18 June 2008

KONFLIK FATWA ULAMA’ JOMBANG TENTANG MASALAH KHILAFIYAH DI DESA HARGOMULYO KOKAP KULON PROGO

KONFLIK FATWA ULAMA’ JOMBANG
TENTANG MASALAH KHILAFIYAH
DI DESA HARGOMULYO KOKAP KULON PROGO

Oleh : Muqoffa Mahyuddin

Abstrak
Konflik khilafiyah tentang tahlilan, tawasul, al berzanji, sholat tarawih 23 roka’at, do’a qunut pada sholat subuh, dan sholawat nariyah merupakan konflik kalsik yang banyak terjadi di tahuan 80-an. Konflik tersebut terjadi lagi di tahun 2006. Apakah umat Islam tidak pernah belajar dari sejarah ataukah cara pemahaman Islam yang fanatik masih menyelimuti umat Islam di Indonesia. Masalah khilafiyah yang sudah banyak terjadi pada masa shahabat nampaknya kurang bisa ditransformasikan pada zaman global ini. Cara pemahaman agama dengan satu sudut pandang menjadikan kita buta dan mudah menyalahkan ajaran umat lain. Bagaimana resolusi koflik ketika masalah konflik khilafiyat tersebut pecah. Bagaiamana langkah tepat penyelesaian masalah masyarakat agama tersebut. Bagaimana budaya berperan dalam menyelesaikan dalam konflik agama. Bagaimana rekonsiliasi yang harus merujuk kepada Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 8 tentang sikap adil dalam menentukan suatu perkara dapat diaplikasikan dalam konflik masalah khilafiyah. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al Maidah: 8)


Pendahuluan
Konflik dalam masyarakat agama dapat ditransformasikan menjadi kekuatan untuk membangun persatuan dan silaturahmi yang kuat sehinga tercipta ukhuwah Islamiah. Akan tetapi kesalahan dalam penanganan dan pentransformasian konflik menjadikan konflik dalam masyarakat agama akan berlarut-larut dan tidak mudah diselesaikan. Pememenuhan opportunity space yang merupakan penciptaan peluang ruang untuk berdialog dan menghargai perbedaan adalah langkah rasional dalam penyelesaian konflik masyarakat agama. Di desa Hargomulyo Kokap Kulon Progo pada Idul Fitri tahun 2006 terjadi konflik agama berbasis khilafiyah yang sebetulnya merupakan konflik klasik tahuan 80-an. Dalam konflik tersebut terjadi pengejekan akan amalan ibadah masyarakat yang berbeda organisasi kemasyarakatan. Hampir terjadi prilaku violence dalam konflik tersebut. Bagaiamana resolusi koflik ketika masalah konflik khilafiyat tersebut pecah? Bagaiamana langkah tepat penyelesaian masalah masyarakat agama tersebut? Bagaimana budaya (culture) berperan dalam menyelesaikan dalam konflik agama?
Al Qur’an surat Ali Imran ayat 103 menyebutkan bahasan tentang (wala tafarraqu) ajakan jangan bercerai berai;

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا نعمت الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا وكنتم على شفا حفرة من النار فأنقذكم منها كذلك يبين الله لكم آياته لعلكم تهتدون
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.(QS. Ali Imran:103)
Asbabaun nuzul dari QS. Ali Imran ayat 103 adalah dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika kaum Auz dan Khazraj duduk-duduk, berceritalah mereka tentang permusuhannya di zaman jahiliyah, sehingga bangkitlah amarah kedua kaum tersebut. Masing-masing memegang senjatanya, saling berhadapan. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. Ali Imran: 101-103) yang melerai meraka. (diriwayatkan oleh Al Faryabi dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang Yahudi yang bernama Syas bin Qais lewat lewat dihadapan kamum Aus dan Khazraj yang sedang bercakap-cakapdengan riang gembira. Ia merasa benci melihat keintiman mereka, padahal asalnya bermusuhan. Ia menyuruh seorang pemuda anak buahnya untuk ikut serta bercakap-cakap dengan mereka dan membangkitkan cerita di zaman jahiliyah waktu perang Bu’ats. Mulailah kaum Aus dan Khazraj berselisih dan menyobongkan kegagahan masing-masing, sehingga tampillah Aus bin Qaizhi dari golongan Aus dan Jabbar bin Shakhr dari golongan Khazraj saling mencaci hingga menimbulkan amarah kedua belah pihak. Berloncatlah kedua kelompok itu untuk berperang. Hal itu sampai kepada Rasulullah saw. sehingga beliau segera datang dan memberi nasehat serta mendamaikan mereka. Mereka pun tunduk dan taat. Maka turunlah ayat tersebut di atas.
