04 July 2010

Menyongsong Perdamaian dunia dengan Sufisme Islam


Dunia sufi, sebagai inti sari Islam, sebenarnya berpotensi besar untuk berkontribusi bagi terciptanya perdamaian dunia. Dengan menyelami sufisme, umat Islam diharapkan tidak lagi mencerna suatu masalah dari apa yang tampak di
permukaan, tetapi dapat memandang segala sesuatunya dari sisi hakikat. "Melalui sufisme, manusia diajak untuk berserah diri secara total kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa," ujar KH Luqman Hakim (46), pembimbing dan pengajar dunia sufi di Jakarta.
Bagi sufisme, proses menjalani takdir kehambaan merupakan hal penting. Ketika nilai-nilai sufisme sudah dipraktikkan dalam diri, seseorang bisa menjadi semakin spiritualis. "Ia tidak lagi akan kaku di dalam memandang segala persoalan," tutur Kiai Luqman, yang juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Sufi serta jadi pengasuh majelis pengajian sufi di Jabodetabek. Kelenturan di dalam memandang suatu persoalan itulah yang pada akhirnya diharapkan dapat berkontribusi bagi upaya-upaya menciptakan perdamaian dunia.

SP berkesempatan berbincang dengan KH Luqman Hakim di The Wahid Institute, seusai pengajian "Sufi Islam dan Perdamaian Dunia" yang diselenggarakan untuk menyambut ulang tahun ke-4 The Wahid Institute, Senin (8/9) malam.

Apa inti sari pengajaran di dunia sufi, berikut wawancara khusus SP dengan KH Luqman Hakim, sang mursyid sufisme.

Mengapa tertarik menekuni sufisme?
Sufisme adalah pilihan yang tidak ditekuni banyak orang. Dunia sufi itu sebenarnya soal nucleus, yakni inti sari Islam itu sendiri. Spiritnya. Kami mencoba membangun sumber-sumber air yang lebih jernih di Jakarta sebagai wilayah perkotaan, supaya keterasingan seseorang dalam kehidupan per- kotaan tidak membikin dia kian gersang secara spiritual.

Ada ayat yang sering dikutip kaum pluralis, yakni, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujurat:13)".
Isilah li ta'arafu dalam ayat itu maknanya banyak sekali. Tetapi, dalam perspektif sufi, li ta'arafu bukan sekadar kenal-mengenal dan saling mencerdaskan, melainkan juga saling mengenalkan kemakrifatan Allah kepada sesama.

Untuk mengatasi kegersangan jiwa, apa yang bisa dilakukan dengan sufisme?
Ketika jiwa gersang, manusia sedang melesat keluar dari orbit spiritnya. Dia mencoba membangun kerajaan sendiri, atau planet-planet sendiri, di dalam hidup ini. Manusia kemudian terlepas dari fitrahnya.
Dunia sufi adalah dunia paling primordial dalam spirit dunia Islam, yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, yang kemudian disempurnakan para sufi. Saya hingga sekarang masih optimistis, nilai-nilai sufistik adalah nilai-nilai yang bisa mendamaikan dunia. Sebab, sufi memandang segala sesuatu tidak dengan kaku. Misalnya, kotoran bagi orang-orang syariat tentu dipandang sebagai najis yang harus disingkirkan. Tetapi, sufi tidak memaknai kotoran cuma dengan cara seperti itu. Bagi penganut sufisme, kotoran tidak semata-mata dipandang najis, tetapi bisa juga untuk pupuk.

Bisa disimpulkan sufisme memandang segala sesuatu tidak dari tampilan permukaan, tetapi dari hakikat?Dalam wacana sufi ada pengungkapan yang berbunyi semacam ini, "Cahaya para sufi mendahului wacananya". Sementara itu, para ulama cenderung punya pendekatan, "Wacana para ulama dan cendekiawan mendahului cahayanya". Jadi, para sufi berpendapat, bukan karena adanya dorongan 'oh, enaknya saya berkata seperti itu' lalu ia berkata seperti itu, tetapi memang karena sudah seharusnya ia berbicara seperti itu.
Munculnya wacana menjadi bagian sistematik kosakata yang bergantung pada kebiasaan-kebiasaan intelektual seseorang. Kalau dia seorang penyair, kalimat-kalimatnya menjadi syair yang indah. Wacana hanya menjadi semacam screen.

