidak sebagian besar–orang yang memakai istilah 'fundamentalisme' dan 'fundamentalis' seolah-olah tidak tahu atau lupa pada konteks khusus Kristen, dimana istilah-istilah iu muncul."[10] Kiranya kutipan dari Riffat Hassan ini ada benarnya, khususnya jika istilah "fundamentalisme" ini diterapkan pada kehidupan beragama kaum Muslim. Sehingga, istilah "fundamentalisme" jika dipakai, memang problematis.

Misalnya, jika meringkaskan gagasan-gagasan pokok mengenai fundamentalisme Kristen yang-seperti dikatakan Djaka Soetapa-berintikan: Pertama, mempertentangkan pernyataan Allah dengan akal manusia; Kedua, mempertentangkan Kitab Suci (Sacred Text) dengan ilmu pengetahuan; Ketiga, mengamankan Kitab Suci terhadap kritik kitab suci, dengan ajaran bahwa Kitab Suci yang "tidak bisa salah"; dan Keempat, mencap orang yang tidak sependapat dengan itu semua sebagai " Kristen yang tidak benar."[11]

Nah, Bila gagasan-gagasan dasar fundamentalisme itu diterapkan ke dalam konteks Islam,[12] maka hasilnya adalah:

Pertama, masalah mempertentangkan pernyataan Allah dengan akal manusia, maka sejak awal, Islam justru sangat mendorong umatnya untuk merenungkan firman Allah dengan akal dan sekaligus juga memperhatikan alam ini sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhan (The sign of God).

Kedua, masalah mempertentangkan Kitab Suci (Sacred Text) dengan ilmu pengetahuan, justru karena akal diberikan tempat dalam kesadaran beragama, maka dalam perkembangan dewasa ini, apresiasi terhadap ilmu pengetahuan malah begitu berkembang dalam Islam. Bahkan, orang islam sangat menyukai dengan ilmu pengetahuan. Nabi s.a.w. sendiri bersabda,"Tuntutlah ilmu (pengetahuan), meskipun sampai ke negeri Cina "(hadits). Apalagi, jika ilmu pengetahuan yang kita pelajari, justru ikut membantu dalam memperjelas keimanan kita kepada Tuhan, maka hal itu justru diperintahkan.

Ketiga, masalah Kitab Suci (bererti Al Qur'an) "tidak bisa salah," maka dalam konteks Islam, statemen ini justru merupakan pandangan umum kaum Muslim. Sehingga, kalau definisi fundamentalisme Kristen ini diterapkan dalam Islam, maka jelas-seperti dikatakan Bernard Lewis, orientalis terkemuka yang ahli Islam -, "Sikap semua kaum Muslim tehadap teks-teks al Qur'an, paling tidak pada prinsipnya adalah fundamentalis."[13]

Keempat, masalah mencap orang yang tidak sependapat dengan itu semua sebagai "Islam yang tidak benar," kiranya hal ini bersifat relatif saja. Sebab kesadaran adanya perbedaan madzhab (aliran-aliran keagamaan) amat menonjol sepanjang sejarah Islam, sehingga paham inklusivisme intra-agama, kurang lebih hidup dalam masyarakat.

Sebenarnya istilah "fundamentalisme" itu sendiri-seperti dikatakan Chandra Muzaffar-untuk pertama kalinya ditransfer ke Asia Barat oleh pers Amerika dalam rangka menggambarkan protes-protes yang menentang Syah Iran pada akhir tahun 70-an.[14]pejoratif, yakni digunakan untuk menyatakan atau menyebut "lawan", bukan untuk menyebut diri sendiri. Cap-cap yang diberikan dengna istilah "fundamentalis" ini adalah: reaksioner, otoriter, tidak masuk akal, literalis, tidak kosmopolit, anti modern, mungkin juga paranoid. Meskipun begitu, istilah "fundamentalisme" pada fenomena Islam-dalam arti sosiologis, bukan jurnalistik-tetap bisa digunakan, asal dengan hati-hati. Karena itu untuk memahami fenomena fundamentalisme dalam Islam, kita perlu memberikan konteksnya. Secara ringkas, fundamentalisme dalam Islam merupakan reaksi keras atas usaha-usaha kalangan liberal Islam dalam rangka memberikan tafsiran baru atas Al Qur'an.[15] Nah, penting sekali untuk membicarakan terlebih dahulu aspek historis liberalisme Islam itu, agar dapat dipahami latar belakang rspon-respon kaum fundamentalis atas ide-ide kaum liberal.[16] Karena itu dalam Islam, istilah fundamentalisme itu selalu berkonotasi