Ungkapan jangan bercerai-berai di dalam ayat tersebut menunjukkan kepada larangan berpecah belah dalam perkara agama seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nasrani dalam agama masing-masing. Hal tersebut pengertian dari antara lain Ibn Mas’ud r.a. Maski begitu, demikian Al-Qurthubi, itu bukan dalil diharamkannya perselisihan pendapat dalam masalah furu’ (ranting, khususnya di bidang hukum). Para sahabat Nabi sendiri berbeda pendapat dalam soal-soal fiqih yang muncul, sementara mereka tetap harmonis. Adapun yang dilarang adalah perselisihan yang merupakan bencana . Yaitu yang digerakkan nafsu. Tetapi seperti ditunjukkan Muhammad Abduh, kedua-duanya bisa menjadi satu; perselisihan agama itu menjadi perselisihan karena peranan nafsu. Keterangannya: Ada dua macam perselishan - atau, “ketidaksepakatan”. Pertama. yang mutlak merupakan bagian hidup manusia. Di sini larangan, sebagai ajaran yang dibebankan (taklif), tidak akan bisa dipikul - dan memang tidak dikehendaki ayat ini. Kedua, perselisihan yang memang dimaksudkan ayat, yakni yang bisa dihindari.
Yang pertama adalah ketidaksepakatan dalam pandangan dan pendapat. Dengan bagus tokoh reformis ini berkata,”Keseragaman manusia dalam pikiran dan pendirian adalah hal yang tidak akan bisa dicapai dan tidak bisa diinginkan” . Termasuk ketidaksepakatan dalam masalah furu’ seperti disebut Qurthubi. Tetapi juga, tentunya, perpecahan agama dikalangan Yahudi dan Nasrani seperti disebut Ibn Mas’ud - yang mestinya juga tidak bisa dihindari. Hanya memang, penyebutan kedua kalangan itu oleh ibn Mas’ud dimaksudkan sebagai contoh yang sendirinya mengandung penilaian. Dan kalau begitu, yang terjadi pada Yahudi dan Nasrani - menurut judgement tersebut -ialah bercampunya ketidaksepakatan jenis pertama itu dengan yang menurut Abduh merupakan jenis kedua. Yakni “perpecahan yang disebabkan oleh hawa nafsu dalam hal agama dan hukum - hukum”. Yang kedua ini dikatakannya, bahayanya karena ia ”menghapuskan lambang-lambang petunjuk” yang sedianya menjadi tempat kembali kapan saja orang berusaha “mengikis segi-segi negatif yang (secara potensial juga) berada dalam ketidaksepakatan jenis pertama.”
Abduh memberi contoh dari kalangan umat Islam sendiri, khususnya di masa hidupnya di peralihan abad-abad ke-19 sampai 20; sementara para imam fikih saling berbeda pendapat dengan santai, wajar, dan rukun, umat di belakang hari menyandarkan diri pada nukilan-nukilan dari madzhab mereka masing-masing-tetapi bukan jalan hidup mereka. Disitu hawa nafsu menjadi hakim dalam agama, dan fanatisme antar madzhab menyeruak. ”Lambang-lambang petunjuk” sudah terhapus oleh nafsu.
Karena itu Abduh menggariskan sikap ini: ”Sepanjang seseorang muslim tidak mengabaikan nas-nas Kitabullah dan penghormatan kepada Rasul s.a.w., dia berada dalam keislamannya, tidak kafir dan tidak keluar dari jama’ah muslimin. Tetapi bila hawa nafsu menjadi hakim, lalu saling mengutuk dan mengkafirkan maka siapa yang melontarkan tuduhan akan pulang dengan tuduhannya kepada dirinya, seperti disebut di dalam hadits”.
