06 June 2010

Wara'



WARA’

Oleh: Muqoffa Mahyuddin, SAg.[1]
Penyuluh Agama Islam Kabupaten Kulon Progo

Menurut bahasa menahan  hal yang tidak layak. Dikatakan tawarro’a artinya merasa tidak enak. Al Waro’ juga sesinonim pengertiannya dengan taqwa.
Pengertian wara’ menurut istilah syari’at berasal dari wari’a yari’as, dambil dari materi waro’a mengandung makna mencegah diri dan surut. Al Waro’menurut pengertian bahasa juga berarti memelihara dan mencegah diri terhadap artinya meninggalkan suatu yang meragukan Anda, membuang hal yang membuat anda tercela, mengambil hal yang lebih kuat, dan memaksakan diri untuk melakukan hal dengan lebih hati-hati. Wara’ kesimpulannya ialah menjauhi hal-hal yang subhat dan senantiasa mengawasi detikan hati dan jalannya pikiran.
 Ibnu Taimiyah Rmh. Telah mengatakan sehubungan dengan pengetian wara’. Bahwa wara’ artinya sikap hati-hati terhadap hal yang dikhawatirkan kesudahannya, yaitu hal yang telah diketahui status keharamannya dan juga terhadap hal yang masih diragukan status keharamannya, namun bila ditinggalkan tiada kerusakan yang lebih parah daripada mengerjakannya. Hal ini merupakan syarat yang penting sehubungan dengan sebagai hal yang masih diragukan status hukumnya. Demikian pula halnya dengan ihtiyal (mencari-cari alasan) untuk melakukan hal yang masih diragukan status wajibnya, tetapi pengertiannya berdasarkan sudut pandang ini.
Ibnul Qoyyim rmh. telah mendefinisikan wara’ dengan pengertian  meninggalkan hal yang di khawatirkan akan menimbulkan bahaya dalam kehidupan akhirat nanti. Diantara sarana penghambaan diri dan memohon  pertolongan kepada Allah termasuk pula wara’.
 Sesungguhnya Allah SWT. telah berfirman :
kšr'¯»tƒ ã@ߍ9$# (#qè=ä. z`ÏB ÏM»t6Íh©Ü9$# (#qè=uHùå$#ur $·sÎ=»|¹ ( ÎoTÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×LìÎ=tæ ÇÎÊÈ
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Qs. Al Mu’minun(23):51)
Dalam ayat lain telah disebutkan oleh firmanNYa:
y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ
Dan pakaianmu bersihkanlah,(QS. Al Mudatsir (74): 4)

Yakni bersihkanlah dirimu dari dosa-doa. Dalam ayat ini dipakai ungkapan kinayah (sindiran) untuk menunjukan pengertian diri dengan memakai kata pakaian. Demikianlah menurut sejumlah ulama ahli tahqiq (peneliti) dari kalangan ulama’ tafsir. Perihalnya sama seperti yang dikatakan oleh Ghailan Ats Tsaqafi dalam ungkapan berikut: ”Segala puji bagi Allah, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengenakan pakaian khianat maupun kedoknya.”
Tidak diragukan lagi bahwa membersihkan diri dari berbagai macam najis dan membebaskannya merupakan bagian dari pembersihan yang diperintahkan, karena dengan merealisasikan hal ini, berarti akan menjadi sempurnalah perbaikan amalan dan akhlaq. Makna yang dimaksud ialah bahwa wara’ akan mensucikan hati seorang hamba dari najis dan kotorannya, sebagaimana air dapat mensucikan pakaian dari kotoran dan najisnya. Demikian itu karena di antara pakaian dan kalbu terdapat hubungan yang jelas.
Sesungguhnya Nabi SAW. Telah menghimpun pengertian wara’ dalam suatu kalimat melalui sabdanya;
“Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah bila ia meninggalkan apa yang tidak berkepentingan baginya.”
Pengertian makna haditas ini mencakup anjuran untuk meningglkan sesuatu yang bukan menjadi urusannya, baik yang berupa ucapan, pandangan, pendengaran, pukulan tangan, jalan kaki, pikiran maupun semua gerakan, baik yang lahir maupun yang batin. Kalimat ini cukup memberikan pengertian yang memaskan pengertian wara’.
Ibrahim bin A’dham telah mengatakan : Wara’ ialah meninggalkan setiap perkara yang syubhat, meninggalkan hal yang menjadi urusanmu, dan meninggalkan hal-hal yang tiada artinya.”
Tirmidzi telah meriwayatkan sebua hadits yang berpredikat marfu’:

“Hai Abu Hurairah, jadilah kamu seorang yang memiliki perasaan wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling ahli dalam beribadah!”
Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat taqwa sebelum meninggalkan hal yang tidak mengapa karena khawatir akan terjerumus ke dalam hal yang ada apanya. Salah seorang dari ulama’ mengatakan “Dahulu kami meninggalkan 70 macam perkara yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam perkara yang haram.”
Sehubungan dengan topik wara’ ini terdapat masalah yang sangat penting kaitannya dengan wara’, yaitu masalah ilmu, karena sungguhnya wara’ tidak mungkin dapat direalisasikan tanpa ilmu. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rmh. Telah mengatakan dalam pernyataannya bahwa wara’ dapat direalsasikan dengan sempurna apabila orang yang bersangkutan telah mengetahui hal yang terbaik diantara dua hal yang baik dan hal yang terburuk diantara dua hal yang buruk. Dia mengetahui bahwa hukum syariat itu pada dasarnya dibangun di atas dasar kriteria yang mengacu pada kemaslahatan dan kesempurnaannya atau mengantisipasi tejadinya keusakan dan meminimalisirnya. Karena sesungguhnya barang siapa yang tidak memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang bermaslahat bagi syariat  dan hal-hal yang merusaknya, sudah barang tentu dia tidak mempunyai parameter tertentu terhadap sesuatu yang harus dilakukan an harus ditinggalkannya. Bahkan bisa jadi dia akan meninggalkan hal-hal yang wajib dan justru terjebak ke dalam hal-hal yang diharamkan, dan ironisnya dia menganggap sikapnya sebagai hal yang sesuai dengan citra wara’.
Sebagai contohnya, misalnya seseorang enggan melakukan jihad karena yang diangkat menjadi komandannya adalah orang yang fasiq, lalu dia beranggapan bahwa sikapnya itu adalah wara’ Ketika pasukan kaum muslimin telah dibentuk oleh sang amir di bawah pimpinan panglima yang agak fasiq untuk berjihad melawan orang –orang kafir yang datang menyerang negerinya, seseorang dari yang diserbu untuk bergabung mengemukakan keengganannya dan mengatakan;” Aku tidak mau berjihad di belakang orang fasiq ini. ”Jika demikian, apakah yang bakal terjadi? Sudah jelas pasukan musuh akan mudah mengalahkan pasukan kaum muslimin dan mengacak-acak negerinya.
 Salah seorang dari mereka ayahnya meninggal dunia dengan meninggalkan harta syubhat yang cukup banyak, sementara sang ayah mempunyai banyak utang. Ketika orang-orang datang menagih utang  ayahnya dan meminta hak mereka, dia mengatakan: “Aku enggan membayar utang-utang ayahku dari harta yang syubhat”. “Wara’ seperti ini tiak dapat dibenarkan dan pelakunya adalah orang yang jahil.
Kalau demikian, kebodohan akan membuat seseorang meninggalkan kewajiban, kemudian menganggap  sikapnya sebagai wara’. Dia enggan melakukan sholat Jumu’ah dan sholat berjama’ah di belakang para imam yang sering melakukan perbuatan bid’ah yang tidak menjurus pada kekafiran atau perbuatan yang fasiq, lalu ia menganggap sikapnya sebagai wara’. Dia pun tidak mau menerima kesaksian para hamba Allah atau mengambil ilmu dari orang ‘alim karena pelakunya masih melakukan bid’ah yang tersembunyi, lalu dia menganggap bahwa sikapnya yang tidak mau mendengar kebenaran yang harus didengarnya itu sebagai perbuatan wara’.
Di antara kaidah wara’ ialah apa yang diingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rhm. melalui ungkapannya; ”Terhadap hal-hal yang diwajibkan dan yang disunahkan tidak boleh dilakukan zuhud maupu wara’. Namun sebaliknya, jika menyangkut hal-hal yang diharamkan dan yang dimakruhkan, maka sudah sepantasnya dilakukan sikap zuhud dan wara’ terhadapnya.”
Dalam ungkapan yang lain dia mengatakan pula bahwa wara’ ialah menahan diri terhadap hal-hal yang diharamkan, atau terkadang bisa mendatangkan bahaya alias hal-hal yang subhat.
Dengan demikian, termasuk ke dalam pengertian wara’ sikap antisipasi terhadap perkara yang diharamkan dan juga terhadap perkara syubhat, sebab adakalanya perkara syubhat itu membahayakan. Karena sesunguhnya barang siapa yang menghindarkan dirinya dari perkara yang subhat, berarti dia telah membersihkan harga diri dan agamanya; dan barang siapa yang terjerumus ke dalam perbuatan yang subhat, pasti akan terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan. Perihalnya sama dengan seseorang yang menggembalakan ternaknya di dekat daerah yang terlarang, tak ayal lagi dia pasti akan melanggarnya.
 Adapun bersikap wara’ terhadap hal - hal yang tidak membahayakan atau tidak mengandung resiko yang membahayakan karena dibarengi oleh faktor yang positif mendatangkan manfaat atau dapat menolak bahaya lain yang positif, maka siap seperti ini sama dengan kebodohan dan perbuatan aniaya. Oleh karena itu, terhadap tiga perkara berikut tidak boleh dilkaukan sikap wara’, yaitu hal-hal yang mengandung manfaat yang memadai, kuat, lagi murni, seperti perkara yang murni diperbolekan, perkara yang disunahkan, atau perkara yang diwajibkan. Sesungguhnya sikap wara’ terhadap perkara ini sama dengan kesesatan.
Sebagaia ulama’ ada yang mengklasifikasikan wara’ terdiri dari tiga tingkatan:
1. Bersifat wajib, yaitu menahan diri dari perkara yang diharamkan, dan berlaku bagi semua orang.
2. Enggan melakukan perkara yang subhat, namun yang melakukan hal ini sedikit jumlahnya.
3. Menahan diri terhadap banyak halyang dihalalkan dan membatasinya hanya pada hal-hal yang bersifat primer. Sikap ini hanya dilakukan oleh para nabi, orang-orang yang benar, para syuhada’ (pejuang agama), dan orang-orang yang shalih.