Tugas pertama orang beriman adalah spiritual. Ia harus mengakui bahwa kekuasaan dan prestasi material hanyalah alat bagi kemajuannya, tetapi dalam keadaan apapun ia harus mengutamakan yang bersifat spiritual. Islam berkembang di kalangan masyarakat dan bangsa yang berbeda budaya dan sejarahnya selama empat belas abad yang lalu dan terus tumbuh dan mempengaruhi manusia dalam dunia yang beradab (civilized world). Modernisasi atau pembangunan tidak dipahami sebagai antitesis terhadap Islam, nilai-nilainya tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an. Islam terbuka dan menerima apa yang baik dan kondusif bagi kemajuan manusia dalam seluruh aspek kehidupan, menghormati nilai-nilai seluruh agama dan hanya menentang mereka yang tidak beragama.

Dalam hal ini FPI bisa dikatakan sebagai geraka radikal yang ingin menerapka syari'at dalam kehidupan sehari-hari dengan memaknai teks-teks sici Al Qur'an dan hadits secara literal Hampir mirip fundamentalisme, akan tetapi penulis lebih suka menyebutnya sebagai radikalisme Islam.

Strategi Struktural FPI

Disebut juga sebagai strategi politik. Kata kunci dari srategi struktural ialah pemberdayaan (empowerment), artinya melalui penjelasan mengenai hak-hak warga negara / buruh / petani / pembantu / wanita, diharapkan ada persamaan persepsi yang mampu melahirkan aksi bersama. Tentu saja dalam strategi struktural akan dibentuk aliansi-aliansi antara berbagai kepentingan yang mempunyai persepsi sama. Biasanya para penguasa (politik, ekonomi, ketertiban) alergi terhadap startegi ini. Seolah-olah setiap strategi struktural menganjurkan revolusi. Tentu saja hal tersebut tidaklah benar, sebab ada strategi struktural yang memilih reformasi, evolusi, gradualisme. Pemberdayaan itu bersifat kolektif, artinya harus dikerjakan bersama-sama. Demonstrasi, apel, tabligh akbar, petisi, dan aksi solidaritas ialah cara-cara yang biasa digunakan dalam strategi struktural atau lebih tepatnya DPR jalanan. Keberhasilan strategi struktural hanya berjangka pendek, jika tidak ada usaha berkelanjutan dalam jangka panjang akan sia-sia. Kadang-kadang strategi trusktural ini sering dikotori oleh orang-orang yang tidak sabaran, tidak berpikir sistematis, dan tidak berencana sehingga gerakan bisa terseok-seok, mudah terpuruk, dan amatiran.[17] FPI dalam strategi pergerakannya cenderung mengedepankan strategi struktural, dengan demonstrasi anti maksiat, anti pornografi, anti pornoaksi, anti Amerika, pemberantasan tempat maksiat, penutupan penjualan miras, demonstrasi Tuntutan Peraturan Daerah anti - Maksiat, Tuntutan Pembubaran Komnas HAM, Maklumat Pengembalian Piagam Jakarta, pembebasan Al-Aqsha. Strategi tersebut hanya akan berhasil dalam jangka pendek. Disayangkan strategi structural dalam Islam hanya peka dengan isu-isu abstrak. Orang hanya peka dengan isu-isu, seperti amar makruf nahi munkar, tetapi tidak peka dengan isu-isu kongkret seperti kemiskinan, kesenjangan dan keterbelakangan. Agama hanya dipahami sebagai isu-isu abstrak Melihat strategi FPI tersebut tanpa melakukan strategi kultural yang bercirikan seperti majlis ta'lim, pendirian rumah sakit, lembaga pendidikan, lembaga keuangan, pendidkan budaya, maka FPI akan cepat mengalami kegagalan atau kehilangan energi dalam perjuangan gerakannya, dikarenakan tidak jelas atau konkretnya tujuan yang ingin di capai.