Banyak ulama berpendapat, tasawuf hendaknya didalami jika telah memiliki fondasi syariat yang kuat. Anda sepakat?
Sufisme tidak melakukan pemosisian semacam itu. Manusia kenyataannya adalah satu kesatuan organisme, sehingga baik hakikat maupun syariat, harus berjalan berbarengan. Bagi sufi, manusia mempunyai aspek lahiriah dan batiniah. Apabila berpuasa, misalnya, kita harus ikhlas. Salat juga harus khusyuk. Bagi saya, sufisme berada di wilayah khusyuk, ikhlas, dan rela.
Mendalami sufisme tidak harus dihadapkan pada persoalan manakah yang harus didahulukan, apakah hakikat ataukah syariat. Maka, dibutuhkan seorang mursyid, sang pembimbing yang bisa menata perilaku pertumbuhan batin seseorang dengan Tuhannya, Allah. Di bawah bimbingan seorang mursyid, diharapkan tidak ada konflik antara pikiran dan hati.

Tetapi, bagaimana kita bisa mendalami hakikat sesuatu apabila syariat saja belum sempurna dilaksanakan?
Sepanjang manusia masih terikat ruang dan waktu, aspek lahiriah berupa pelaksanaan syariat memang harus semacam itu. Kalau manusia tidak kenal ruang dan waktu, oleh syariat dia tidak diwajibkan. Misalnya, orang gila, pingsan, atau tertidur, tidak diwajibkan salat.


Kesadaran ruang dan waktu pasti hubungannya dengan aspek fisikal. Tuhan mewajibkan orang salat karena manusia masih berada di dunia. Alam fisikal semesta ini bergantung pada orang salat. Tidak heran apabila ada ungkapan bahwa kiamat akan ditunda sepanjang ada manusia masih menyeru, "Allah, Allah, Allah!"

Salat berbentuk sujud dan rukuk karena memiliki makna-makna luar biasa yang berhubungan dengan gerak-gerik kosmologis dan astrologis, yaitu semesta raya ini. Kalau umat Islam sepakat, bahwa untuk selama satu jam seluruh umat Islam di bumi ini berhenti salat, saya yakin planet-planet di seluruh alam semesta ini akan bertubrukan. Sebab, salat memang aspek lahiriah yang harus ditunaikan. Sufisme itu sendiri hanya ingin mengantarkan, supaya ketika orang salat secara lahiriah, batin dia juga harus ikut salat.

Pencapaian apa yang diharapkan bisa diraih dengan mendalami sufisme?
Sufisme sebenarnya hanya untuk memosisikan kembali bahwa kita, manusia, adalah hamba dengan segala haknya, dan Allah adalah Tuhan dengan segala hak-Nya. Jadi, jangan sampai ada lagi pertanyaan ketika manusia menghadap Tuhan nanti. Sebab, ketika besok kita menghadap Allah, tidak akan ada lagi pertanyaan dari diri kita begitu sampai di hadapan Dia. Yang ada hanya "bengong abadi" dalam transformasi kenikmatan yang terus-menerus.

Penyadaran-penyadaran itu perlu mendekonstruksi cara pandang kemudian. Misalnya, mayoritas umat Islam selalu mengandalkan amal kebajikan. Seakan-akan amal kebajikan itu paspor untuk masuk ke surga. Dunia sufi membongkar hal-hal semacam itu. Dinolkan kembali. Jadi, yang diandalkan manusia itu seharusnya yang menciptakan amal kebajikan, yakni Allah. Yang diandalkan bukanlah amal kebajikan semata.