 Dapat disimpulkan dari keterangan di atas bahwa wara’ ialah menahan diri terhadap beberapa hal yang diperbolehkan karena mengandung resiko akan mengakibatkan kelalaian terhadap Allah dan hari akhirat, sedang  sikapnya itu sesuai dengan tuntunan sunnah. Oleh karena itu, sebagai contohnya orang yang bersangkutan tidak enggan untuk menikah dan makan.
Kalau demikian, bererti wara’ ialah menahan diri terhadap hal-hal yang diharamkan, terhadap tiap-tiap pekara syubhat, dan juga terhadap sebagian perkara halal yang jika dilakukan dikhawatirkan akan menjerumuskan diri pelakunya ke dalam perbuatan yang diharamkan. Apabila seseorang hendak menyempurnakan wara’nya karena ingin meraih derajat yang paling tinggi, maka hendaknya dia bersikap wara’ terhadap semua hal yang bukan karena Allah. Selain itu, seandainya seseorang melakuka hal yang diperbolehkan dengan niat yang baik, misalnya makan dengan niat untuk menguatkan diri dalam melakukan ketaatan, tidur dengan niat akan bangun di tengah malam untuk qiyamul lail, serta nikah dengan niat untuk memberi nafkah kepada istri dan beroleh anak, memelihara  kesucian diri, dan memperbanyak kaum muslimin, dan sebagainya,tentuah hal yang boleh ini berubah statusnya menjadi ketaatan dan amal ibadah. Sehubungan dengan hal-hal seperti ini, seseorang tidak boleh bersikap wara’ terhadapnya, melainkan hanya namun bila dilakukan akan menjerumuskannya ke dalam perbuatan yang diharamkan atau melalaikan hatinya dari mengingat Allah dan hari akhirat. Bersikap wara’ terhadap kasus-kasus seperti ini diperbolehkan.
Setiap kali seseorang bersikap wara’, maka semakin cepatlah dia dalam melampauai sirath nanti di hari kemudian, kerena semakin ringan beban yang memeberati punggungnya.
 Derajat manusia berbeda-beda di negeri akhirat nanti sesuai dengan perbedaan derajat kewara’an mereka. Wara’  ialah menjauhi segala keburukan dengan niat yang tulus, giat menabung kebaikan, dan memelihara iman, dan juga menjauhi batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam arti kata seorang muslim harus bersikap waspada jangan sampai mendekati batasan-batasan yang tela ditetapkan oleh Allah, karena sesungguhnya sikap mendekat kepadanya justu akan mendorongnya untuk melampauinya.
Sesungguhnya Allah telah berfirman :
y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3
Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. (QS. Al Baqarah: 187)
y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydrßtG÷ès?
Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. (QS. Al Baqarah: 229)

Batasan-batasan ini dimaksudkan sebagai penghujung perkara halal yang dilarang untuk didekati, dan dari sisi lain  batasan-batasan ini diartikan pula dengan pengertian permulaan dari perkara yang halal, dalam arti kata janganlah kalian melampauai hal-hal yang diperbolehkan oleh Allah bagi kalian dan jangan pula kalian mendekati hal-hal yang diharamkan oleh Allah bagi kalian.

             Faedah wara’;
  1. Terhindar dari azab Tuhan yang Maha Pemurah
  2. Terhindar dari hal-hal yang diharamkan
  3. Dijauhkan dari sikap membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berfaedah
  4. Mendatangkan kecintaan Allah
  5. Do’a yang bersangkutan dikabulkan
  6. Beroleh keridhoan dari tuhan yang maha pemurah
  7. Manusia berbeda – beda tingkatannya di dalam surga nanti sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka dalam hal kewara’an.

Kesimpulan, kendali agama adalah wara’ Seorang ahli fiqih yang zuhud lagi menetapi Sunnah Nabi SAW akan memperoleh pahala yang sangat besar pada hari Pembalasan nanti.
                                                                                    Wates, 7 Juni 2010
]Penulis adalah penyuluh Agama Islam fungsional Kabupaten Kulon Progo, kuliah pascasarjana Studi Agama dan Resolusi Konflik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, disajikan dalam Kultum di Kantor Kemenag Kulon Progo