Semua setuju, meskipun ungkapannya ”tidak mengabaikan nas-nas kitabullah” dan seterusnya tidak mengandung pengertian sesederhana yang diinginkan. Misalnya sebagaian mufasir, dalam menerangkan ungkapan “dan jangan bercerai-berai”, suka sekali memuat hadits nabi s.a.w. tentang akan berpecahnya umat manusia menjadi 73 golongan - “ semuanya di dalam neraka, kecuali satu ” kata nabi, dan itu tak lain yang berada “ ditempatku berada bersama para sahabatku” (menurut ibn ‘Umar r.a. dalam riwayat Turmudzi), atau ‘jama’ah”, alias kesatuan besar (menurut sumber Mu’awiyah r.a. dalam riwayat Abu Dawud).
Qurtubi mencoba mencocokkkan kenyataan lapangan dengan jumlah 72 golongan yang dinyatakan tidak selamat itu. Hasilnya; ada enam kelompok “sumber kesesatan”, yang masing-masing pecah menjadi 12. Dari 6 menjadi 12.
Dari kalangan syi’ah/rafidah/imamiyah, misalnya, memang disebutkannya kelompok yang mengkafirkan seluruh umat yang berbaiat kepada selain ‘Ali r.a. atau mengutamakan siapa pun di atas Ali . Tetapi tidak dimuat anggapan ‘imam-imam maksum” lebih mulia daripada para nabi. Juga yang menuduh Al Qur’an sebagai tidak asli. Jangankan lagi aliran-aliran yang tumbuh sesudah masa hidup Qurtubi (Cordova, w. 671 H.), seperti Ahmadiyah Qadiyani, yang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai “nabi tanpa syari’at” yang menerima wahyu, disamping sekaligus Imam Mahdi dan Al masih yang turun kembali. Nah yang manakah, menurut Abduh, yang bisa dan tidak bisa masuk dalam ungkapannya yang umum tersebut; ”Berada dalam keislamannya, tidak kafir, dan tidak keluar dari jama’ah muslimin’.
Kronologis Konflik Di Desa Hargomulyo Kokap
Suhardi mendapatkan selebaran tentang fatwa ulama’ dari pamannya, Bapak Mawardi dan diperbanyak oleh dia menjadi beberapa lembar. Isi dari fatwa tersebut adalah tentang dikeluarkannya fatwa ulama’ dari jombang tentang tidak diperbolehkannya atau salahnya amaliyah tahlilan, tawasul, al berzanji, sholat tarawih 23 roka’at, do’a qunut pada sholat subuh, dan sholawat nariyah. Selebaran fatwa tersebut kemudian ditempelkan di balai desa Hargomulyo, disebarkan kepada orang Muhammadiyah, orang ‘awam, acara syawalan / halal-bihalal idul fitri tahun 2006 di balai desa Hargomulyo. Di daerah dusun Tangkisan III yang mayoritas adalah warga Nahdiyyin tidak terima dengan penyebaran selebaran tersebut dan meminta ketua NU Hargomulyo untuk menelesaikan masalah tersebut. Kemudian ketua NU Hargomulyo (Nurcholis Sujarwo) beserta Najih (Ketua NU kecamatan Kokap), Suratijo (Wakil NU), mendatangi ke rumah Suhardi tentang penyebaran foto kopi fatwa ulama’ Jombang tersebut. Suhardi menjawab supaya orang Islam di desa Hargomulyo wawasannya luas. Najih sebagai orang NU merasa penyebaran selabaran tersebut sebagai pelecehan terhadap jama’ah NU. Di dusun Tangkisan II diisukan akan terjadi penganiayaan terhadap Suhardi. Suhardi meminta maaf atas kesalahannya, akan tetapi menurut Najih tidak bisa semudah itu, akan tetapi bermasalah dengan jama’ah Nahdiyyin. Najih meminta Suhardi mendatangi jama’ah jum’at di seluruh Hargomulyo, dan meminta maaf di depan jama’ah jum’at tentang kesalahan menyebarkan pamflet fatwa ulama’ jombang tersebut. Beberapa hari sesudahnya Kepala Desa Hargomulyo mengumpulkan pihak yang berkonflik