Penyerahan diri secara total kepada Tuhan apakah tidak cukup dilakukan dengan syariat?Tidak. Ada kalimat Imam Maliki yang mengatakan, "Siapa yang melakukan syariat tanpa tasawuf, dia bisa fasik". Artinya, dia menjadi orang yang keras kepala, sombong, merasa paling hebat dan benar sendiri. Sebaliknya, "Siapa yang bertasawuf tanpa bersyariat, dia akan zindiq". Di situ, kehadiran Tuhan hanya dipersepsikan secara kebatinan belaka. Cuma semata-mata berbekal eling. Sufisme berupaya memosisikan kembali, bahwa jika manusia mengenal Tuhan itu Maha Esa, maka apa hubungan diri dia dengan keesaan Tuhan itu sendiri.

Saya berpendapat, sufisme mengalami penyimpangan kalau dia meninggalkan syariat. Memang, ada orang yang kelihatan tidak bersyariat. Tetapi, hal itu karena dia sudah melesat dari batasan-batasan ruang dan waktu. Ada suasana ekstase. Tetapi, suasana ekstase itu pun merupakan proses, dan bukan sesuatu yang bersifat final.

Bagaimana sufisme Islam bisa berkontribusi bagi perdamaian dunia?
Sufisme adalah salah satu nilai yang kalau dipraktikkan seseorang, maka dia bisa semakin spiritualis apa pun profesinya. Sebab, di dalam sufisme, ada proses perlawanan terus-menerus terhadap diri sendiri. Dari sinilah seseorang membangun paradigma atau cara pandang hidup yang sering kali jadi berbeda.

Ada berbagai nilai yang ingin saya kembangkan dalam literatur-literatur komunitas sufi, misalnya "Doa lebih utama daripada dikabulkan", "Berjuang lebih utama daripada sukses", dan "Beribadah lebih utama daripada pahala". Sebab, orang-orang sering hanya mencari ijabah, pahala, dan sorga. Itu semua adalah nafsu. Bagi sufisme, yang terpenting adalah proses menjalani takdir kehambaan.

Dari sudut pandang sufisme, bagaimana Anda memandang umat Islam di Indonesia saat ini?
Ada posisi umat Islam di negara ini yang mirip orang "kebelet" mau ke kamar kecil. Saking tidak sabaran, ia menggedor-gedor pintu. Islam "kebelet" ini dengan modal pengetahuan dia yang sedikit tentang Islam, ingin agar segala sesuatunya selesai atas nama Islam.

Nah, setelah masuk ke bilik air, ada yang namanya Islam "ngeden" (mengejan, Red). Ia paksakan segala sesuatunya atas nama Islam, tetapi sesungguhnya itu nafsu belaka.

Para sufi sering kali menganjurkan anekdot itu. Ketika ingin menghadap Tuhan, jangan kita seperti orang "ngeden". Orang yang sangat ingin cepat selesai, kepingin instan. Ada ayat yang sering diklaim oleh para penganut Islam "kebelet" ini, yaitu "Masuklah Islam secara kaffah". Tetapi, bagi para sufi, lebih tepat jika anjuran yang disampaikan kepada manusia adalah "Masuklah ke dalam perdamaian secara total".

Mengapa konflik kekerasan banyak terjadi di negara-negara Islam, padahal tidak sedikit di antara mereka yang mengenal sufisme?
Harus diingat, perdamaian semu juga sedang berkembang pesat. Artinya, perdamaian hipokrit. Seakan-akan ada perdamaian. Ini sama halnya dengan demokrasi semu, yakni seakan-akan berdemokrasi. Di dunia Islam juga ada hal-hal semu semacam itu. Maka, saya cenderung menyebutkan, "Masuklah dalam perdamaian secara total", dan bukannya "Masuklah dalam Islam secara kaffah (total, Red)".

Di sini, paradigma perdamaian dalam dunia sufi mengacu pada perilaku. Sebab, hal ini yang akan membangun sebuah peradaban atau kultur. Hal ini harus dibangun melalui pendidikan tentang hak-hak kehambaan. Sebab, dengan kesadaran hak-hak sebagai seorang hamba, manusia akan punya "perasaan memiliki", yang pada akhirnya memunculkan perasaan cinta secara terus-menerus bersama Tuhan.

Melalui kebersamaan dengan Tuhan, kehidupan secara organis akan proporsional. Kalaupun terjadi sesuatu yang menyangkut tindak kekerasan atau antiperdamaian, semuanya akan diselesaikan dengan cara-cara seperti paradigma sufi.