Peran FPI dalam Transformasi Nasional

Transformasi nasional atau pembangunan nasional dewasa ini merupakan tantangan besar negara bangsa di negara-negara muslim. Negara seperti Indonesia tampaknya menghadapi masalah pelik berkenaan dengan ekspresi komunalisme seperti FPI yang kian membesar, dan upaya memelihara integrasi nasional yang baru bisa dicapai setelah perjuangan yang panjang, pahit dan penuh kesulitan-kesulitan. Kesulitan juga terjadi dalam menetapkan pemerintahan yang berdasarkan hukum, membangun kerangka kerja ekonomi untuk distribusi kesejahteraan yang merata dan merekatkan kohesi sosial. Respon pemerintah pada kesulitan ini bervariasi dari tempat ke tempat tetapi respon itu terutama mengambil bentuk untuk rekayasa sosio politik yang teknokratis, konsolidasi ideologi nasional yang lazim, dan dalam beberapa kasus, sekaligus penekanan politik. Secara luas terdapat alat-alat politik yang digunakan untuk menyanggga respon-respon tersebut, dari restriksi individual yang terbatas sampai pada hak-hak politik kelompok. Hasil akhirnya, setiap individu sangat ingin kebebasan berekspresi penuh. Dengan demikian, pemerintah-pemerintah tersebut memutuskan persoalan-pesoalan dasar yang menyangkut kesejahteraan Negara meraka masing-masing tanpa konsultasi yang cukup dengan rakyatnya. Kontrol sosial lama-kelamaan menjadi sulit dilaksanakan, dan dalam jangka panjang, evaluasi korektif semakin lama semakin tidak mungkin diperankan oleh bangsa secara keseluruhan. Keadilan semakin sulit dilaksanakan, dan tindak kekerasan para penguasa semakin kentara. Dalam hal ini banyak bermunculan gerakan-gerakan radikal semisal FPI. Peran FPI dalam transformasi nasional amsih belum kentara diakibatkan gerakannya yang masih kelihatan secara gradual dan kurang terstruktur.

Masalah Pendekatan, Identitas dan Kontinuitas

Dalam situasi negara-negara bangsa gagal untuk mengekang penggunaan kekerasan sebaliknya mempermudah penggunaan kekerasan, gerakan-gerakan Islam seperti FPI akan banyak bermunculan dan akan menghadapi tantangan yang cukup rumit, bisa dicirikan dengan masalah-masalah pendekatan, identitas, dan kontinuitas.

Masalah pendekatan

Dalam memperjuangkan keadilan social, persamaan di muka hukum dan kebebasan berekspresi, gerakan – gerakan ini harus memilih antara pendekatan radikal dan gradual. FPI cenderung melalui pendekatan radikal, cenderung memeksakan tujuan dan keinginan gerakannya tanpa melihat banyak macam gerakan di luar FPI yang berbeda jenis dan tujuan gerakannya.

Masalah Identitas

Mereka juga dihadapkan dengan pilihan yang sulit antara identitas pluralistik (misalnya Nasionalis Muslim Indonesia atau Sosial Muslim Indonesia) dan Identitas Islam yang murni. FPI cenderung dengan identitas Islam yang murni. Identitas pluralistik beresiko banyak melakukan akomodasi dengan unsur-unsur lain yang pada akhirnya aspek Islam yang unik itu hilang dan identitas itu bahkan manjadi semakin non Islami. Di sisi lain, kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Isam hanya akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalaisi nasional warga negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi-koalisi itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akan menciptakan perasaan tidak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme factual, bila bukan separatisme palsu. Tantangan pada saat ini adalah menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan keprihatinan global.

Masalah Kontinuitas

Haruskah gerakan-gerakan ini merumuskan strategi pembangunan alternatif meraka dengan bersama-sama menggunakan strategi parsitipatif dari bawah ke atas (buttom-to-up), atau haruskah mereka memproklamirkan Islam sebagai rencana sosial alternatife tertentu untuk menggantikan perencanaan-perencanaan pembanguan yang ada? Tidaklah mudah untuk memilih antara proses perlahan dan berangsur-angsur pada satu sisi, dan strategi yang radikal dan holistik pada sisi lain.