dan diadakan pertemuan Rembug Warga. Pertemuan rembuk warga dihadiri Suhardi, kepala desa beserta staff, tokoh mayarakat, BPD, warga masyarakat, tokoh agama, polisi, dan militer. Dalam rembug warga tersebut pihak Kepala Desa menginginkan masalah ini jangan diperpanjang. Akan tetapi, menurut Najih masalah sudah selesai dan tingal menjalankan amanat. Menurut Najih masalah ini sudah menuju SARA, dan sudah dikonsultasikan ke pengacara, dan dapat dimeja hijaukan. KH. Abdullah Syarifuddin (selaku Rois Suriah NU kabupaten Kulon Progo) mengatakan bahwa fatwa tersebut tidak bisa dibuktikan penulisnya karena nama Kyai itu tidak ada dan sudah meningal akan tetapi bukan Kyai ataupun ulama’, hanyalah masyarakat Islam biasa. Jadi fatwa tersebut palsu. Dalam rembuk Desa tersebut disepakati bahwa Suhardi diminta membuat pernyataan secara tertulis dan ditempelkan di Masjid seluruh Hargomulyo. Khusus dusun tangkisan III (tempat Suhardi tinggal) diharuskan meminta maaf secara lisan di depan jama’ah sholat jum’at. Kemudian Suhardi meminta maaf di depan jama’ah sholat jum’at di Masjid Miftahul Huda Tangkisan III dan lewat tulisan di setiap masjid di desa Hargomulyo.
Mediasi Javanis Culture
Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi court (pengadilan). Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit agama dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach. Tahap keempat memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng. Di tahap pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian antar masyarakat agama yaitu antara personal Muhammadiyah dengan warga Nahdiyyin Hargomulyo yang hampir saja menimbulkan kekerasan (violence) fisik dan psikologis sehingga pengusung resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Tahap ini masih berurusan dengan adanya konflik khilafiyah tentang masalah tahlilan, tawasul, al Berzanji, sholat tarawih 23 roka’at, do’a qunut pada sholat subuh, dan sholawat nariyah, sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus melibatkan mediasi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dengan pendekatan budaya Jawa. Berjalan tidaknya mediasi dua syarat, yaitu diundang oleh kedua belah pihak dan dibutuhkannya oleh kedua belah pihak. Proses resolusi konflik khilafiyah dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik.
Kajian tentang entry point ini didominasi oleh pendapat Zartman (1985) tentang kondisi “hurting stalemate”. Saat kondisi ini muncul, pihak-pihak yang bertikai lebih terbuka untuk menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan yang meningkat, terutama berhadapan dengan adagium HAM (Human Right) tentan violence. Pendapat ini didukung oleh Bloomfied, Nupen dan Haris . Namun, ripeness thesis ini ditolak oleh Burton yang menyatakan bahwa “problem-solving conflict resolution seeks to make possible more accurate prediction and costing, together with the discovery of viable options, that would make this ripening unnecessary”. Dengan demikian, entry point juga dapat diciptakan jika ada pihak ketiga yang dapat menurunkan eskalasi konflik, Untuk Kasus Konflik Khilafiyah di desa Hargomulyo dilakukan oleh tokoh agama yang dituakan dan paling dihormati sehingga memiliki otoritas untuk ditaati oleh seluruh anggota masyarakat .