Pendekatan Sufistik

Pendekatan Sufistik
 
Sebuah kitab berjudul “Al-Munqidz minadh-Dhalal” karya Hujjatul Islam Al-Ghazali, Ulama besar abad VI hijriyah, telah mengilhami banyak kesadaran spiritual umat Islam, bahkan masyarakat dunia ketika itu. Makna dari judul itu adalah “Penyelamat dari kegelapan”.
Sebuah wacana yang mengingatkan kita semua, bahwa siklus moralitas manusia, akan menuju titik jenuhnya, dan secara dramatis telah  memasuki abad-abad kegelapan yang mengerikan.
Dalam konteks kebangsaan kita dewasa ini,  bentangan sejarah masa lalu merupakan mosaik yang memantulkan tiga wajah sejarah yang saling memperebutkan hegemoni, tanpa disadari hegemoni-hegemoni itu seringkali membiaskan  gambaran, betapa drama para pemimpin negeri, konstelasi ideologi dan kepentingan pragmatis menjadi warna yang saling bergulungan satu sama lainnya.  Lalu hari ini, tiba-tiba kita sudah berada di hamparan pulau asing, tanpa horison perspektif  dan kaki langit yang jelas. Hari ini adalah kenyataan-kenyataan dari pantulan mosaik yang buram dari masa lalu yang kelam.
Kitab Al-Ghazali itu, tentu saja masih relevan untuk menimbang moralitas kebangsaan kita hari ini, untuk sebuah solusi besar yang mondial. Karena sesungguhnya, masalah-masalah kontemporer dari soal KKN, delegitimasi politik, dan konspirasi masih terus berlangsung.
Di satu sisi, ada lapisan generasi muda yang hendak bangkit mewarnai negeri ini harus tumbuh dengan situasi konflik horisontal dan ideologis, tanpa lahir dari  kandungan “kasih sayang” kebudayaan politik generasi tua, sedangkan di lain pihak, desakan-desakan internasional yang sulit dibendung ketika globalisasi terus menggulung belahan bangsa yang belum sama sekali siap menyongsong suatu abad, dimana hegemoni masyarakat industri semakin liar menancapkan “penjajahan baru”.Tidak hanya generasi muda, tetapi juga generasi tua, tidak bisa bicara banyak, dalam menghadapi tantangan-tantangan internasional seperti itu, mengingat moralitas kebangsaan kita masih berada di dalam proses penyembuhan dari penyakit jiwanya.
Makanya, opini publik mengalami kontaminasi luar biasa, bahkan sampai pada tingkat paling maniak, publik harus memendam kekecewaan yang mendalam, karena lipatan-lipatan peristiwa yang terorganisir, dalam fluktuasi yang bergelombang, tanpa bisa diduga kemana arah angin yang menuntun kapal bersar bangsa ini tertuju. Situasinya sedemikian keruh, saling tumpang tindih peran, karena masing-masing kelompok sesungguhnya berada dalam jurang ketakutan, dengan saling membangun alibi yang sangat instan.

Drama Kemelut

Drama kebangsaan itulah yang menyebabkan hilangnya prioritas kerja besar yang mesti diagendakan, berbalik tanpa skenario ke depan yang menjanjikan, keculai perubahan skenario yang serba mendadak, dan membuat berbagai kebijakan terasa gagap. Padahal ada kata bijak yang sering diungkap oleh para Ulama, “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih”, yang berarti meninggalkan atau membersihkan mafsadah bangsa ini harus diprioritaskan ketimbang reformasi.  Kaidah arif ini sama seperti tergilas oleh usaha reformasi, yang muncul bukan karena sebuah TIB yang merespon masa depan, tetapi lebih sebagai eskapisme  dan kekecewaan atas penidasan  struktural maupun kultural di masa Orba.
Hari ini kita menghadapi tiga masalah besar yang mesti diselesaikan tanpa harus mempertimbangkan lagi toleransi-toleransi politis:
Masalah pertama, adalah robeknya spirit merah putih dalam compang camping sejarah hari ini. Merah putih yang menjadi simbol nasionalisme harus banyak ditarik oleh tangan-tangan ambisi yang sangat kotor: Kalau bukan tangan yang menginginkan merebut merah putih agar tergenggam erat di tangannya, sebagai legitimasi atas kekuasaan yang diraihnya, maka merah putih malah dirobek untuk ditambal dengan warna-warni lainnya atas nama aspirasi publik di negeri yang terbuka peluang-peluang demokrasi dan HAM-nya.
Sementara watak demokrasi TIB sendiri belum mendaratkan dirinya pada landasan kebangsaan yang kokoh, dalam wujudnya yang eksistensial sebagai  demokrasi khas Indonesia, sehingga simbol-simbol ideologis di luar merah putih sangat antusias untuk turut mewarnai bendera nasional kita. Lebih sederhana, sesungguhnya ada masalah ideologis saling tarik menarik antar kekuatan politik di negeri ini, ditambah dengan kekuatan politik non ideologis yang opportunis.
Masalah kedua,  berkait dengan etika dan etos penyelenggaraan negara.  Sampai pada kesimpulan, bangsa kita telah “mati rasa” dengan ungkapan soal etika, mulai dari anak-anak remaja sampai kaum elit di Jakarta.  Kita harus jujur dan terbuka, bahwa “akhlak bangsa” kita telah tersungkur dalam degradasi watak-watak kebangsaan dari bangsa-bangsa di dunia, dalam berbagai sektor kehidupan. Kalau boleh diungkapkan dengan satu kata saja, kita hanya bisa berucap, “Astaghfirullahal  ‘Adzim”, sebagai ungkapan satu-satunya bagi ketidakberdayaan moral kita.
Sebab apa yang disebut sebagai perselingkuhan moral terjadi dimana-mana, di ketiak-ketiak birokrasi,  dibalik kata-kata “perjuangan” di Senayan, bahkan yang paling mengerikan ketika moral dijualbelikan di balik api konflik SARA, lalu dimanage untuk hegemoni kepentingan, tanpa sedikit pun para pelakunya merasa bersalah, karena lembaga peradilan moral kita tak pernah bergeming kecuali hanya terbatas pada  teriakan-teriakan protes atas pelanggaran HAM dan formalisme-formalisme hukum yang bisa dimainkan oleh para pemegang opsi hukum di lembaga peradilan.
Drama moral  kebangsaan ini, kemudian bisa kita lihat dari tiga aspek yang nyata: moral individu, moral publik dan moral aparat negara, yang masing-masing diperlemah oleh sanksi-sanksi moral dalam ketidakpastian hukum. Lalu pertanyaan yang belum bisa terjawab, karakteristik bangsa seperti apakah yang menjadi predikat kita hari ini? Lalu kapankah kita bisa disebut sebagai sosok bangsa yang bangkit dari reruntuhan moral ini?
Masalah ketiga,  mengadapi globalisasi, khususnya paska tragedi Sebelas September lalu hingga bom Bali, sampai krisis Irak, bahkan krisis global baru-baru ini, yang dicemaskan berdampak ke negeri kita, lalu muncul Drama Century yang dahsyat.
Menghadapi globalisasi berarti duduk bersama dalam Tata Dunia Baru, yang sejak awal Indonesia telah dipandang sebagai bangsa dan negara yang tidak begitu penting, sehingga tidak pernah terdengar sedikit pun perjuangan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tentang arah Tata Dunia Baru tersebut. Kalau harus memilih untuk pengambilan keputusan sejarah, bangsa Indonesia lebih memilih menjadi bangsa yang “terhibur” oleh globalisasi, ketimbang sebagai bangsa yang dihargai sama, dengan bangsa-bangsa lain.
Sebagai bangsa yang terhibur, mereka tiba-tiba telah jatuh tersungkur dalam kubangan ekonomi dan mata uang dengan waktu yang singkat dan cepat.  Faktanya, bangsa kita tidak pernah serius dalam soal hubungan internasional, lalu sekali lagi hanya bisa menghibur diri dengan ungakapn-ungkapan yang membius, sebagai  “bangsa besar.”  Bahkan apa sesungguhnya globalisasi itu, kemana arahnya, bangsa kita tidak pernah peduli, karena memang tidak tahu, skenario yang sesungguhnya.