Dua Aspek Transformasi Nasional

Transformasi nasional mengandung dua aspek. Pertama, terdapat dua perubahan pembagian kerja yang lebih jelas antara sektor-sektor masyarakat yang berbeda. Perubahan dalam struktur sosial itu mengandung perubahan fundamental pada hubungan institusional antara negara dan warga negara individual. Kedua, perubahan itu diperlukan dalam hubungan-hubungan antara tingkatan sosial yang berbeda. Perubahan-perubahan ini mungkin merupakan transformasi yang damai atau mungkin pula suatu pergolakan yang keras. FPI menganut cara dengan pergolakan dengan keras. Hampir semua gerakan Islam sangat memperhatikan aspek ini dan mereka bermaksud untuk menggunakan cara apapun untuk mencapai perubahan tersebut. Niat untuk menggunakan kekerasan itu akan muncul dalam upaya-upaya mereka bila hal itu diperlukan. Sedangkan, satu aksi kekerasan itu akan melahirkan kekerasan balik (counterviolence) yang mungkin lebih hebat. Dan secara tiba-tiba peningkatan kekerasan yang tidak terkontrol pun terjadi.

Untuk menghindari kemungkinan situasi seperti itu, gerakan-gerakan Islam harus mengabdikan diri mereka pada anti kekerasan sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka. Tetapi dapatkah gerakan-gerakan ini membangun sikap tersebut di hadapan begitu banyak kekerasan di negara mereka masing-masing. Mereka harus memulai dengan menyadari bagaimana prubahan social itu terjadi-suatu proses yang secara luas di pahami oleh para penguasa (ruler) juga oleh rakyat (ruled). Seringkali institusi-instistusi sosial ditarik kepada posisi-posisi oposan secara diametris sehingga menciptakan polarisasi yang sangat kentara.

Dua kerangka kerja berikut ditawarkan dengan harapan bisa meredakan situsi-situasi konfrontatif tersebut di atas. Mungkin hal ini bisa berperan sebagai langkah awal menuju anti kekerasan.

(1) Di Negara – negara formal dimana negara Islam formal itu sulit-jika tidak mungkin – dibangun, Islam harus memainkan peran sebagai penjamin martabat melalui program program aksi untuk menjamin keselamatan fisik warga negara secara individual, hak warga untuk melindungi keluarga dan keturunan mereka, keselamatan milik mereka, dan kewajaran dalam profesi mereka. Implementasi jaminan-jaminan ini harus dapat mendukung kesejahteraan material dan spiritual masyarakat. Partisipasi langsung rakyat dalam melakukan paya itu harus didorong melalui aplikasi ajaran Islam sebagai etika sosial bangsa mereka masing-masing. Untuk mengejar tujuan itu, dukungan strategi pembangunan dari bawah ke atas menjadi perlu, termask pertumbuhan perkumpulan-perkumpulan yang bebas untuk meningkatkan standar kehidupan sosio ekonomis sekaligus melindungi hak-hak sosio politik dari sektor-sektor masyarakat yang merugikan, dan untuk mendukung saling menghormati hubungan antar iman (interfaith relation). Kerangka kerja ini mempunyai keuntungan karena kemungkinannya untuk merealisasikan tujuan-tujuannya di dalam bentuk-bentuk negara bangsa belakangan ini.

(2) Pencapaian transformasi nasional harus diletakkan dalam sebuah konteks koalisi nasional dengan kelompok-kelompok yang tidak bermotif religius, misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum, kelompok-kelompok lingkungan dan perkumpulan-perkumpulan yang berupaya membantu teknologi tepat guna bagi daerah-daerah pedesaan. Pendekatan ini memerlukan sikap yang inklusif dari gerakan-gerakan Islam, dengan menekankan persamaan daripada perbedaan-perbedaan jika berhubungan dengan organisasi-organisasi yang berlatar belakang iman selain Islam. Inilah pendekatan sosio cultural pluralistik terhadap demokratisasi dalam konteks yang disebut oleh paa teolog Katholik sebagai strategi pembangunan manusia.[18]

Dengan pendekatan tersebut terlihat bahwa gerakan semacam FPI akan cepat selesai atau pudar dalam perjuangannya. FPI akan kehabisan tenaga atau merubah format gerakan yang kemudian hilangnya ciri khas atau frame gerakannya. Ketika pihak keamanan atau polisi dan militer menjalankan tugasnya dengan konsisten, maka FPI akan kehilangan tujuan gerakannya. Ketika katub kebebasan dibuka dan peluang gerakan terbuka, maka gerakan semacam FPI akan semakin subur dan bermunculan di mana-mana. Akan tetapi ketika hukum ditegakkan dengan benar maka gerakan semacam FPI akan selesai tugas dan tujuan organisasinya. Dapat di prediksikan FPI akan tidak berkembang di negara formal seperti Indonesia.