Aplikasi empirik dari problem-solving approach ini dikembangkan oleh misalnya, Rothman yang menawarkan empat komponen utama proses problem-solving. Komponen pertama adalah masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal. Dalam hal ini telah diadakan mediasi dengan pihak sesepuh (tetua) masyarakat Hargomulyo, yang dalam hal ini adalah KH Abdullah Syarifuddin (Rois Syuriyah NU Kulon progo) dan Ahmad Sanusi (mantan DPRD PPP Yogyakarta), akan tetapi syarat mediasi tidak terpenuhi dan justru merupakan langkah arbitrase. Komponen kedua adalah masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul selama konflik, dan kendala-kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi konflik. Komponen ketiga adalah kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan untuk mengkomunikasikan signal-signal perdamaian. Komponen terakhir adalah problem-solving workshop yang berupaya menyediakan suatu suasana yang kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik dalam hal ini dilakukan dengan membuat pengajian umum setiap ahad legi (nama hari dalam hitungan per - lima hari sekali pasaran dalam budaya Jawa) dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat Hargomulyo baik jamaah Nahdiyyin dan warga Muhamadiyah.
Resolusi Konflik Lanjutan
Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi dan tahap konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural.
Tahap pertama tidak aplikatif dan tahap kedua dari proses peace-building adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas tersebut.Dalam kasus ini hampir terjadi kekerasan fisik. Rekonsiliasi harus merujuk kepada Al Qur’an surat Al Maidah ayat 8, tentang sikap adil dalam menentukan suatu perkara.
يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al Maidah: 8).
Tahap terakhir dari proses peace-building adalah tahap konsolidasi. Dalam tahap konsolidasi ini, semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah “Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem”. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan penganiayaan/bersenjata/pembakaran serta mengkonstruksikan proses perdamaian langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai. Terutama masyarakat Muhammadiyah dan Nahdiyyin di desa Hargomulyo Kokap Kulon Progo.
Dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan. Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini (early warning system, ) Sistem peringatan dini ini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk mengelola konflik. Sistem peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy yang oleh Lund didefinisikan sebagai: “preventive diplomacy, or conflict prevention, consists of governmental or non-governmental actions, policies, and institutions that are taken deliberately to keep particular states or organized groups within them from threatening or using organized violence, armed force, or related forms of coercion such as repression as the means to settle interstate or national political disputes, especially in situations where the existing means cannot peacefully manage the destabilizing effects of economic, social, political, and international change”.
Kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakt agama yang melibatkan seluruh organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah, Majlis Tafsir Al Qur’an dan seluruh tokoh masyarakt dan Aparat pemerintahan di berbagai tingkat eskalasi konflik . Aktor-aktor resolusi konflik dapat saja melibatkan Government seperti Penyuluh Agama Islam, Non-Governmental Organisations (NGOs), seperti Kontras, LBH, mediasi center, mediator internasional , atau institusi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah.
Tulisan ini telah berusaha menghadirkan empat tahap resolusi konflik. Keempat tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk mencapai tujuan disatu tahap akan berakibat tidak sempurnanya proses pengelolaan konflik di tahap lain. Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan kekerasan struktural di suatu komunitas. Penyelesaian secara kultural dapat dilakukan dengan rembug warga, sholat berjama’ah bergantian di setiap masjid, safari jum’at, safari taraweh dan halal bi halal bersama, kompetisi olah raga antar anak-anak komunitas Muhammadiyah dengan masyarakat Nahdiyyin. Konsep peer reconsiliation sangat perlu untuk kasus khilafiyah.
Kesimpulan
Kekerasan atas nama agama yang mengklaim bahwa kebenaran adalah milik segolongan keagamaan adalah sebuah potensi besar untuk terjadinya penindasan dengan dibarengi dengan kekerasan. Kasus khilafiyah di desa Hargomulyo merupakan bukti jelas bahwa penyebaran fatwa palsu yang tidak melihat kondisi sosial masyarakat Hargomulyo menjadikan aparat pemerintah terkesan kecolongan ataupun membiarkan potensi konflik terjadi secara horisontal. Imbauan yang hanya bernada retorika tanpa tindakan pencegahan dan monitoring yang intens hanyalah langkah sia-sia dalam resolusi konflik. Langkah peace building memerlukan usaha yang cukup keras mengingat konflik klasik maslah khilafiyah bisa terus berulang tanpa mengenal waktu. Proses healing relationship harus dimulai oleh komunitas keagamaan yang melakukan pencideraaan, dikarenakan jama’ah Nahdiyyin secara konsep kenegaraan dan HAM (Hak Asasi Manusia) telah tersakiti atau menjadi victim. Hanya dengan langkah konsisten dan sungguh-sungguh dengan melihat bingkai pluralitas keindonesiaan konflik keagamaan akan tidak terulang kembali, di tingkat RT, RW, Desa , Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Kotamadya, Provinsi, dan Negara Indonesia seperti contoh hinaan Gus Dur terhadap Habib Rizieq dan dibalas hinaan Habib Rizieq terhadap Gus Dur baru –baru ini di bulan Juni 2008.Wallahu a’lamu bishowab.