KACAMATA SUFISTIK

Keluar dari tiga masalah besar tersebut, kita  perlu urai masing-masing pendekatan melalui kacamata Sufistik, sebuah pendekatan dimensi moral; terdalam dari pengalaman teosofis kita, agar ada kejernihan nurani dalam memandang dimensi ke-Indonesiaan dari sisi hakiki yang selama ini terabaikan, namun sesungguhnya sangat fundamental.
Untuk solusi benturan psikhologis dibalik tarik-menarik ideologi kebangsaan, dunia Sufi memandang dari proses pergumulan ini dengan dua kaidah Sufi yang tertera dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, Ulama Sufi besar satu abad paska Al-Ghazali, yang cukup relevan.
Kaidah Alhikam pertama, berbunyi, “Tanda-tanda sebuah bangsa terlalu mengandalkan nama besarnya, egoismenya, amaliahnya, adalah hilangnya optimisme masa depan di depan Allah ketika bangsa itu berbuat kesalahan.”
Kaidah Alhikam kedua,  jika ditafsirkan lebih  “berkebangsaan” bisa berbunyi, “Kehendak bangsa yang ingin memasuki dunia serba Ilahi, sementara Tuhan masih memposisikan bangsa itu di wilayah atau alam logika sebab akibat historis, sesungguhnya bangsa itu sedang terseret oleh emosi-emosinya yang masih tersembunyi didalam jiwa bangsa itu.  Dan sebaliknya suatu bangsa yang telah diposisikan Allah untuk memandang perspektifnya dari serba Ilahi, tiba-tiba mereka memaksakan dirinya untuk terlibat dalam alam logika sebab akibat, sesungguhnya bangsa itu sedang berada dalam degradasi derajat kebangsaannya.”
Hikmah Sufi itu, menggambarkan tentang etika penyelenggaraan kekuasaan dan politik di negeri kita, agar kembali pada proporsi pandangan hidup berbangsa yang benar:
Manakah yang dijadikan dasar perjuangan ideologis, religius, hubungan-hubungan strategis dan kultur yang hendak dibangun, mengingat masing-masing saat ini berada dalam tumpang tindih yang satu sama lain saling mengintervensi. Tidak jelas dalam praktek kehidupan berbangsa, mana yang masuk sebagai wilayah Ketuhanan, wilayah kemanusiaan, wilayah interaksi  kebangsaan yang plural, dan mana wilayah serta tarik menarik budaya dan ideologinya.
Dunia Sufi memandang persoalan lebih bersifat deduktif, dari wilayah kedalam hakikat kultural, kemudian diwujudkan dalam kerangka besar kebangsaan, mengingat sejarah kebangsaan kita sesungguhnya mendahului sejarah kenegaraan kita. Sehingga formalisme negara, tidak akan kokoh manakala tidak mendasarkan pada kultur kebangsaannya.
Nasionalisme modern yang  dijadikan wacana Tata Indonesia Baru (TIB) tidak bisa melepaskan diri dari tiga masalah besar sebelumnya: Watak ideologis; Etika penyelenggaraan negara dan Tata Dunia Baru dalam pergumulan globalisasi. Ketiganya muncul dalam kerucut demokrasi yang harus dipraktekkan dalam watak kebudayaan kita, dengan etika-etika dan kepastian hukum yang berlaku.  Jangan sampai kita terjebak oleh arus besar globalisasi tanpa menyertakan perimbangan dari berbagai dimensi kebangsaan kita secara lebih demokratik, mengingat kesepakatan tentang demokrasi yang hendak kita bangun masih dalam perdebatan konstelatif yang panjang.
Misalnya, bagaimana wujud demokrasi dalam praktek birokrasi pemerintahan kita, bagaimana pula model yang akan muncul dalam praktek peradilan kita, bahkan dalam hubungan antar partai dan lembaga-lembaga tinggi negara serta hubungan internasional. Pertanyaan berikut masih harus diselesaikan menyangkut keadilan ekonomi, prinsip-prinsip Hankam yang demokratik, dan hubungan antara daerah dengan pusat dalam kerangka Otonomi Daerah.

TIGA PENDEKATAN

Proses-proses horisontal kebangsaan itu, menurut dunia Sufi diposisikan menjadi tiga konstelasi besar.
 
Pertama,  konstelasi yang berhubungan dengan sistem konstitusi, sistem politik, penegakan HAM serta sistem sosial  yang pluralistik ini. Inilah yang disebut sebagai sistem syar’iyat, dimana lapisan-lapisan dunia lahiriyah berinteraksi untuk kepentingan publik.
Pada sistem syar’iyat, aturan hukum -- namun bukan sebagaimana digerakkan oleh kekuatan-kekuatan  formalisme syariat Islam selama ini – ,  kita berpijak pada gagasan besar membangun kehidupan terbuka, adil dan memihak pada kepentingan rakyat. Pada level inilah Allah swt, memberikan kebebasan kepada publik untuk menentukan kebajikan publiknya, yang kelak memberi penguatan struktural pada sistem politik, penyelenggaraan negara, dan kemakmuran ekonomi rakyat. Inilah yang disebut kaum Sufi dengan penataan kehidupan lahiriyah  (Ishlahudz-Dzowahir).
Kedua, konstelasi  yang berhubungan dengan sistem kebudayaan, penguatan akan keyakinan moral dan akhlak bangsa.  Sistem ini disebut sebagai metode Thariqat, dimana inspirasi teologis menggerakkan etika publik dan individu.  Hubungan teologis dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi, hanyalah hubungan inspiratif, karenanya tidak bisa diformulasikan dalam pasal-pasal formal konstitusi. Kelak secara langsung, hubungan ini akan membentuk watak kebangsaan kita dalam sistem kebudayaan.
Konstelasi ini diperlukan mengingat kultur teologis bangsa kita sangat beraneka, satu sama lain membutuhkan akomodasi yang proporsional.  Tanpa akomodasi kultural seperti itu, demokratisasi yang kita kembangkan akan mengalami kebuntuan moral, karena demokrasi hanya akan menimbang mayoritas dan minoritas untuk menentukan kalah dan menang.  Jika hal demikian diterapkan di negeri ini, kekuatan-kekuatan minoritas akan tertindas oleh diktator mayoritas, sekalipun mayoritas itu mengatasnamakan Tuhan untuk legitimasi politiknya. Cara ini untuk menghindari mafioso minoritas yang ekstrim dalam tata ekonomi dan kekuasaan, sebagaimana telah terjadi di masa Orde Baru dulu.
Etika kebangsaan akan berpijak pada tipikal “Thariqat” ini, yang bia dilaksanakan melalui sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, sistem Diknas kita perlu perubahan reformatorik, bukan saja kualitas dunia kependidikan kita yang telah terdegradasi dari kualifikasi pendidikan internasional, mengingat peringkat kita telah turun derajatnya menjadi urutan sangat bawah, dibanding Vietnam yang sudah berada di urutan ke 40, dan Malaysia di urutan ke 12. Tetapi juga, dunia pendidikan kita telah kehilangan watak keluhurannya dalam membentuk watak budi pekerti generasi muda bangsa ini.
Pendidikan kita tidak memberi garansi moral para calon pemimpin dan politisi untuk memiliki etika, juga tidak menjamin seorang pengusaha dan penguasa bisa bebas dari hasrat KKN. Jika ini dibiarkan akan muncul anarkhisme moral yang sangat mengancam seluruh elemen bangsa ini, ketika moral  hanya dijadikan alibi untuk menipu publik. Masya Allah!
Ketiga, konstelasi hakikat, bahwa seluruh muara membangun kebersamaan dalam berbangsa ini harus didasari oleh sebuah tujuan mulia, yaitu memandang Cahaya Ketuhanan dibalik proses bersejarah, bahwa segala muara bangsa ini dariNya, bersamaNya, menuju padaNya, besertaNya, lebur padaNya, hanya bagiNya dan bersandar padaNya. Jika terjadi sungguh sangat bercahaya bangsa ini.

KHM Luqman Hakim