Kesimpulan

FPI merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan menjalankan syariat Islam secara literal di Indonesia dalam bingkai keindonesian. FPI akan menemukan banyak kendala dalam membesarkan gerakannya dikarenakan radikal dan esklusifitas gerakan itu sendri. Ditambah sumber daya yang kurang memadai menjadikan FPI terlihat sekedar ada tanpa gaung yang kuat. Isu strategis seperti pendidikan, kesehatan, lembaga bantuan hukum, perbankan/baitul mal tidak ditangkap oleh FPI sebagai bentuk gerakannya. Bisa diprediksikan gerakan ini kanIndonesia. menjadi sulit berkembang atau mati ditengah banyaknya jenis gerakan yang ada di

DAFTAR PUSTAKA

Crossley, Nick, 2002, Making Sense of Social Movement, Philadelpia: Open University Press.

Hassan, Riffat "The Burgeoning of Islamic Fundamentalism: Toward and Understanding of Phenomenon," dalam Norman J. Cohen (ed.), The Fundamentalist Phenomenon, A View From Within, A Respon From Without, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1990).

Ka'bah, Rifyal "Modernisme dan Fundamentalisme Ditinjau dari Konteks Islam," dalam Ulumul Qur'an, No. 3, Vol. IV, 1993.

Kuntowijoyo, 2001, Muslim Tanpa Masjid: Tiga Strategi Pergerakan Islam; Struktur, Kultur, dan Mobilitas Sosial, Bandung: Mizan, 2001.

Lewis, Bernad The Political Language of Islam,(Chicago: University of Chichago Press, 1988), hlm. 117.

Muzaffar, Chandra,"Fundamentalist Fallacy," dalam FEER, 23 April 1992.

Mohideen, M Mazahim, 1998, Islam and Nonviolence, Center for Global Nonviolence Planning Project, Mitsunaga Institut for Peace Universiti of Hawai, Honolulu: Universiti of Hawai Press.

Paige, Glen D Ed. Islam and Nonviolence, Center for Global Nonviolence Planning Project, (Mitsunaga Institut for Peace Universiti of Hawai, Honollu, 1998), hlm 178.

Rahman, Fazlur, Islam: Past Influence and Present Challenge, (London: Edinburgh University Press, 1979)

Rahmat, Jalaluddin, "Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas," dalam Prisma, Nomor Ekstra, 1984.

Rachman, Budhy Munawar, Fundamentalisme Islam sebagai Reaksi terhadap Liberalisme Islam," dalam Jurnal Teologi dan Gereja, Penuntun, Vol.3, No. 10, Januari 1997.

Soetapa, Djaka "Asal-usul Gerakan Fundamentalisme," dalam Ulmul Qur'an, No. 3, Vol.IV, 1993.

Wahid, Abdurrahman, 1998, Islam and Nonviolence (Islam Tanpa kekerasan), Yogyakarta: LKIS Yogyakarta,

Data Internet:

http://www.mail-archive.com/baraya_sunda@yahoogroups.com/msg11005. html (2of 5)11/1/2007 1:38:38 PM

http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_aksi_Front_Pembela_Islam (1of12)11/1/2007 1:12:16 PM

http://www.mail-archive.com/wanita-muslimah@yahoogroups.com/msg20615. html (5of 8)11/1/2007 1:27:13 PM

Wawancara dengan Agus Abu Dzar ketua laskar FPI Jateng Yogya di markas besar FPI Jateng Yogya jalan Wates tanggal 17 November 2007



[1] Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, program Studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi Agama dan Resolusi Konflik. Penyuluh Agama Islam fungsional Kandepag Kulon Progo DI Yogyakarta.

[2] Nick Crossley, Making Sense of Social Movement (Philadelpia:Open University Press. 2002), hlm. 109-111

[3] Yang menarik adalah Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab Lc, atau dikenal dengan Habib Rizieq yang pernah dipenjara tersebut sebelum menjadi ketua FPI, bukanlah sosok yang dikenal masyarakat. Habib Riziek pernah belajar di Malaysia akan tetapi tidak diselesaikan. Pengurus FPI dikuasai oleh orang-orang keturunan Arab, yang kebetulan dari keluarga Ahlul Bait (keluarga Rasulullah Saw.), yang mengambil ajaran teologis secara Sunni, bukanlah Syi'ah. Apakah FPI merupakan anderbow dari gerakan kalangan keturunan Arab di Indonesia dalam merebut peluang politik tentunya perlu penelitian lebih mendalam.

[4] http://www.mail-archive.com/baraya_sunda@yahoogroups.com/msg11005. html (2 of 5)11/1/2007 1:38:38 PM

[5] Wawancara dengan Agus Abu Dzar ketua laskar FPI Jateng Yogya di markas besar FPI Jateng Yogya jalan Wates tanggal 17 November 2007. Penulis kesulitan menemui ketua umum FPI Jateng Yogya H. Bambang Tedi , SH. dikarenakan tidak ada di tempat. Mungkin benar teori Nick Crossley bahwa gerakan social sangat terkait dengan legitimasi normative. Apa yang diperjuangkan aktivis Front Pembela Islam (FPI) sesungguhnya berangkat dari legitimasi normatif, dalam konteks ini Al Qur’an dan hadits. Nick Crossley. Loc. Cit. hlm 68.

[6] Penulis mencatat ada hampir 25 aksi FPI tiap bulannya di wikimedia. Hampir tiap hari FPI melakukan aksinya. FPI sepertinya memfokuskan gerakan aksi disamping gerakan ta'lim bagi anggotanya yang intensitasnya sangat sedikit.

[7]) http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_aksi_Front_Pembela_Islam (1 of 12) 11/1/2007 1:12:16 PM

[8]) http://www.mail-archive.com/wanita-muslimah@yahoogroups.com/msg20615.html (5 of 8)11/1/2007 1:27:13 PM

[9] Glen D Paige. Ed. Islam and Nonviolence, Center for Global Nonviolence Planning Project, (Mitsunaga Institut for Peace Universiti of Hawai, Honollu, 1998), hlm 178.

[10] Riffat Hassan, "The Burgeoning of Islamic Fundamentalism: Toward and Understanding of Phenomenon," dalam Norman J. Cohen (ed.), The Fundamentalist Phenomenon, A View From Within, A Respon From Without, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1990), hlm. 158.

[11] Djaka Soetapa,"Asal-usul Gerakan Fundamentalisme," dalam Ulmul Qur'an, No. 3, Vol.IV, 1993.

[12] Tentang fundamentalisme Islam yang menjadi dasar utama tulisan ini, lihat Budhy Munawar –Rachman, Fundamentalisme Islam sebagai Reaksi terhadap Liberalisme Islam," dalam Jurnal Teologi dan Gereja, Penuntun, Vol.3, No. 10, Januari 1997, hlm. 173-192.

[13] Bernad Lewis, The Political Language of slam,(Chicago: University of Chichago Press, 1988), hlm. 117.

[14] Chandra Muzaffar,"Fundamentalist Fallacy," dalam FEER, 23 April 1992 , hlm. 23.

[15] Tentang pentingya penafsiran baru dari kalangan neo-modernisme Islam ini, yang nanti justru memperoleh reaksi keras dari kalangan fundamentalis, bisa dilihat pada Fazlur Rahman, Islam: Past Influence and Present Challenge, (London: Edinburgh University Press, 1979)

[16] Pengantar cukup baik tentang respon kaum fundamentalis atas kaum modernis dan atau kaum liberal Islam ini, lihat Jalaluddin Rahmat, "Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas," dalam Prisma, Nomor Ekstra, 1984. Lihat pula, Rifyal Ka'bah, "Modernisme da Fundamentalisme Ditinjau dari Konteks Islam," dalam Ulumul Qur'an, No. 3, Vol. IV, 1993.

[17] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Tiga Strategi Pergerakan Islam; Struktur, Kultur, dan Mobilitas Sosial, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 115.

[18] Abdurrahman Wahid, Islam and Nonviolence (Islam Tanpa kekerasan), LKIS Yogyakarta, 1998, hlm 75.