DAFTAR PUSTAKA
Aall, Pamela. “Nongovernmental Organizations and Peacemaking” dalam Crocker, Chester A (et.al)(eds.). Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict (Washington, D.C.: USIP Press, 1996).
Al Qurtubi, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al Anshari, Al Jami’ li-Ahkamil Qur’an, Darul Kitabil ‘Arabi, Kairo 1387 H (1967 M.)
Anderson, Mary B.. “Humanitarian NGOs in Conflict Intervention” dalam Crocker, Chester A (et.al) (eds.). Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict (Washington, D.C.: USIP Press, 1996).
Bloomfield, David., Nupen, Charles., dan Haris, Peter. “Proses-proses Negosiasi” dalam Haris, Peter dan Reilly, Ben. (eds.). Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Negosiator (Jakarta: International IDEA, 2000).
Burton, John. Conflict: Resolution and Provention (London: MacMillan Press, 1990).
Crocker, Cherster A.. “The Varieties of Intervention: Conditions for Success” dalam Crocker, Chester A (et.al)(eds.). Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict (Washington, D.C.: USIP Press, 1996).
HAA. Dahlan dan M Zaka Al Farisi (ed.), Asbabaun Nuzul, Bandung; Penerbit Diponegoro. 2000.
Jabri, Viviene. Discourse on violence: Conflict analysis reconsidered (Manchester: Manchester University Press, 1996).
Kriesberg, Louis. Constructive Conflict: Form Escalation to Resolution (New York: Rowman & Littlefield, Publ., 1998).
Loescher, Gil dan Dowty, Alan. “Refugee Flows as Grounds for International Action” International Security, Vol.2, No.1 (Summer 1996).
Miall, Hugh. (et.al.). Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola da Mengubah Konlik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, terj. Tri Budhi Sastrio (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000).
Pirie, Andrew J., Alternative Dispute Resolution, Skill, Science, And The Laww, 2000.
Rasyid Ridha, Tafsirul Qur’anil Hakim (Tafsir Al manar), Darul Ma’rifah, Beirut, tt.
Reily, Ben. “Katup-katup Demokratis bagi Pengelolaan Konflik” dalam Haris, Peter dan Reilly, Ben. (eds.). Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan Negosiator (Jakarta: International IDEA, 2000).
Rothman, J. From Confrontation to Cooperation: Resolving Ethnic and Regional Conflict (Newbury Park, CA: Sage, 1992).
Sampson, Cynthia. “Religion and Peacebuilding” dalam Zartman, William I. dan Rasmussen, J,L.. Peacemaking in International Conflict: Methods and Techniques (Washington, D.C.: USIP, 1997).
Wawancara dengan Nurcholis Sujarwo, Ketua ranting NU desa argomulyo Kokap Kulon Progo pada hari selasa 17 Juni 2008 di desa Hargomulyo. Nurcholis sujarwo adalah orang yang terlibat konflik
Widjajanto, Andi. “Dinamika Keamanan Pasca Orde Baru”, Global: Jurnal Politik Internasional, Vol.1, No.7, (Februari 2001).
Wight, Martin. International Theory: The Three Traditions (London: Leicester University Press,, 1996).
Zartman, William I. dan Touval, Saadia. “International Mediation in the Post-Cold War Era” dalam Crocker, Chester A (et.al)(eds.). Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict (Washington, D.C.: USIP Press, 1996).
Zatman, William I. Ripe for Resolution: Conflict and Intervention in Africa (New York: Oxford University Press, 1985).

No comments: